Suara musik yang terdengar keras di ruang tengah membuat tubuh Kia tak berhenti untuk bergerak. Di tangannya ada sapu yang ia gunakan untuk menyapu ruang tengah. Mbok Sum hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kia dari dapur. Untuk pertama kalinya gadis itu kembali bertingkah bebas.
Bukan tanpa alasan Kia menjadi seperti ini. Saat bangun tidur dia mendapat kabar dari Mbok Sum jika Arfan sudah berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan. Tentu Kia sangat senang mendengar itu. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat saat Arfan juga memberikan uang saku yang cukup banyak.
"Nanti malem Mbok Sum nggak usah masak ya?" Kia berjalan memasuki dapur.
"Kenapa, Mbak?"
"Kita pesen makan aja, aku yang traktir." Kia menaik-turunkan alisnya.
"Siap, Mbak! Mbok mau sambel jengkol." Mbok Sum juga ikut bersemangat.
"Oke, habis ini aku mandi terus keluar."
&nbs
Hari ini adalah tepat sepuluh hari Arfan berada di Bali. Urusan pekerjaan yang awalnya hanya berlangsung lima hari harus mundur karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Arfan yang kebetulan berada di sana memilih untuk turun tangan langsung menyelesaikan semua. Selama lima hari pula, Arfan terlihat sangat sibuk. Bahkan waktu tidurnya berkurang menjadi empat jam dalam sehari. Kesibukkan itu juga yang membuatnya tidak menghubungi Kia akhir-akhir ini. Kali ini bukan sengaja, tapi dia benar-benar sibuk. Bahkan Mbok Sum sendiri yang berinisiatif memberikan kabar rumah tanpa ia minta. "Pak, saya sudah pesan kopi." Nadia datang dan duduk di salah satu kursi. Arfan hanya mengangguk, masih fokus pada kertas di tangannya, "Terima kasih." "Pak Arfan nggak capek?" tanya Nadia. Lagi-lagi setelah pulang dari rapat bukannya beristirahat mereka malah kembali berdiskusi. Jam sud
Keadaan bandara terlihat cukup ramai. Kia memilih untuk menunggu di dalam mobil, sedangkan Pak Tomo yang akan menyusul Arfan ke dalam. Kia masih malas untuk bertemu pria itu. Entah kenapa rasa kesal itu begitu nyata, dia tidak tahu kenapa. Dari jauh, Kia bisa melihat Arfan keluar dari bandara. Dengan berbalut jas berwarna abu-abu, Arfan tampak santai berjalan dengan koper di tangannya. Melihat gaya pria itu, Kia mencibir tidak suka. "Liat wajahnya, nggak ada rasa bersalah sama sekali," gumamnya. Kia masih belum sadar jika rasa kesalnya sangat tidak beralasan. Arfan tidak sendiri kali ini. Di belakangnya ada Pak Tomo dan Nadia. Alis Kia terangkat, Nadia tidak langsung pulang? Pintu belakang terbuka dan Arfan masuk dengan santainya. Dia melirik Kia dan tersenyum tipis. Tangan kanannya terangkat dan menepuk kepala gadis itu pelan. "Gimana kabar kamu?
Duduk tenang di salah satu sofa kamar VIP rumah sakit menjadi pilihan Kia saat ini. Baru dua jam yang lalu ia dan Arfan tiba dan mereka langsung bergegas ke rumah sakit. Beruntung ayah Arfan sudah melewati masa kritisnya. Selama perjalanan, Arfan tidak berbicara dan tidak tidur. Namun Kia tahu jika pria itu sedang berdoa karena menggumamkan sesuatu. Sekarang Kia mulai mengetahui keluarga Arfan. Orang tua pria itu masih lengkap dan tinggal di kampung halaman. Sebagai anak tunggal, Arfan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain sudah berumur, penyakit ayahnya yang membuat Arfan harus lebih giat bekerja. Untung saja pria itu pintar sehingga mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak. Pintu kamar terbuka dan muncul wanita paruh baya yang Kia kenal sebagai Ibu Arfan. Wanita itu masuk dengan kantung plastik di tangannya. Ibu Arfan menghampiri Kia dan tersenyum manis. "Nak Kia pasti laper ya? Ini Ibuk bel
Di ruang tengah, Arfan dan Kia tampak tengah sarapan bersama. Gadis itu sudah mandi dengan rambutnya yang masih basah. Bahkan ia terlalu malas untuk menggosoknya dengan handuk. Arfan dengan sifat perfeksionisnya sedikit risih dengan tingkah Kia. Namun dia tidak mau memulai hari dengan pertengkaran."Manis banget," gumam Kia setelah menghabiskan dua jagung rebus.Arfan memelankan kunyahannya saat tangan Kia kembali terulur untuk mengambil jagung ke-tiga. Bahkan Arfan masih memakan satu jagungnya sedari tadi."Kamu laper?" tanya Arfan.Kia mengangguk tanpa bersuara. Dia tersenyum sambil memperlihatkan pipinya yang mengembang karena penuh dengan makanan."Makannya pelan-pelan."
Kia duduk di teras rumah Arfan dengan wajah yang kusut. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, tapi hingga saat ini Kia belum melihat wajah Arfan di manapun. Dia tidak tahu kemana pria itu pergi karena Arfan tidak menggunakan mobil dan meninggalkan ponselnya yang tengah mengisi daya.Kia memang bangun pukul delapan pagi. Sedikit terlambat tapi bukan berarti Arfan bisa meninggalkannya sendiri seperti ini. Kia hanya tamu di rumah ini dan dia masih takut jika harus ditinggal sendiri."Dasar demit, ilang-ilangan mulu." Kia mencibir sambil menggigit jagung rebusnya kesal.Dia bisa mati kelaparan jika menunggu Arfan. Oleh karena itu Kia mengambil jagung sendiri di kebun dan merebusnya. Sebelum itu dia juga mengecek bahan-bahan yang ada di dapur, yang ia temukan hanya beras dan telur.
Kia melambaikan tangannya pada Gio saat baru keluar dari bandara. Dia tersenyum lebar dan berniat untuk memeluk pria itu, tapi belum sempat itu terjadi Arfan sudah lebih dulu menarik tas ransel yang ia kenakan."Mau ngapain?" desisnya tidak suka."Lepas kangen lah, lepasin!" Kia berusaha melepaskan tangan Arfan dari tasnya. Sadar jika tidak akan bisa akhirnya Kia melepaskan tasnya dan berlari ke arah Gio.Arfan terkejut melihat itu. Tangannya mengepal saat Kia sudah memeluk Gio, meskipun hanya sebentar tapi ada rasa kesal di hatinya. Kapan Kia sadar jika kontak fisik secara berlebihan bersama lawan jenis itu tidak boleh?Kan cuma pelukan antar sahabat, Fan. Masa nggak boleh?Arfan menggeleng mendengar isi otaknya. Tidak, tentu saja tidak boleh! Kia harus lebih bisa menjaga d
Malam ini tidak seperti biasanya. Arfan masih terjaga dan tidak bisa menutup mata. Dia selalu mengganti posisi tidurnya agar lebih nyaman tapi rasanya sama, rasa kantuk itu belum tiba. Arfan duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Dia mengambil buku dan mulai membaca berharap jika rasa kantuk akan segera menyerangnya.Baru lima menit, Arfan menutup bukunya kembali. Entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang, dia mendadak merasa gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia masih memikirkan Kia dan tidak merelakannya pergi besok? Jika iya, Arfan tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Rasa khawatirnya sangat berlebihan.Arfan kembali berbaring dan berusaha untuk membuang semua pikiran negatifnya. Dia harus tidur atau besok akan menjadi hari yang buruk karena tubuhnya yang tidak terlalu fit. Sepertinya berhasil karena Arfan mulai memejamkan mata
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Meskipun sulit untuk diterima, mau tidak mau hal itu akan terjadi. Kesedihan pasti akan menyelimuti, tapi kehidupan tidak bisa langsung berhenti. Hidup harus tetap berjalan karena masa depan sudah menanti.Kia menghela napas dan meminum teh panasnya pelan. Saat ini dia tengah sendiri di ruang tengah. Setelah pengajian selesai, mendadak semuanya menjadi sepi. Mata Kia mengedar ke segala arah mencoba untuk mengingat kenangan singkat bersama ayah Arfan. Seketika dia menyesal karena hanya bisa datang di saat keadaan sedang tidak baik-baik saja.Arfan berada di luar saat ini bersama para tetangga. Sedangkan Ibu Arfan berada di kamarnya untuk beristirahat. Namun ada Dinda di sana, wanita itu masih berusaha membujuk Ibu Arfan yang tidak mau makan seharian. Wanita itu masih terpukul dengan kepergian suaminya.Kia menatap pintu kamar Ibu Arfan
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan