Kia melambaikan tangannya pada Gio saat baru keluar dari bandara. Dia tersenyum lebar dan berniat untuk memeluk pria itu, tapi belum sempat itu terjadi Arfan sudah lebih dulu menarik tas ransel yang ia kenakan.
"Mau ngapain?" desisnya tidak suka.
"Lepas kangen lah, lepasin!" Kia berusaha melepaskan tangan Arfan dari tasnya. Sadar jika tidak akan bisa akhirnya Kia melepaskan tasnya dan berlari ke arah Gio.
Arfan terkejut melihat itu. Tangannya mengepal saat Kia sudah memeluk Gio, meskipun hanya sebentar tapi ada rasa kesal di hatinya. Kapan Kia sadar jika kontak fisik secara berlebihan bersama lawan jenis itu tidak boleh?
Kan cuma pelukan antar sahabat, Fan. Masa nggak boleh?
Arfan menggeleng mendengar isi otaknya. Tidak, tentu saja tidak boleh! Kia harus lebih bisa menjaga d
Malam ini tidak seperti biasanya. Arfan masih terjaga dan tidak bisa menutup mata. Dia selalu mengganti posisi tidurnya agar lebih nyaman tapi rasanya sama, rasa kantuk itu belum tiba. Arfan duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Dia mengambil buku dan mulai membaca berharap jika rasa kantuk akan segera menyerangnya.Baru lima menit, Arfan menutup bukunya kembali. Entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang, dia mendadak merasa gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia masih memikirkan Kia dan tidak merelakannya pergi besok? Jika iya, Arfan tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Rasa khawatirnya sangat berlebihan.Arfan kembali berbaring dan berusaha untuk membuang semua pikiran negatifnya. Dia harus tidur atau besok akan menjadi hari yang buruk karena tubuhnya yang tidak terlalu fit. Sepertinya berhasil karena Arfan mulai memejamkan mata
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Meskipun sulit untuk diterima, mau tidak mau hal itu akan terjadi. Kesedihan pasti akan menyelimuti, tapi kehidupan tidak bisa langsung berhenti. Hidup harus tetap berjalan karena masa depan sudah menanti.Kia menghela napas dan meminum teh panasnya pelan. Saat ini dia tengah sendiri di ruang tengah. Setelah pengajian selesai, mendadak semuanya menjadi sepi. Mata Kia mengedar ke segala arah mencoba untuk mengingat kenangan singkat bersama ayah Arfan. Seketika dia menyesal karena hanya bisa datang di saat keadaan sedang tidak baik-baik saja.Arfan berada di luar saat ini bersama para tetangga. Sedangkan Ibu Arfan berada di kamarnya untuk beristirahat. Namun ada Dinda di sana, wanita itu masih berusaha membujuk Ibu Arfan yang tidak mau makan seharian. Wanita itu masih terpukul dengan kepergian suaminya.Kia menatap pintu kamar Ibu Arfan
Bunyi alarm yang keras mulai membangunkan tidur Kia. Dia tersenyum dan merenggangkan tubuhnya pelan. Biasanya dia akan mengumpat dan kembali tidur, tapi kali ini berbeda. Apalagi saat hidungnya mencium aroma sedap dari makanan. Kia langsung bangkit dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka.Seperti yang ia duga sebelumnya, Kia tersenyum saat melihat Ibu Arfan tengah memasak bersama Mbok Sum. Pemandangan itu terlihat sangat indah karena untuk pertama kalinya Ibu Arfan kembali beraktivitas setelah beberapa hari berkabung."Udah bangun, Ki?"Kia mengangguk dan berjalan mendekat. Dia ikut melihat makanan yang Ibu Arfan dan Mbok Sum masak untuk sarapan."Tumben Mbak Kia udah bangun? Biasanya jam 9 masih gulung-gulung di kasur," ucap Mbok Sum jahil."Mbok Sum kan nggak tau. Sebenarnya aku itu bangun pagi tapi tidur lagi." Kia mencari alasan.Ibu Arfan terkekeh
Di tengah malam, Arfan terbangun dari tidurnya. Tenggorokannya yang kering membuatnya pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Dahinya berkerut melihat laptop yang menyala di atas meja makan. Arfan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Apa Kia belum tidur?Arfan masuk ke dapur dan melihat Kia yang tengah memasak sesuatu. Arfan mendekat dan berdiri di belakangnya, berniat melihat apa yang gadis itu masak."Kamu bikin apa?" tanya Arfan tiba-tiba.Kia terkejut dan berbalik dengan cepat. Matanya terpejam dengan tangan yang menyentuh dada."Ngagetin tau nggak? Kayak demit!" rutuk Kia."Kamu masak apa?" tanya Arfan lagi sambil mengambil air."Mie instan.""Kenapa belum tidur?"Kia menatap Arfan dengan wajah yang memelas. Setetik kemudian dia merengek dan menghentakkan kakinya kesal.
Tidak ada yang tahu perasaan orang lain selain dirinya sendiri. Semua orang akan berusaha mengungkapkan fakta tanpa menyadari jika itu hanyalah opini mereka sendiri. Seperti yang dirasakan Arfan saat ini. Ucapan ibunya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan tentang Kia.Cemburu? Bahkan Arfan tidak pernah merasakan perasaan itu selama bertahun-tahun.Dengan langkah mantap, Arfan keluar dari ruang rapat. Jadwalnya hari ini cukup padat. Mungkin karena hari ini adalah hari senin. Seperti biasa, Arfan harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah nanti."Pak, ada Kia di dalem." ucap memberi tahu.
Di ruang kerjanya, Arfan lagi-lagi menatap kalender kecil di atas meja. Dia tersenyum tipis melihat tanggal yang ia lingkari dengan spidol merah. Tanggal itu adalah hari ini, tepat di mana Kia berulang tahun.Arfan masih ingat ketika pertama kali bertemu dengan Kia. Saat itu dia masih bekerja sebagai wakil direktur. Kia begitu kekanakan dengan segala tingkahnya yang membuatnya mengelus dada. Kesan pertama yang Arfan rasakan saat itu adalah tidak percaya. Bagaimana bisa seseorang seperti Pak Surya memiliki anak seperti Kia? Sangat jauh dari sikap dan sifat Pak Surya selama ini.Sepertinya Arfan mendapatkan karmanya sekarang. Rasa tidak sukanya dulu berubah menjadi rasa sayang. Setelah mengenal Kia lebih dalam, secara perlahan Arfan tahu kenapa gadis itu bisa seperti ini. Itu bukanlah diri Ki
Pagi terasa mencekam bagi Arfan. Dia tidak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkan tingkah bodohnya. Jika bisa memutar waktu, Arfan tidak akan menunggu Kia malam itu dan memilih untuk tidur terlebih dahulu. Karena kebodohannya sendiri, Arfan merasakan resah yang luar biasa di hatinya.Pukul enam pagi, Arfan keluar dari kamar untuk bekerja. Dia menatap pintu kamar Kia yang tertutup rapat. Sepertinya gadis itu belum bangun atau yang lebih parahnya adalah menghindarinya."Fan, semalem kamu nggak jadi nunggu Kia?" tanya Ibu Arfan saat melihat anaknya turun."Jadi.""Kok makanannya masih utuh? Kalian nggak makan?"Arfan terdiam mendengar itu. Seketika dia kembali teringat dengan kejadian semalam. Dia seperti bocah yang ketahuan mencuri. Dadanya mulai berdetak dengan kencang."Kia pulang malem jadi nggak sempet makan, dia langsung tidur.""Lagi banyak tugas ya? Kasihan, tadi ibuk juga bawain Kia bekal.""Tadi?" Arfan berta
Tepat jam enam pagi, Arfan sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dia berdiri di depan sebuah pintu dengan gelisah. Arfan melirik jam tangannya sebentar dan bersandar pada tembok. Dia sudah memutuskan untuk tidak berangkat kerja jika seseorang yang ia tunggu belum keluar.Arfan mengalihkan pandangannya saat mendengar pintu yang terbuka dengan pelan. Wajahnya berubah datar saat tahu apa yang Kia lakukan. Sepertinya gadis itu akan kembali menghindarinya pagi ini, sama seperti hari kemarin.Melihat pintu yang terbuka secara perlahan, Arfan memilih untuk melipat kedua tangannya di dada. Menunggu Kia benar-benar keluar dan melihatnya. Sudah sejak semalam Arfan memikirkan hal ini. Dia ingin memperbaiki semuanya. Dia tidak mau hubungannya dengan Kia semakin memburuk."Mau kabur lagi?" tanya Arfan saat Kia mulai mengeluarkan kepalanya.Kia menatapnya terkejut. Tahu jika sudah tertangkap basah, akhirnya dia membuka pintunya lebar. Dia menghela napas kasar dan m