Tidak ada yang tahu perasaan orang lain selain dirinya sendiri. Semua orang akan berusaha mengungkapkan fakta tanpa menyadari jika itu hanyalah opini mereka sendiri. Seperti yang dirasakan Arfan saat ini. Ucapan ibunya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan tentang Kia.
Cemburu? Bahkan Arfan tidak pernah merasakan perasaan itu selama bertahun-tahun.
Dengan langkah mantap, Arfan keluar dari ruang rapat. Jadwalnya hari ini cukup padat. Mungkin karena hari ini adalah hari senin. Seperti biasa, Arfan harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah nanti.
"Pak, ada Kia di dalem." ucap memberi tahu.
Di ruang kerjanya, Arfan lagi-lagi menatap kalender kecil di atas meja. Dia tersenyum tipis melihat tanggal yang ia lingkari dengan spidol merah. Tanggal itu adalah hari ini, tepat di mana Kia berulang tahun.Arfan masih ingat ketika pertama kali bertemu dengan Kia. Saat itu dia masih bekerja sebagai wakil direktur. Kia begitu kekanakan dengan segala tingkahnya yang membuatnya mengelus dada. Kesan pertama yang Arfan rasakan saat itu adalah tidak percaya. Bagaimana bisa seseorang seperti Pak Surya memiliki anak seperti Kia? Sangat jauh dari sikap dan sifat Pak Surya selama ini.Sepertinya Arfan mendapatkan karmanya sekarang. Rasa tidak sukanya dulu berubah menjadi rasa sayang. Setelah mengenal Kia lebih dalam, secara perlahan Arfan tahu kenapa gadis itu bisa seperti ini. Itu bukanlah diri Ki
Pagi terasa mencekam bagi Arfan. Dia tidak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkan tingkah bodohnya. Jika bisa memutar waktu, Arfan tidak akan menunggu Kia malam itu dan memilih untuk tidur terlebih dahulu. Karena kebodohannya sendiri, Arfan merasakan resah yang luar biasa di hatinya.Pukul enam pagi, Arfan keluar dari kamar untuk bekerja. Dia menatap pintu kamar Kia yang tertutup rapat. Sepertinya gadis itu belum bangun atau yang lebih parahnya adalah menghindarinya."Fan, semalem kamu nggak jadi nunggu Kia?" tanya Ibu Arfan saat melihat anaknya turun."Jadi.""Kok makanannya masih utuh? Kalian nggak makan?"Arfan terdiam mendengar itu. Seketika dia kembali teringat dengan kejadian semalam. Dia seperti bocah yang ketahuan mencuri. Dadanya mulai berdetak dengan kencang."Kia pulang malem jadi nggak sempet makan, dia langsung tidur.""Lagi banyak tugas ya? Kasihan, tadi ibuk juga bawain Kia bekal.""Tadi?" Arfan berta
Tepat jam enam pagi, Arfan sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dia berdiri di depan sebuah pintu dengan gelisah. Arfan melirik jam tangannya sebentar dan bersandar pada tembok. Dia sudah memutuskan untuk tidak berangkat kerja jika seseorang yang ia tunggu belum keluar.Arfan mengalihkan pandangannya saat mendengar pintu yang terbuka dengan pelan. Wajahnya berubah datar saat tahu apa yang Kia lakukan. Sepertinya gadis itu akan kembali menghindarinya pagi ini, sama seperti hari kemarin.Melihat pintu yang terbuka secara perlahan, Arfan memilih untuk melipat kedua tangannya di dada. Menunggu Kia benar-benar keluar dan melihatnya. Sudah sejak semalam Arfan memikirkan hal ini. Dia ingin memperbaiki semuanya. Dia tidak mau hubungannya dengan Kia semakin memburuk."Mau kabur lagi?" tanya Arfan saat Kia mulai mengeluarkan kepalanya.Kia menatapnya terkejut. Tahu jika sudah tertangkap basah, akhirnya dia membuka pintunya lebar. Dia menghela napas kasar dan m
Hari ini Kia hanya memiliki satu jadwal kelas. Niat ingin kembali menghindari Arfan tidak jadi terlaksana karena secara mendadak dosen tidak bisa hadir hari ini. Mau tidak mau Kia akan seharian berada di rumah. Namun lagi-lagi takdir mempermainkannya. Arfan ada dinas kerja ke Bandung dan mengajak ibunya. Tentu saja Ibu Arfan juga mengajaknya mengingat jika Kia tidak ada kelas hari ini."Cuma ini yang kamu bawa?" tanya Arfan saat Kia memberikan tas ranselnya."Cuma semalem kan?"Arfan mengangguk dan menutup bagasi mobil. Setel
Tidak tidur semalaman membuat kepala Kia sedikit pusing. Dia memilih untuk meringkuk di pelukan Ibu Arfan selama perjalanan pulang. Ini semua karena Arfan, jika saja pria itu tidak bertingkah aneh semalam tentu Kia tidak akan seperti ini. Pria itu dengan santai mengakui rasa cemburunya. Tentu Kia dibuat mati kutu saat mendengarnya."Bangun, Nak. Udah sampe." Ibu Arfan menepuk pipi Kia pelan.Arfan menoleh saat melihat Kia yang masih meringkuk. Dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Dia membuka pintu belakang dan meminta ibunya untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu."Biar aku yang gendong Kia ke dalem, Buk.""Ya udah, pelan-pelan. Kayanya Kia capek banget."Di dalam mobil, Arfan tidak langsung menggendong Kia. Setelah ibunya pergi, dia menatap wajah polos itu dengan puas. Senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. Perlahan Arfan mendekat dan mencium kening Kia."Kapan kamu pekanya?" gumam Arfan.Dia bukan tipe pria yang b
Hari sabtu menjadi hari bahagia untuk Kia. Dia terbangun di pagi hari dengan senyuman. Entah apa yang membuatnya senang tapi pikirannya kembali tertuju pada kejadian semalam. Di mana dia menghabiskan malam dengan berbincang santai bersama Arfan. Kali ini mereka tidak menggunakan urat melainkan dengan kelembutan.Setelah mencuci muka, Kia mengikat rambutnya asal dan bergegas keluar kamar. Saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan Arfan yang juga keluar dari kamarnya. Mereka berdua sama-sama terkejut dan saling bertatapan. Namun tak lama mereka berdua tersenyum dan Kia dengan cepat mengalihkan pandangannya."Selamat pagi." Arfan berjalan mendekat dan menepuk pelan kepala Kia, "Tumben udah bangun?""Nanti mau anterin Mbak Dinda kan? Aku mau ikut."Arfan memiringkan kepalanya, "Bangun pagi demi ikut anterin Dinda?""Nggak boleh ya? Ya udah aku tidur lagi." Saat akan kembali ke kamar, Arfan dengan cepat menarik kerah baju tidur Kia."Ayo sarapan.
Kadang takdir yang telah digariskan Tuhan membuat banyak orang bertanya-tanya. Bagaimana dan kenapa semua ini bisa terjadi? Dengan semudah membalikkan telapak tangan, takdir bisa berubah dalam waktu satu detik.Kia masih ingat saat dia begitu membenci Arfan dulu karena sifat mengaturnya yang di atas rata-rata. Dia yang sudah terbiasa hidup bebas seolah masuk ke dalam penjara setelah tinggal bersama Arfan. Namun siapa sangka jika kebersamaan mereka membuat Kia mulai terbiasa? Secara perlahan dia mulai menghargai pelajaran-pelajaran penting yang Arfan berikan. Di detik ini juga Kia sadar jika apa yang pria itu lalukan padanya semata demi kebaikannya.Ada hal lain yang mengganggu Kia, yaitu perasaannya pada Arfan. Meskipun menyebalkan, tapi rasa itu tetap tumbuh di hatinya. Sekeras apapun menolak atau menyangkal, Kia malah dibuat yakin dengan perasaannya sendiri. Apalagi setelah Arfan mulai berubah dan melunak padanya. Tidak ada alasan bagi Kia untuk membenci Arfan. Peras
Takdir kembali menunjukkan kuasanya. Kebahagiaan yang Kia miliki seketika sirna dalam hitungan detik. Fakta yang ia ketahui semalam benar-benar membuatnya tidak bisa berkata-kata. Sekarang dia sadar kenapa Arfan memiliki kuasa penuh pada dirinya. Pria itu memiliki status paten yang tidak bisa diganggu gugat. Mulai dari setiap peraturan yang diberlakukan, masalah keuangan, pendidikan, bahkan hingga kisah asmaranya. Kia baru sadar jika Arfan selalu ikut campur.Yang membuat Kia semakin marah adalah dia satu-satunya orang yang tidak mengetahui semua ini. Bahkan Mbok Sum dan Ibu Arfan ikut andil dalam menyembunyikan rahasia ini. Kia mulai ragu untuk percaya pada semua orang. Apa ada kebohongan lain yang tidak ia ketahui?Menikah dalam keadaan koma bukanlah impian Kia. Meskipun dia sudah mencintai Arfan tapi bukan berarti jalan ini yang ia inginkan. Jika saja semuanya mengalir apa adanya tanpa pernikahan konyol itu, mungkin hubungan mereka akan baik-baik saja saat ini
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan