Kia hanya menginginkan satu hal, yaitu hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Selama ini ayahnya selalu mendidiknya agar mandiri dan berani. Kia tidak butuh wali, setidaknya tidak dengan Arfan. Dia benci bergantung pada orang lain, terutama Arfan.
"Ayo, Mbak." Mbok Sum membuka pintu mobil dan meminta Kia untuk keluar.
Kia turun sambil menghentakkan kakinya kesal. Rumah sederhana bergaya modern di depannya tidak membuatnya tertarik. Menurut Kia, rumah ternyaman adalah rumahnya sendiri. Kia mendengkus saat Arfan masuk lebih dulu dengan membawa koper miliknya. Apa pria itu tidak melihat wajah kesalnya? Apa dia bisa bertahan hidup dengan terus bermusuhan seperti ini?
"Masuk," ucap Arfan tanpa menatap wajah Kia. Dia membuka pintu rumahnya lebar.
Dengan sedikit paksaan dari Mbok Sum, akhirnya Kia mulai masuk ke dalam rumah. Hal yang pertama kali ia rasakan saat memasuki rumah ini adalah dingin dan kosong. Tentu saja, Arfan adalah pria lajang, tidak ada yang istimewa di rumah ini. Hanya berisi sedikit perbotan yang didominasi warna hitam, abu-abu, dan putih.
"Mulai sekarang kamu tinggal di sini."
Kia memutar matanya jengah. Pria itu masih bertahan dengan sikap tak acuhnya. Tidak masalah, Kia semakin yakin untuk membuat Arfan gila karena memaksanya hidup bersama.
"Di mana kamarku?"
"Di atas, pintu kedua dari kanan," jawab Arfan.
Tanpa mengucapkan apapun, Kia mengambil kopernya dan berlalu menaiki tangga. Dia tahu jika tingkahnya tidak sopan, tapi dia sangat ingin sendiri. Setidaknya Kia bisa sedikit tenang tanpa melihat wajah Arfan.
***
Cahaya pagi mulai mengusik tidur Kia. Dia mengerang dan semakin merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya. Belum sepenuhnya kembali tidur, Kia dikejutkan dengan selimut yang mendadak hilang.
Kia mengerang dan menatap pria di depannya dengan kesal, "Mas Arfan apaan sih?!" ucapnya marah.
Arfan hanya diam dan mulai membuka tirai jendela agar cahaya semakin masuk ke dalam
kamar. Kia mengambil bantal dan menutup wajahnya rapat. Sungguh, dia masih mengantuk.
"Bangun. Kamu harus sekolah."
Kia langsung membuang bantalnya saat mendengar ucapan Arfan. Apa dia tidak salah dengar? Arfan sudah memintanya untuk kembali ke sekolah? Demi apapun, dia baru saja berduka!
Baiklah, Kia hanya malas.
"Mbok Sum udah masak cumi tepung kesukaan kamu."
Kia mengerang dan mulai bangun dari tidurnya. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.
"Aku boleh bolos nggak hari ini?" tanyanya memelas. Sungguh dia tidak punya tenaga setelah kembali menangis semalaman.
Arfan berbalik dan menatap Kia lekat, "Kamu sakit?"
"Enggak."
"Kalau nggak sakit, nggak ada alasan buat bolos," ucap Arfan.
Kia memukul bantal dengan gemas, "Aku baru aja berduka kemarin, Mas! Tega banget udah minta aku masuk sekolah."
Arfan tidak menjawab. Dia hanya diam dengan tatapan yang tidak beralih seikitpun dari Kia. "Saya yakin Ayah kamu nggak suka liat kamu terus berduka."
Mata Kia mulai memanas mendengar itu. Benar, seharusnya berduka tidak ia jadikan alasan. Ayahnya pasti kecewa.
"Sekarang mandi dan turun. Saya antar kamu ke sekolah." Setelah mengucapkan itu, Arfan keluar dari kamar.
Kia memukul bantal dengan gemas. Mencoba membayangkan wajah Arfan yang ia pukuli. Demi apapun, wajah datarnya membuat Kia kesal. Baru sehari tapi dia sudah berani memerintahnya.
Dasar papan telenan!
***
Sekolah adalah salah satu tempat yang Kia benci. Hanya di tempat ini dia merasa kepalanya ingin meledak. Setidaknya itu dulu, tidak untuk kali ini. Setelah masa berkabung, Kia tidak menyesal untuk datang ke sekolah. Teman-temannya berhasil menghiburnya.
"Ikut jalan yuk?" ajak Vita, salah satu teman Kia.
"Ke mana?"
Bel tanda berakhirnya sekolah baru saja berbunyi. Para siswa mulai berlari keluar sekolah, tapi tidak untuk kelas 12. Mereka harus mengikuti bimbingan belajar untuk menghadapi ujian nasional yang diadakan dua minggu lagi.
"Refreshing, Ki. Lo nggak pusing liat rumus matematika?" tanya Gio.
"Pusing banget, sampe mau muntah gue," jawab Kia.
"Makanya ayo jalan. Kita bolos sekali aja. Yang lain udah pada di parkiran." Vita mulai menarik tangan Kia dan Sandra.
Kia memilih untuk menurut. Dia memang bukan murid yang baik, bahkan membolos adalah kebiasaannya. Sempat dia berpikir, apa ayahnya pergi karena tidak kuat mengurus anak nakal sepertinya? Namun seperti inilah Kia, dia merasa lebih hidup jika bisa bebas.
"Lo nggak boleh bawa motor. Biar Gio yang bonceng." Kia hanya mengangguk dan menerima helm dari Gio.
Sebenarnya Kia ingin sekali mengendarai motor sendiri, tapi dia memiliki kenangan buruk dengan itu. Koma selama tiga minggu cukup membuat semua orang melarangnya untuk menaiki motor. Padahal dia sendiri tidak merasa trauma.
Kia mengambil ponsel dan mematikannya, berharap jika tidak ada yang akan menghubunginya, terutama Arfan. Kia yakin jika pria itu akan menjemputnya nanti, tapi Kia memilih untuk pergi. Dia tidak akan betah berada di rumah jika ada Arfan. Dia lebih nyaman bersama dengan teman-temannya.
***
Halaman rumah yang sudah gelap membuat Kia berjalan dengan pelan. Bersyukur jika Arfan tidak mengunci pagar. Saat akan memasuki rumah, Kia melepaskan sepatunya agar tidak menimbulkan suara. Dia mengintip jendela berharap jika tidak ada siapapun yang menunggunya di dalam. Napas lega kembali ia keluarkan saat bisa membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang Arfan berikan. Dia berjalan dengan berhati-hati, berusaha untuk tidak membangunkan siapapun.
Tentu saja, ini sudah jam 11 malam!
Kia melirik kamar Arfan yang berada di samping kamarnya. Merasa jika tidak ada aktivitas di sana, dia kembali merasa lega. Langkahnya terhenti saat melihat sebuah kertas yang tertempel di pintu kamarnya. Dengan dahi berkerut Kia mengambilnya.
Peraturan rumah nomer 1
Dilarang pulang malam tanpa ijin. Jika masih melanggar, maka fasilitas akan dicabut.
Arfan Ghaisan
"Shit!" Kia mengumpat dan meremas kertas di tangannya kesal. Matanya melirik kamar Arfan dengan penuh kebencian.
"Jika melanggar maka fasilitas akan dicabut," cibir Kia mengikuti isi kertas dengan bibir yang maju.
Dengan kesal, dia menutup pintu kamarnya kencang. Tidak peduli lagi dengan penghuni rumah yang akan terkejut mendengarnya. Biar saja, dia lebih senang jika Arfan tahu akan kekesalannya.
"Banyak banget aturan kayak jalan raya. Perasaan Ayah dulu nggak gini-gini banget. Kenapa Mas Arfan malah gini?!" Kia mengacak rambutnya kesal.
Tanpa mengganti seragamnya, Kia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tatapannya menerawang melihat lampu kamarnya. Begitu terang dan menyilaukan mata. Ingatannya kembali berputar pada saat semua kejadian pahit menimpanya. Mulai dari kecelakaan motor hingga koma, penyakit jantung ayahnya yang kambuh saat mendengar kabarnya, kesehatan ayahnya yang tak kunjung pulih, hingga akhirnya pria itu menghembuskan napas terakhirnya.
Semua terjadi begitu cepat dan Kia masih berharap jika semuanya hanyalah mimpi.
***
TBC
Hari jum'at merupakan hari yang ditunggu oleh hampir setiap orang. Di hari inilah gerbang menuju akhir pekan mulai terbuka lebar. Namun apa yang dirasakan orang-orang tidak dirasakan oleh Kia. Dia menyambut hari ini dengan wajah yang cemberut. Demi Tuhan! Dia tidak mau menghabiskan akhir pekannya di rumah, setidaknya tidak berdua dengan Arfan. Memasuki ruang makan, Kia melihat Arfan sudah tampak rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu makan dengan tenang. Bahkan kedatangan Kia tidak mengganggunya sedikit pun, seolah lupa dengan apa yang ia lakukan semalam. "Mbak Kia semalem pulang jam berapa? Mbok khawatir loh," tanya Mbok Sum mulai mengambil makanan untuk Kia. "Kia bisa ambil sendiri, Mbok." Ucapan Arfan membuat gerakan tangan Mbok Sum terhenti. Melihat sesuatu yang tidak beres, akhirnya wanita paruh baya itu memilih untuk berlalu ke dapur. Kia yang tidak ingin berdebat mulai mengambil makana
Hari ini Arfan terlihat sibuk di kantor. Setelah mengantar Kia ke sekolah, dia langsung menuju kantor. Nadia sudah mengingatkannya jauh-jauh hari jika ada rapat penting yang harus ia hadiri hari ini. Saat jam istirahat seperti ini pun, Arfan memilih untuk makan siang di ruangannya. Dia harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah, karena bagi Arfan rumah adalah tempatnya untuk lepas dari semua hal mengenai pekerjaan. Suara dering telepon memecah fokus Arfan. Dia meraih ponselnya dan melihat nama ibunya yang menghubunginya saat ini. Tanpa menunggu, Arfan langsung mengangkat panggilan itu dan bersandar pada kursinya. "Halo, Buk?" sapa Arfan. "Halo, Nak. Denger suara Ibuk nggak?" ucap suara di seberang sana. "Denger kok, Buk. Ada apa?" "Enggak, Ibuk cuma mau tanya kabar kamu, Fan." Arfan tersenyum, "Kabar aku b
Di sabtu sore, Arfan sudah rapi dengan kaos berkerah yang ia pakai. Dia mamakai jam tangannya sambil keluar dari kamar. Hari ini Arfan akan membawa Kia untuk berbelanja kebutuhannya. Meskipun sedikit memperketat ruang gerak Kia, tapi dia juga paham dengan kebutuhan wanita. Sebisa mungkin Arfan akan membuat Kia disiplin tanpa harus merasa kekurangan. Arfan mengetuk kamar Kia sebentar. Setelah mendapat sahutan, dia masuk dan bersandar pada pintu. Arfan menghela napas kasar saat melihat Kia yang tampak bermalas-malasan di atas kasur. Di depan gadis itu terdapat laptop dan banyak makanan ringan. Arfan yakin jika stok camilan di dapur sudah habis dan ini saatnya dia kembali berbelanja untuk mengisi kekosongan dapur. "Apa?" tanya Kia menghentikan film yang ia putar. Tanpa menjawab, Arfan masuk dan mulai melihat meja rias Kia. Dia memperhatian satu persatu alat kecantikan itu dengan lekat. Setelah itu dia bersandar pada m
Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi. Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu. "Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu. Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan
Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti. Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh. "Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa. Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini. S
Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya. "Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio. "Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu. Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus." "Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras. "Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh. "Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya. "Skuy lah, bu
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Sebenarnya sulit bagi Arfan untuk membiarkan Kia pergi. Bukan karena ingin mengekang, tapi dia masih tidak percaya dengan Kia. Memang selama tinggal bersama gadis itu mulai melunak. Kia sudah mulai bisa mengontrol waktu dan keuangan, tapi tidak dengan emosinya. Gadis itu masih sering marah meskipun ujung-ujungnya selalu kalah. Arfan masih menatap mobil van yang mulai menjauh dari pekarangan rumah. Dia menghela napas kasar dan menunduk. Di sampingnya ada Mbok Sum tampak menatapnya khawatir. "Mas Arfan nggak papa?" "Kia nggak bakal aneh-aneh kan, Mbok?" tanya Arfan, "Saya sudah janji sama Pak Surya buat jaga dia." "Mbok yakin Mbak Kia nggak aneh-aneh, Mas." "Saya masih kurang percaya sama teman-temannya. Mereka juga yang ajak Kia pergi di malam kecelakaan itu." "Itu udah takdir, Mas." Betul, Arfan tahu jika semua itu adalah ta
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan