“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang.
Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke batas atas betisnya. Nyatanya, meski sudah ditambah sepuluh sentimeter, tingginya masih belum bisa menyentuh dagu Yudhis. "Tapi, Ma, dia masih terlalu kecil. Mana bisa Yudhis nafsu melihatnya?" Sepertinya Yudhis sedang membahas Kiran melalui sambungan telepon dengan Beatrice. Di dalam bathup, Kiran mencoba untuk menajamkan pendengarannya untuk mencuri dengar percakapan ibu dan anak itu. "Iya, Yudhis akan kasih mama cucu, tapi nggak sekarang juga kali, Ma. Setidaknya biarkan dia tumbuh sedikit lagi, empat sampai lima tahun lagi lah paling tidak." Kiran bernapas lega. Empat sampai lima tahun lagi? Ia mulai berandai-andai. Mungkin saja pernikahan ini sudah berakhir tidak sampai usia empat tahun. Semoga saja kekasih Yudhis yang kabur segera kembali. Lalu Kiran akan berakting menjadi sosok yang tersakiti supaya Bramantyo merestuinya untuk bercerai dengan Yudhis. Dengan begitu, ia bisa menyandang status janda ting-ting karena belum pernah tersentuh. Membayangkannya saja membuat bibir Kiran mengkurva. Seandainya itu terjadi masih ada kesempatan baginya untuk mewujudkan fantasinya mengenai malam pertama bersama orang yang ia cintai. Sudah dibilang Kiran tidak sepolos itu. Ia tau benar makna dari bercinta. Menyoal kekasih Yudhis yang kabur, Kiran mendengar cerita dari Felix saat menjemputnya di bandara kemarin. Setelah kekasihnya kabur, keluarga Yudhis memutuskan untuk menjodohkan Yudhis dan Kiran. "Pantas saja kabur, gadis mana yang bisa tahan dengan mulut ketus Mas Yudhis?" batin Kiran. "Dia masih di kamar mandi, Ma. Mungkin lagi latihan berenang di bathup itu si ikan cupang." Mata Kiran mendelik. Banyak sekali kata ganti untuk dirinya yang keluar dari mulut jahat Yudhis. Lilliput, siput, sekarang ada lagi ikan cupang, sekalian saja seisi kebun binatang disebutkan. Akan sedikit mustahil jika cinta bisa tumbuh di antara keduanya. Kiran menghela napas, kemudian memutuskan untuk keluar dari bathup. Keinginannya untuk berendam lebih lama hilang seketika. Ia tidak mau kulitnya jadi berkerut keriput karena terendam air, bisa-bisa Yudhis akan mengoloknya lagi dengan nama ajaib. Menatap tak minat pada sebuah kotak pemberian Beatrice, Kiran hanya mengambil jubah tidurnya saja. Yang benar saja, bahkan jika ia mengenakan lingerie itu tidak ada bedanya dengan telanjang. Meskipun Yudhis mengatakan bahwa ia tidak bernafsu melihat Kiran, juga tenggat waktu empat atau lima tahun lagi yang Yudhis ucapkan, tidak ada yang bisa menjamin jika pria itu tidak terangsang saat tidur bersama dengan dirinya dan kulit mereka bersentuhan, lalu terjadilah pemerkosaan dalam rumah tangga yang masih dianggap sebagai lelucon bagi sebagian banyak orang. "Ma, aku capek seharian berdiri. Tidak untuk malam ini, Ma." Terdengar Yudhis masih mencoba bernegosiasi. Dengan mengendap-endap, Kiran berjalan menuju tempat tidur berukuran king size yang membentang di tengah-tengah kamar yang sangat luas itu. Kamar khusus untuk Yudhis di resort milik keluarga Wiguna ini memang tidak kira-kira luasnya. Berdasarkan informasi yang Kiran dengar, harus merogoh kocek puluhan juta jika ingin menyewa kamar seukuran milik Yudhis di resort ini dalam semalam. Kiran berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi saat dirinya menumpuk bantal dan guling yang dibungkus kain satin lembut dengan sulaman benang berwarna emas di bagian tepinya sebagai pembatas areanya dan area Yudhis. Buru-buru Kiran membaringkan tubuhnya memunggungi area Yudhis saat terdengar handle pintu diungkit. Lalu mata bulatnya dipejamkan, mencoba berpura-pura tertidur senatural mungkin. Jangan ragukan kemampuan akting tidur Kiran, karena ini selalu berhasil mengelabuhi mami dan papinya saat kepergok masih scroll media sosial atau melihat tayangan N*****x hingga larut. "Dia sudah tidur, Ma. Lingeri? Boro-boro, Ma. Kalau mama mau tau, dia pakai baju tidur kumal gambar Micky Mouse. Mana bisa aku nafsu? Rasanya kaya tidur bareng Stela. Emang mama yakin usianya sudah dua puluh satu tahun?" Yang benar saja? Masa aku disamain sama Stela, ponakannya yang masih duduk di kelas lima SD. Lagian ini bukan Mickey Mouse, tapi Mini Mouse. Hampir sama tapi beda. Sekuat tenaga Kiran menahan diri untuk tidak mengajukan protesnya, jika tidak, kepura-puraannya akan terbongkar. Biarlah malam ini ia bisa beristirahat dengan aman. Rasanya sangat melelahkan untuk berdebat dengan Yudhis, yang ada membuat dirinya semakin insecure seperti yang terjadi siang tadi saat resepsi pernikahan mereka digelar. Yudhis duduk di tepi tempat tidur, dapat Kiran rasakan bahwa ada pergerakan di sisi kasurnya yang lain. Pria itu mengulurkan satu tangannya kemudian melambai di depan wajah Kiran hanya untuk memastikan apakah gadis itu sudah benar-benar tertidur, tapi akting Kiran sungguh sempurna. "Jangan bicara begitu lagi, dong, Ma." Sepertinya wanita di ujung sana sudah mengeluarkan jurus mautnya. Jika bukan masalah kesehatan ya kesempatan hidup, rasanya Kiran sudah sangat hapal, karena Laras juga sering kali seperti itu. "Perutnya saja setipis itu, apa mama yakin itu cukup untuk menampung bayi? Jangan-jangan rahimnya juga belum tumbuh di sana?" Satu lagi kalimat konyol yang keluar dari mulut Yudhis. Meski jaman sekolah Kiran tidak pintar-pintar amat, setidaknya ia sangat paham dengan pelajaran anatomi di mata pelajaran biologi. "Iya Ma, iya. Tapi nggak malam ini, ya. Aku nggak mau ganggu tidurnya, kasihan nanti mengganggu masa pertumbuhannya." Terdengar helaan napas kasar dari Yudhis. Pria itu menjauhkan ponsel dari telinganya. Sambungan telepon dengan Beatrice sudah berakhir. Yudhis bersedekap dan menatap punggung Kiran sesaat. Sebelum akhirnya ia melangkah menuju gazebo yang berada di halaman belakang villa.Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga
Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang
Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya
“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah