Share

Bab 5

“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.

Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.

Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.

“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran.

Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah mengangkat bagian bawah gaunnya.

Yudhis menghentikan langkah dan menghadap ke arah Kiran. “Selain kaya liliput,kamu juga kaya siput, rupanya,” ucap Yudhis. Ia memerhatikan penampilan Kiran dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas sembari mengusap dagunya.

Kiran mengerucutkan bibirnya sebal mendengar ucapan dari mulut Yudhis yang terkesan seperti sebuah olok-olokan itu. Namun, hampir saja ia memekik saat tubuh mungilnya tiba-tiba terangkat ke udara. Yudhis sudah membopongnya melalui jalan setapak dengan taburan bunga yang sama dengan yang ia lalui bersama Bram tadi, menuju sebuah pelaminan yang berada di tepi sebuah jurang dengan latar belakang gunung yang mengapit lautan. Tentu saja masih terdapat pagar pembatas besi yang dibentuk se-aesthetic mungkin sebagai pengamannya. Bayangkan saja jika Yudhis langsung melemparnya masuk ke jurang, tentu saja badannya sudah remuk tak berbentuk lagi saat ditemukan di dasar jurang.

Semua bersorak memuji kemesraan pasangan yang baru saja mengucapkan janji pernikahan mereka, meski kenyataannya di belakang layar, Kiran sangat merana di balik senyum palsunya. Diliriknya sekilas wajah Yudhis dari jarak dekat. Pria itu masih memasang wajah datarnya, seperti tak membawa beban apapun. Apa Kiran seringan itu?

“Pegangan!” perintah Yudhis. Mata hazelnya mengunci mata bulat Kiran.

Kiran segera melingkarkan kedua tangannya di leher Yudhis. “Kenapa pakai digendong segala, sih, Mas?” keluhnya setengah berbisik. Seharusnya tidak perlu menampilkan drama yang berlebihan seperti ini hanya untuk menunjukkan bahwa mereka berbahagia, padahal kenyataannya sebaliknya.

“Keburu hari Senin kalau saya harus menunggu kamu jalan.”

"Bisa nggak sih, kalau ngomong nggak usah nyakitin gitu? Hati mungilku mudah sekali terluka, bikin makin insecure, tau nggak?" batin Kiran.

Perlahan Yudhis menurunkan tubuh Kiran di pelataran pelaminan. “Harusnya kamu menolak perjodohan ini.”

“Kalau Mas Yudhis juga tidak menginginkan perjodohan ini, mengapa Mas Yudhis tidak menolaknya?”

“Saya tidak bisa, tapi kamu harusnya bisa,” ucap Yudhis sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.

Kening Kiran mengerut. Seingatnya tidak pernah ada pilihan untuk menolak dari perbincangan Kiran dengan Laras dan Bramantyo. Kalau saja ia bisa menolak, tentu saja ia tidak berada di tempat ini sekarang. Apa yang terjadi sesudah ini? Memikirkannya saja Kiran sudah berubah pucat dan badannya gemetar.

“Hadap ke depan dan tersenyumlah, jika seperti itu rasanya orang-orang akan berpikir kalau saya akan memakanmu hidup-hidup.”

Kiran langsung memalingkan wajahnya menghadap ke depan. Mencoba memaksakan senyumannya saat ada kamera yang terarah ke pelaminan. Biarpun pernikahan ini terpaksa, namun ia harus tampil paripurna di kamera setiap orang. Terlebih beberapa orang mulai maju untuk memberikan ucapan selamat pada Kiran dan Yudhis.

Acara ini begitu mewah dan meriah. Banyak tamu yang datang namun sedikit yang Kiran kenal. Kebanyakan dari undangan merupakan keluarga besar Yudhis dan juga rekanan bisnis mereka.

Kiran benar-benar seperti orang asing di tengah-tengah mereka. Satu-satunya yang bisa Kiran nikmati adalah resort milik keluarga Yudhis yang sangat indah ini. Cocok sekali untuk latar belakang foto selfi sebagai penghias i***a story.

“Kamu tau? Mama selalu memaksa agar saya segera menikah dan memiliki anak,” ucap Yudhis dengan tatapan masih terarah ke depan. “Kamu pernah bercinta sebelumnya?”

“Maksud Mas Yudhis apa?”

Kiran bukan gadis lugu yang tidak tau apa-apa. Yang menjadi pertanyaannya adalah maksud pertanyaan dari Yudhis. Apakah pria itu sedang meragukan kesuciannya atau bagaimana?

“Jika ingin punya anak, kita harus melalui proses yang namanya... bercinta, bukan?"

Mendengar ucapan Yudhis yang cukup menjurus membuat wajah Kiran terasa memanas. Hidungnya kembang kempis menahan kesal.

“Mengapa wajahmu memerah? Kamu sudah membayangkan rasanya tidur dengan saya?” Yudhis terkekeh pelan.

“Mas Yudhis!”

Wajah Kiran memberengut, ia mengentakkan kakinya sebelum akhirnya menendang tulang kering Yudhis. Pria itu tampak biasa saja, tetapi malah ujung jari kaki Kiran yang terasa nyeri. Kesal karena terus diledek, Kiran tidak peduli lagi dengan kelanjutan pestanya. Ia lebih memilih untuk meninggalkan Yudhis sendirian di pelaminan menuju meja prasmanan, mendadak perutnya terasa lapar.

Siapa juga yang mau tidur dengan Yudhis? Meskipun roti sobek milik Yudhis tampak menggiurkan, namun Kiran sama sekali tidak tertarik. Mendadak fantasinya tentang bercinta memudar. Mungkin ia hanya akan menjadi mesin pencetak anak untuk Yudhis, menjalani kodratnya sebagai seorang wanita. Seandainya ada kesempatan ke dua bagi Kiran untuk menikah dengan orang yang ia cintai, mungkin Kiran akan sangat bahagia.

“Percuma ganteng kalau mulutnya nyakitin,” dengkus Kiran.

Sepertinya Kiran mulai setuju dengan ucapan Laras. Pria jumbo yang sudah resmi menjadi suaminya itu memang tergolong tampan, bahkan paling tampan jika dibandingkan dengan deretan mantan Kiran. Soal mapan jangan ditanya lagi, berapa miliar yang sudah mereka gelontorkan untuk menggelar acara pernikahan ini? Belum lagi dua lembar cek yang mereka serahkan pada Bram sebagai kompensasi pernikahan ini tak kalah fantastis. Sampai-sampai Bram dan juga Laras bisa tersenyum lebar dengan dada yang membusung.

=*=*=

Pesta pernikahan nyatanya begitu melelahkan. Kiran bahkan sudah berjalan bertelanjang kaki saat kembali ke kamar utama. Setiap otot dan sendinya terasa remuk dan pegal. Ia sudah tidak sanggup menyejajarkan langkahnya dengan Yudhis yang berada beberapa langkah di depannya.

Mengambil baju ganti, Kiran segera menuju walk in closed. Sedikit panik saat hendak membuka resleting namun ada bagian yang menyangkut. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain Yudhis. Kiran berpikir cukup lama hingga terdengar bunyi ketukan di pintu.

“Kamu ganti baju apa tidur?”

Kiran menggigit bibir bawahnya. Ia menyembul dari celah pintu yang dibukanya sedikit. “Ma-Mas Yudhis bisa bantu aku?” tanyanya ragu. “Resletingnya nyangkut.”

Yudhis tidak berkomentar saat Kiran berputar memunggunginya. Tubuh Kiran menegang dan matanya terpejam ketika mulai merasakan tangan Yudhis berada di punggungnya menjalar dari tengkuk hingga ke tulang ekor Kiran. Dan saat itu Kiran merutuki dirinya sendiri sebagai pembuat desain gaun itu. Romantisme yang terbayang kala ia menggoreskan guratan pensil berubah menjadi petaka.

Tangan Kiran gemetaran memegangi bagian depan gaunnya agar tidak lolos begitu saja. “Ma-Mas Yudhis keluar dulu! Aku mau ganti baju.”

“Keluar? Saya suamimu, kalau kamu lupa,” ucap Yudhis di balik punggung Kiran dengan seringaian yang bisa Kiran lihat dari pantulan cermin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status