“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.
Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil. Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan. “Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah mengangkat bagian bawah gaunnya. Yudhis menghentikan langkah dan menghadap ke arah Kiran. “Selain kaya liliput,kamu juga kaya siput, rupanya,” ucap Yudhis. Ia memerhatikan penampilan Kiran dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas sembari mengusap dagunya. Kiran mengerucutkan bibirnya sebal mendengar ucapan dari mulut Yudhis yang terkesan seperti sebuah olok-olokan itu. Namun, hampir saja ia memekik saat tubuh mungilnya tiba-tiba terangkat ke udara. Yudhis sudah membopongnya melalui jalan setapak dengan taburan bunga yang sama dengan yang ia lalui bersama Bram tadi, menuju sebuah pelaminan yang berada di tepi sebuah jurang dengan latar belakang gunung yang mengapit lautan. Tentu saja masih terdapat pagar pembatas besi yang dibentuk se-aesthetic mungkin sebagai pengamannya. Bayangkan saja jika Yudhis langsung melemparnya masuk ke jurang, tentu saja badannya sudah remuk tak berbentuk lagi saat ditemukan di dasar jurang. Semua bersorak memuji kemesraan pasangan yang baru saja mengucapkan janji pernikahan mereka, meski kenyataannya di belakang layar, Kiran sangat merana di balik senyum palsunya. Diliriknya sekilas wajah Yudhis dari jarak dekat. Pria itu masih memasang wajah datarnya, seperti tak membawa beban apapun. Apa Kiran seringan itu? “Pegangan!” perintah Yudhis. Mata hazelnya mengunci mata bulat Kiran. Kiran segera melingkarkan kedua tangannya di leher Yudhis. “Kenapa pakai digendong segala, sih, Mas?” keluhnya setengah berbisik. Seharusnya tidak perlu menampilkan drama yang berlebihan seperti ini hanya untuk menunjukkan bahwa mereka berbahagia, padahal kenyataannya sebaliknya. “Keburu hari Senin kalau saya harus menunggu kamu jalan.” "Bisa nggak sih, kalau ngomong nggak usah nyakitin gitu? Hati mungilku mudah sekali terluka, bikin makin insecure, tau nggak?" batin Kiran. Perlahan Yudhis menurunkan tubuh Kiran di pelataran pelaminan. “Harusnya kamu menolak perjodohan ini.” “Kalau Mas Yudhis juga tidak menginginkan perjodohan ini, mengapa Mas Yudhis tidak menolaknya?” “Saya tidak bisa, tapi kamu harusnya bisa,” ucap Yudhis sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Kening Kiran mengerut. Seingatnya tidak pernah ada pilihan untuk menolak dari perbincangan Kiran dengan Laras dan Bramantyo. Kalau saja ia bisa menolak, tentu saja ia tidak berada di tempat ini sekarang. Apa yang terjadi sesudah ini? Memikirkannya saja Kiran sudah berubah pucat dan badannya gemetar. “Hadap ke depan dan tersenyumlah, jika seperti itu rasanya orang-orang akan berpikir kalau saya akan memakanmu hidup-hidup.” Kiran langsung memalingkan wajahnya menghadap ke depan. Mencoba memaksakan senyumannya saat ada kamera yang terarah ke pelaminan. Biarpun pernikahan ini terpaksa, namun ia harus tampil paripurna di kamera setiap orang. Terlebih beberapa orang mulai maju untuk memberikan ucapan selamat pada Kiran dan Yudhis. Acara ini begitu mewah dan meriah. Banyak tamu yang datang namun sedikit yang Kiran kenal. Kebanyakan dari undangan merupakan keluarga besar Yudhis dan juga rekanan bisnis mereka. Kiran benar-benar seperti orang asing di tengah-tengah mereka. Satu-satunya yang bisa Kiran nikmati adalah resort milik keluarga Yudhis yang sangat indah ini. Cocok sekali untuk latar belakang foto selfi sebagai penghias i***a story. “Kamu tau? Mama selalu memaksa agar saya segera menikah dan memiliki anak,” ucap Yudhis dengan tatapan masih terarah ke depan. “Kamu pernah bercinta sebelumnya?” “Maksud Mas Yudhis apa?” Kiran bukan gadis lugu yang tidak tau apa-apa. Yang menjadi pertanyaannya adalah maksud pertanyaan dari Yudhis. Apakah pria itu sedang meragukan kesuciannya atau bagaimana? “Jika ingin punya anak, kita harus melalui proses yang namanya... bercinta, bukan?" Mendengar ucapan Yudhis yang cukup menjurus membuat wajah Kiran terasa memanas. Hidungnya kembang kempis menahan kesal. “Mengapa wajahmu memerah? Kamu sudah membayangkan rasanya tidur dengan saya?” Yudhis terkekeh pelan. “Mas Yudhis!” Wajah Kiran memberengut, ia mengentakkan kakinya sebelum akhirnya menendang tulang kering Yudhis. Pria itu tampak biasa saja, tetapi malah ujung jari kaki Kiran yang terasa nyeri. Kesal karena terus diledek, Kiran tidak peduli lagi dengan kelanjutan pestanya. Ia lebih memilih untuk meninggalkan Yudhis sendirian di pelaminan menuju meja prasmanan, mendadak perutnya terasa lapar. Siapa juga yang mau tidur dengan Yudhis? Meskipun roti sobek milik Yudhis tampak menggiurkan, namun Kiran sama sekali tidak tertarik. Mendadak fantasinya tentang bercinta memudar. Mungkin ia hanya akan menjadi mesin pencetak anak untuk Yudhis, menjalani kodratnya sebagai seorang wanita. Seandainya ada kesempatan ke dua bagi Kiran untuk menikah dengan orang yang ia cintai, mungkin Kiran akan sangat bahagia. “Percuma ganteng kalau mulutnya nyakitin,” dengkus Kiran. Sepertinya Kiran mulai setuju dengan ucapan Laras. Pria jumbo yang sudah resmi menjadi suaminya itu memang tergolong tampan, bahkan paling tampan jika dibandingkan dengan deretan mantan Kiran. Soal mapan jangan ditanya lagi, berapa miliar yang sudah mereka gelontorkan untuk menggelar acara pernikahan ini? Belum lagi dua lembar cek yang mereka serahkan pada Bram sebagai kompensasi pernikahan ini tak kalah fantastis. Sampai-sampai Bram dan juga Laras bisa tersenyum lebar dengan dada yang membusung. =*=*= Pesta pernikahan nyatanya begitu melelahkan. Kiran bahkan sudah berjalan bertelanjang kaki saat kembali ke kamar utama. Setiap otot dan sendinya terasa remuk dan pegal. Ia sudah tidak sanggup menyejajarkan langkahnya dengan Yudhis yang berada beberapa langkah di depannya. Mengambil baju ganti, Kiran segera menuju walk in closed. Sedikit panik saat hendak membuka resleting namun ada bagian yang menyangkut. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain Yudhis. Kiran berpikir cukup lama hingga terdengar bunyi ketukan di pintu. “Kamu ganti baju apa tidur?” Kiran menggigit bibir bawahnya. Ia menyembul dari celah pintu yang dibukanya sedikit. “Ma-Mas Yudhis bisa bantu aku?” tanyanya ragu. “Resletingnya nyangkut.” Yudhis tidak berkomentar saat Kiran berputar memunggunginya. Tubuh Kiran menegang dan matanya terpejam ketika mulai merasakan tangan Yudhis berada di punggungnya menjalar dari tengkuk hingga ke tulang ekor Kiran. Dan saat itu Kiran merutuki dirinya sendiri sebagai pembuat desain gaun itu. Romantisme yang terbayang kala ia menggoreskan guratan pensil berubah menjadi petaka. Tangan Kiran gemetaran memegangi bagian depan gaunnya agar tidak lolos begitu saja. “Ma-Mas Yudhis keluar dulu! Aku mau ganti baju.” “Keluar? Saya suamimu, kalau kamu lupa,” ucap Yudhis di balik punggung Kiran dengan seringaian yang bisa Kiran lihat dari pantulan cermin.“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga
Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang
Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya