Share

Bab 3

Mami sakit.

Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah.

“Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas.

Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”

“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”

“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya.

“Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”

Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.

“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu.

“Kiran, kamu pulang, Nak?”

Kiran berjalan mendekat. Tangannya meraih tangan Laras kemudian menempelkan di pipinya. “Maafin Kiran, Mi.” Ia menatap lekat mata Laras yang dihiasi lingkaran gelap. Separah itukah kondisi maminya?

Semua masalah yang menimpa keluarganya membuat Laras tumbang. Sebagai pilar utama keluarga Bram, ia tak mampu menahan beban yang begitu berat. Terlebih saat putrinya pergi dari rumah tanpa kabar, ia tersiksa rasa bersalah dan khawatir yang mendalam. 

“Mami yang harusnya minta maaf, Ki,” ucap Laras lemah. Ia mengusap lembut pipi putri semata wayangnya.

Kiran melihat ke sekeliling. Perhatiannya berhenti pada sebuah nampan yang tampak belum tersentuh. “Mi, Mami makan ya? Biar Kiran yang suapin.”

Laras menggeleng pelan membuat Kiran semakin putus asa. “Kiran janji akan melakukan apapun asal Mami sembuh,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Apapun?”

Kiran tahu ke mana arah pertanyaan Laras. Ia tidak peduli lagi dengan kegundahannya, yang penting baginya hanya kesembuhan Laras. Demi Tuhan, ia tidak ingin kehilangan maminya. Hanya membayangkannya saja Kiran tidak sanggup, hidup seperti anak ayam kehilangan induknya. Sebuah binar terbit di wajah pasi Laras melihat Kiran berdiri dan mengambil nampan jatah makan siangnya.

“Sekarang makan, ya, Mi. Kan Kiran udah janji sama Mami,” ucap Kiran yang di angguki oleh Laras. Sesendok demi sesendok sudah berpindah ke perut Laras.

Bunyi derit pintu yang terdorong dari luar tak lantas membuat Kiran ingin menoleh ke belakang.

“Pi, Kiran sudah setuju menikah dengan Yudhis,” ucap Laras tertuju pada Bram. Senyum tipis tercetak jelas di wajahnya.

“Benarkah?” Wajah Bram berbinar. Seperti beban berat yang mengimpit baru diangkat darinya.

Wajah Kiran terangkat, matanya yang sayu menatap lekat wajah Bram. “Bukankah Kiran tidak punya pilihan lain? Terserah Papi saja. Kiran sudah seperti wayang yang sudah bosan Papi mainkan lalu di jual ke orang lain,” sinis Kiran.

Dada Bram terasa bergemuruh. Rahangnya mengatup erat hingga giginya beradu. Tidak ada yang salah dengan ucapan Kiran, namun semua itu terdengar sangat menyakitkan. Tidak taukah Kiran bahwa Bram berusaha memilihkan pendamping terbaik untuknya? Ia sudah mempersiapkan Panji sebagai penerus usahanya, dan jika Kiran menikah dengan Yudhis, pastilah kehidupan putrinya itu akan terjamin.

Alih-alih mendebat ucapan Kiran, Bram lebih memilih untuk diam. Baginya, Kiran setuju untuk menikah saja sudah sangat melegakan. Biar saja ia menyembunyikan harga dirinya sebagai seorang ayah yang terluka. Yang penting semua berjalan sesuai rencananya.

=*=*= 

“Calon pengantin ini cantik sekali,” puji Faye yang membantu Kiran bersiap.

Kiran menyipit sinis. Jika saja ia tidak memakai gaun manis itu, rasanya ia sudah bergelut dengan Faye. “Diam, Fa!” dengkusnya.

“Apalah arti sebuah angka, Ki. Kamu lihat kan Ji Chang Wook sama Lee Min Ho makin tua makin memesona,” Faye berusaha menghibur Kiran dengan menyebutkan nama-nama aktor Korea favorit mereka.

“Tapi ini Yudhistira Danadyaksa Wiguna, bukan Ji Chang Wook atau Lee Min Ho, Faye,” kesal Kiran sembari melemparkan beauty blender ke arah Faye.

Suara ketukan pintu membuat obrolan keduanya terjeda. Panji sudah berdiri di ambang pintu saat mereka menoleh. “Ki, Yudhis sudah datang. Papi minta kamu buat turun.”

Kiran menelan salivanya. Badannya terasa panas dingin dan gemetaran. Ia menatap ke arah Faye seakan meminta perlindungan. Faye menggenggam tangan Kiran yang sedingin es.

“Ki!” panggil Panji lagi.

“Mas, aku takut.”

Panji menghela napas lalu berjalan mendekati Kiran. Ia memegang kedua bahu Kiran. “Sekarang memang Mas nggak bisa berbuat apa-apa, Ki. Tapi Mas Panji janji jika kelak Yudhis menyakitimu, Mas jadi orang pertama yang akan menghajarnya.”

Kiran yang melihat kesungguhan di mata Panji, langsung memeluk erat tubuh sang kakak. Panji tidak mampu lagi menahan rasa sesalnya, di balik punggung Kiran, ia menyusut air matanya. Setelah terlepas dari pelukan Kiran, Panji menyelipkan jarinya di sela jemari Kiran. Kakak beradik itu segera meninggalkan kamar dan juga Faye di sana.

“Kiran...”

Mendengar sapaan Bram semua menatap ke arah tangga di mana Kiran berjalan turun dalam genggaman Panji. Panji tersenyum dan mengangguk saat Kiran menoleh padanya.

Tanpa komando Kiran menyalami satu persatu tamunya dimulai dari yang tertua hingga berakhir pada pria yang duduk paling ujung.

“Ya Tuhan, Kiran, kamu cantik sekali,” puji Beatrice.

“Terima kasih, tante,” balas Kiran atas pujian wanita berambut pirang itu.

“Bukan tante, panggil Mama, sayang,” ralat Beatrice.

Bram memperkenalkan siapa saja yang hadir saat itu pada Kiran dan saat sang papi memperkenalkan Yudhis, Kiran tidak berani mengangkat wajahnya. Sosok berperawakan tinggi besar khas pria bule itu tampak seperti monster bagi Kiran yang mungil. Panji yang sudah Kiran anggap tinggi saja masih kalah tinggi dari Yudhis. Seketika perut Kiran terasa melilit. Membayangkan Yudhis membanting tubuhnya, tentu tulang-tulangnya akan remuk seketika.

Panji menatap kasihan ke arah Kiran. Sebagai pria saja ia merasa insecure melihat tonjolan otot perut yang tercetak di balik kemeja Yudhis. Bagaimana dengan nasib Kiran nanti?

“Bagaimana, Kiran?” tanya Wiguna.

Kiran mengangkat wajahnya dan menatap wajah pria tua yang akhir-akhir ini namanya sering di sebut oleh orang tuanya itu. Lalu ia menatap ke arah Bram dan Laras. Sepasang suami istri itu menatapnya penuh harap. Kiran kembali menundukkan wajahnya lalu mengangguk samar.

“Syukurlah.” Wiguna bernapas lega. Ia menatap ke arah bingkai foto keluarga Bram yang tergantung di dinding. Senyum di bibirnya mengembang.

Mata Kiran membulat saat Beatrice mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru selebar buku tulis dan membukanya di atas meja. Sebuah benda yang berkilauan terpampang di sana.

"Panji, bisa kamu bertukar tempat dengan Yudhis?"

"Ah, iya, Tante. Tentu saja." Panji segera bangkit berdiri kemudian berjalan ke kursi Yudhis.

"Yudhis, pakaikan ini untuk Kiran!" Beatrice menatap Yudhis yang masih berdiri di balik punggung Kiran dengan tersenyum penuh arti.

Tangan panjang Yudhis terulur untuk mengambil kalung berlian dari dalam kotaknya kemudian melepaskan pengaitnya.

"Rambutnya, Kiran," ucap Laras mengingatkan.

Kiran menyatukan rambutnya dalam genggaman tangan kemudian sedikit mengangkatnya. Membebaskan lehernya saat Yudhis melingkarkan kalung itu di lehernya.

Kiran membeku. Ia sedikit meremang saat salah satu bagian dari tubuhnya yang sangat sensitif tersentuh oleh jari Yudhis.

Hanya memasang kalung, tapi kenapa rasanya lama sekali?

“Mereka sudah bertemu, dan semua sudah setuju. Sebaiknya disegerakan saja, mumpung Kakek masih ada umur.”

“Kek, jangan bicara seperti itu.” Akhirnya Yudhis yang sedari tadi diam angkat bicara. Suaranya terdengar berat  dan Kiran dibuat merinding karenanya.

Wiguna terkekeh menanggapi kekhawatiran di wajah Yudhis. “Usia tidak ada yang tau, anak muda. Bisakah pernikahannya dilangsungkan bulan depan?”

Apa? Bulan depan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status