Mami sakit.
Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.” “Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.” “Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.” Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan. “Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang, Nak?” Kiran berjalan mendekat. Tangannya meraih tangan Laras kemudian menempelkan di pipinya. “Maafin Kiran, Mi.” Ia menatap lekat mata Laras yang dihiasi lingkaran gelap. Separah itukah kondisi maminya? Semua masalah yang menimpa keluarganya membuat Laras tumbang. Sebagai pilar utama keluarga Bram, ia tak mampu menahan beban yang begitu berat. Terlebih saat putrinya pergi dari rumah tanpa kabar, ia tersiksa rasa bersalah dan khawatir yang mendalam. “Mami yang harusnya minta maaf, Ki,” ucap Laras lemah. Ia mengusap lembut pipi putri semata wayangnya. Kiran melihat ke sekeliling. Perhatiannya berhenti pada sebuah nampan yang tampak belum tersentuh. “Mi, Mami makan ya? Biar Kiran yang suapin.” Laras menggeleng pelan membuat Kiran semakin putus asa. “Kiran janji akan melakukan apapun asal Mami sembuh,” ucapnya sungguh-sungguh. “Apapun?” Kiran tahu ke mana arah pertanyaan Laras. Ia tidak peduli lagi dengan kegundahannya, yang penting baginya hanya kesembuhan Laras. Demi Tuhan, ia tidak ingin kehilangan maminya. Hanya membayangkannya saja Kiran tidak sanggup, hidup seperti anak ayam kehilangan induknya. Sebuah binar terbit di wajah pasi Laras melihat Kiran berdiri dan mengambil nampan jatah makan siangnya. “Sekarang makan, ya, Mi. Kan Kiran udah janji sama Mami,” ucap Kiran yang di angguki oleh Laras. Sesendok demi sesendok sudah berpindah ke perut Laras. Bunyi derit pintu yang terdorong dari luar tak lantas membuat Kiran ingin menoleh ke belakang. “Pi, Kiran sudah setuju menikah dengan Yudhis,” ucap Laras tertuju pada Bram. Senyum tipis tercetak jelas di wajahnya. “Benarkah?” Wajah Bram berbinar. Seperti beban berat yang mengimpit baru diangkat darinya. Wajah Kiran terangkat, matanya yang sayu menatap lekat wajah Bram. “Bukankah Kiran tidak punya pilihan lain? Terserah Papi saja. Kiran sudah seperti wayang yang sudah bosan Papi mainkan lalu di jual ke orang lain,” sinis Kiran. Dada Bram terasa bergemuruh. Rahangnya mengatup erat hingga giginya beradu. Tidak ada yang salah dengan ucapan Kiran, namun semua itu terdengar sangat menyakitkan. Tidak taukah Kiran bahwa Bram berusaha memilihkan pendamping terbaik untuknya? Ia sudah mempersiapkan Panji sebagai penerus usahanya, dan jika Kiran menikah dengan Yudhis, pastilah kehidupan putrinya itu akan terjamin. Alih-alih mendebat ucapan Kiran, Bram lebih memilih untuk diam. Baginya, Kiran setuju untuk menikah saja sudah sangat melegakan. Biar saja ia menyembunyikan harga dirinya sebagai seorang ayah yang terluka. Yang penting semua berjalan sesuai rencananya. =*=*= “Calon pengantin ini cantik sekali,” puji Faye yang membantu Kiran bersiap. Kiran menyipit sinis. Jika saja ia tidak memakai gaun manis itu, rasanya ia sudah bergelut dengan Faye. “Diam, Fa!” dengkusnya. “Apalah arti sebuah angka, Ki. Kamu lihat kan Ji Chang Wook sama Lee Min Ho makin tua makin memesona,” Faye berusaha menghibur Kiran dengan menyebutkan nama-nama aktor Korea favorit mereka. “Tapi ini Yudhistira Danadyaksa Wiguna, bukan Ji Chang Wook atau Lee Min Ho, Faye,” kesal Kiran sembari melemparkan beauty blender ke arah Faye. Suara ketukan pintu membuat obrolan keduanya terjeda. Panji sudah berdiri di ambang pintu saat mereka menoleh. “Ki, Yudhis sudah datang. Papi minta kamu buat turun.” Kiran menelan salivanya. Badannya terasa panas dingin dan gemetaran. Ia menatap ke arah Faye seakan meminta perlindungan. Faye menggenggam tangan Kiran yang sedingin es. “Ki!” panggil Panji lagi. “Mas, aku takut.” Panji menghela napas lalu berjalan mendekati Kiran. Ia memegang kedua bahu Kiran. “Sekarang memang Mas nggak bisa berbuat apa-apa, Ki. Tapi Mas Panji janji jika kelak Yudhis menyakitimu, Mas jadi orang pertama yang akan menghajarnya.” Kiran yang melihat kesungguhan di mata Panji, langsung memeluk erat tubuh sang kakak. Panji tidak mampu lagi menahan rasa sesalnya, di balik punggung Kiran, ia menyusut air matanya. Setelah terlepas dari pelukan Kiran, Panji menyelipkan jarinya di sela jemari Kiran. Kakak beradik itu segera meninggalkan kamar dan juga Faye di sana. “Kiran...” Mendengar sapaan Bram semua menatap ke arah tangga di mana Kiran berjalan turun dalam genggaman Panji. Panji tersenyum dan mengangguk saat Kiran menoleh padanya. Tanpa komando Kiran menyalami satu persatu tamunya dimulai dari yang tertua hingga berakhir pada pria yang duduk paling ujung. “Ya Tuhan, Kiran, kamu cantik sekali,” puji Beatrice. “Terima kasih, tante,” balas Kiran atas pujian wanita berambut pirang itu. “Bukan tante, panggil Mama, sayang,” ralat Beatrice. Bram memperkenalkan siapa saja yang hadir saat itu pada Kiran dan saat sang papi memperkenalkan Yudhis, Kiran tidak berani mengangkat wajahnya. Sosok berperawakan tinggi besar khas pria bule itu tampak seperti monster bagi Kiran yang mungil. Panji yang sudah Kiran anggap tinggi saja masih kalah tinggi dari Yudhis. Seketika perut Kiran terasa melilit. Membayangkan Yudhis membanting tubuhnya, tentu tulang-tulangnya akan remuk seketika. Panji menatap kasihan ke arah Kiran. Sebagai pria saja ia merasa insecure melihat tonjolan otot perut yang tercetak di balik kemeja Yudhis. Bagaimana dengan nasib Kiran nanti? “Bagaimana, Kiran?” tanya Wiguna. Kiran mengangkat wajahnya dan menatap wajah pria tua yang akhir-akhir ini namanya sering di sebut oleh orang tuanya itu. Lalu ia menatap ke arah Bram dan Laras. Sepasang suami istri itu menatapnya penuh harap. Kiran kembali menundukkan wajahnya lalu mengangguk samar. “Syukurlah.” Wiguna bernapas lega. Ia menatap ke arah bingkai foto keluarga Bram yang tergantung di dinding. Senyum di bibirnya mengembang. Mata Kiran membulat saat Beatrice mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru selebar buku tulis dan membukanya di atas meja. Sebuah benda yang berkilauan terpampang di sana. "Panji, bisa kamu bertukar tempat dengan Yudhis?" "Ah, iya, Tante. Tentu saja." Panji segera bangkit berdiri kemudian berjalan ke kursi Yudhis. "Yudhis, pakaikan ini untuk Kiran!" Beatrice menatap Yudhis yang masih berdiri di balik punggung Kiran dengan tersenyum penuh arti. Tangan panjang Yudhis terulur untuk mengambil kalung berlian dari dalam kotaknya kemudian melepaskan pengaitnya. "Rambutnya, Kiran," ucap Laras mengingatkan. Kiran menyatukan rambutnya dalam genggaman tangan kemudian sedikit mengangkatnya. Membebaskan lehernya saat Yudhis melingkarkan kalung itu di lehernya. Kiran membeku. Ia sedikit meremang saat salah satu bagian dari tubuhnya yang sangat sensitif tersentuh oleh jari Yudhis. Hanya memasang kalung, tapi kenapa rasanya lama sekali? “Mereka sudah bertemu, dan semua sudah setuju. Sebaiknya disegerakan saja, mumpung Kakek masih ada umur.” “Kek, jangan bicara seperti itu.” Akhirnya Yudhis yang sedari tadi diam angkat bicara. Suaranya terdengar berat dan Kiran dibuat merinding karenanya. Wiguna terkekeh menanggapi kekhawatiran di wajah Yudhis. “Usia tidak ada yang tau, anak muda. Bisakah pernikahannya dilangsungkan bulan depan?” Apa? Bulan depan?Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya
“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah
“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga
Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah
Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya
Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang
Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga