Share

Bab 7

Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya.

"Iya, Mi?"

"Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-"

"Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon.

Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya.

Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur?

Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva.

Tak mau berlama-lama Kiran segera membersihkan diri dan bergabung dengan yang lain.

Langkah Kiran terhenti sesaat, melihat ke sebuah meja besar dengan orang-orang yang duduk mengelilinginya. Tatapannya berhenti pada sosok berkemeja putih dengan dua kancing atas terbuka dan lengan digulung sebatas siku.

"Sayang, kenapa berdiri saja di situ? ayo sini!" panggil Beatrice yang menyadarkan Kiran dari lamunannya.

"Ah, iya, Ma. Maaf, Kiran telat bangun."

"It's oke, sayang. Ayo duduk."

Satu-satunya kursi tersisa hanya di sebelah Yudhis. Mau tak mau Kiran mengayun kakinya ke sana.

"Thank you, Felix," ucap Kiran saat asisten Yudhis menarik kursi untuknya.

Tak ada yang angkat suara, semua fokus pada makanan yang ada di hadapannya masing-masing.

"Kiran..."

Kiran mendongak dan menatap ke arah Beatrice. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Ya, Ma?"

"Besok kalian sudah berangkat ke Rotterdam. Mama nitip Yudhis, ya. Dia terlalu gila kerja, jangan sampai dia lupa waktu."

"Besok? Rotterdam?" ulang Kiran. Daging kualitas terbaik yang masuk ke mulutnya seakan sulit tertelan.

"Lho, memang Yudhis belum bilang ke kamu?"

Kiran menoleh cepat ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu seakan tanpa beban masih asik dengan makanannya.

Beatrice menggelengkan kepalanya sembari menghela napas. "Kamu tidak usah khawatir, sayang. Yudhis sudah mengurus semuanya."

Kiran menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Nafsu makannya menguap seketika. Mengapa semua orang jadi seenak hati mereka tanpa mengerti apa maunya? Kiran benar-benar merasa ia hanya sebuah barang yang diperlakukan seenaknya oleh si empunya. Bahkan kedua orang tuanya juga hanya terdiam tanpa sepatah katapun di hadapan keluarga Yudhis.

"Permisi, semua, Kiran kembali ke kamar dulu," pamit Kiran sembari bangikt berdiri dan berusaha sekeras mungkin menahan air matanya jatuh.

"Nyonya-" ucap Felix ingin mengikuti langkah Kiran.

"Biarkan saja," cegah Yudhis.

"Kiran butuh waktu sendiri. Semua begitu mendadak buat dia. Saya minta maaf, Om, Tante."

Pandu menghela napas dan menepuk bahu menantunya. "Om, yang minta maaf atas sikap Kiran, Yudhis. Dia masih kekanak-kanakan. Tolong kamu bersabar ya menghadapinya. Om titip Kiran, ya."

Kiran berjalan cepat melewati koridor. Ia menanggapi sekilas sapaan hormat para pegawai hotel yang berpapasan dengannya. Membuka pintu kamar ia langsung menuju halaman belakang kamarnya.

Dicarinya nama sahabatnya di antara jajaran nama yang ada dalam kontak ponselnya.

"Ciyeee pengantin baru," goda suara di seberang sana.

"Ki, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Faye terdengar cemas, pasalnya yang ia dengar hanya isakan Kiran.

"Kenapa sih, semua orang jadi semaunya sendiri? Aku tuh kaya sudah nggak berhak lagi atas hidupku, Fa. Kenapa semua jahat sama aku, Fa. Aku harus gimana kalau jauh dari kamu, Fa?" cerocos Kiran.

"Ki, apa maksudmu? Ngomong pelan-pelan, dong. Meski kamu sudah merid kita kan tetap bisa sering ketemuan, Ki?"

"Besok Mas Yudhis bawa aku pindah ke Rotterdam, Fa. Dan kamu tau? Aku baru dikasih tau pagi ini."

"Hah? Em, tapi Ki... persahabatan itu tidak terbatas jarak, kan." Faye berusaha meredam emosi Kiran, meskipun ia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya juga.

"Dengar aku, Ki. Kita kan masih bisa tetap keep contact. Sekarang kamu sudah menikah, tentu saja suamimu harus jadi prioritasmu. Mungkin kamu bisa mulai belajar buka hatimu buat menerima Yudhis dan semua kondisi ini. Siapa tau memang ini yang terbaik buat kamu, Ki."

"Ck, ternyata kamu sama saja dengan mereka, Fa."

"Ki-."

Kiran memutuskan sambungan teleponnya. Bahkan ia mematikan ponselnya. Nyatanya tidak ada satupun orang yang mengerti akan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status