Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda.
Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?” Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya dengan suara nyaringnya Laras—mami Kiran mampu mengumpulkan seisi rumah di lantai bawah. “Mami mau bicara, boleh Mami masuk?” Hati Kiran berdebar. Apakah seharian ini ia melakukan kesalahan yang menyulut murka sang mami? Laras hampir tak pernah marah, namun sekali marah bahkan bendungan Bengawan Solo pun tak akan mampu menahannya. Kiran menggeser tubuhnya, membiarkan Laras melenggang memasuki kamarnya, lalu ia melangkah mengekori Laras dan membiarkan pintu tetap terbuka. “Kiran...” Suara itu terdengar begitu lembut namun menggetarkan. Laras mengambil jeda, membuat hati Kiran semakin penuh tanya. “Duduk sini dekat Mami!” Tangan laras menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya. Tatapannya tak lepas dari putri semata wayangnya yang tampak ragu. “Kiran, kamu sudah dengar, kan, jika perusahaan papi sedang tidak baik-baik saja?” Kiran mengangguk samar. Ia masih menunggu kelanjutan kata-kata dari Laras. Namun entah mengapa perasaannya sudah tidak enak. Ada pekat yang perlahan menjalar. Jika orang tua sudah mengutarakan kesulitan keuangan pada anaknya tentulah itu bukan suatu hal yang dianggap sepele lagi. “Sebenarnya ada cara yang bisa kita lakukan untuk menutup semuanya, tapi cuma kamu yang bisa, Sayang.” Laras membelai lembut rambut panjang Kiran. Kiran dibuat semakin tak mengerti. Apa sumbangsih yang bisa ia berikan untuk perusahaan batik keluarganya? Ia hanya bisa mendisain. “Tapi Kiran nggak ngerti urusan perusahaan, Mi. Kenapa nggak Mas Panji saja?” Laras menghela napas dan tampak sangat memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya. “Nggak bisa, Sayang.” Ia meraih tangan Kiran lalu menggenggamnya. “Kamu ingat sama Kakek Wiguna?” Kening Kiran berkerut kemudian ia menggeleng pertanda benar-benar tidak mengingat siapa yang Laras maksud. Memangnya siapa Kakek Wiguna? Helaan napas Laras terdengar berat. “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita hanyalah, menikahkan kamu dengan Yudhis. Cucunya Kakek Wiguna.” Kiran terkekeh pelan. Ucapan Laras terdengar seperti lelucon baginya. “Hah? Menikah? Mami pasti bercanda, kan?” “Sayang, Mami serius.” Iris coklat itu memasung mata Kiran, menusuk tepat di hati Kiran dan menorehkan perih di sana. Seketika tawa Kiran hilang, berganti perasaan carut marut yang menyesakkan rongga dadanya. Ia sontak berdiri. Mata cokelatnya membulat dan menajam. Dadanya memanas dan bergemuruh bagai gunung berapi yang sudah siap memuntahkan laharnya. “Ini nggak bener, Mi! Mami tega ngejual anak sendiri demi nutup utang perusahaan? Mi, Kiran anak Mami, apa begitu mudahnya menjual anak untuk menikahi orang yang Kiran sendiri belum pernah mengenalnya? Jawab, Mi! Kenapa harus Kiran?” Intonasi Kiran meninggi dengan napas yang memburu. “Bukan begitu maksud Mami, Kiran. Kami hanya memikirkan masa depanmu.” Suara rendah itu tak ubahnya bahan bakar yang semakin menyulut emosi Kiran. “Terbaik untuk Kiran? Dengan membuang Kiran dari rumah ini, begitu maksud Mami? Mami sudah tidak sayang Kiran lagi? Apa salah Kiran, Mi?” Kiran semakin tak terkendali. Air matanya sudah tak terbendung. Seumur-umur Kiran tidak pernah membantah ucapan kedua orang tuanya, ia selalu menjadi anak manis yang penurut. Namun kini semua ucapan Laras tidak bisa diterima akal sehatnya. “Kiran nggak mau, Mi,” tolaknya mentah-mentah. “Yudhis pria yang baik, Ki. Dia cucu Kakek Wiguna satu-satunya. Sudah dipastikan hidupmu kelak akan terjamin. Daripada kamu pacaran sama cowok yang belum jelas asal usulnya.” Sekeras apapun Laras meyakinkan Kiran, gadis itu masih defensif. “Tapi Kiran nggak cinta sama dia, Mami.” Kiran masih mencoba berargumen, membangun tembok untuk bertahan. “Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, Sayang. “ “Ya kalau tumbuh, kalau tidak? Mami sepertinya bahagia melihat Kiran menderita.” “Kiran!” Tangan Laras yang terangkat menggantung di udara. Semakin ia mencoba meyakinkan Kiran, semakin anak itu memberontak dengan kata-katanya yang menyudutkan. Ibu mana yang tidak ingin melihat buah hatinya bahagia? Air mata Laras mulai jatuh. “Ayo, tampar Kiran, Mi!” Kiran menyodorkan pipi kirinya. “Sekarang Kiran ngerti, kalian hanya menyayangi Mas Panji. Tapi begitu membenci Kiran.” Kiran membuang mukanya dan menghapus kasar air matanya dengan punggung tangan saat suara Bram—papinya terdengar. “Kiran, ini salah Papi. Harusnya Papi tidak membebanimu. Kamu putri kami satu-satunya. Tapi permasalahan ini begitu mendesak. Papi ingin kamu memikirkannya kembali.” Bram menghela napas berat. “Dampak dari covid kemarin membuat keuangan perusahaan batik kita hancur lebur. Harga bahan baku yang meningkat, dan permintaan di pasaran yang menurun, memaksa Papi untuk mengajukan pinjaman ke bank. Sekarang sudah jatuh tempo, dan kita tidak mampu membayar angsuran bulanannya dengan pemasukan yang begitu minim ini. Papi sudah berjanji sejak berdirinya perusahaan kita, untuk tidak melakukan PHK pada karyawan, karena hidup mereka sulit, selama puluhan tahun mereka setia mengabdi dan menggantungkan mata pencaharian keluarga mereka dari perusahaan kita. Papi tidak tega-“ “Tapi Papi tega ngorbanin Kiran?” putus Kiran dengan suara yang melengking. “Papi justru memikirkan yang terbaik buat kamu, Kiran. Kakek Wiguna sudah begitu baik pada keluarga kita. Tidak cuma sekali, bahkan kali ini beliau berkenan memberikan nominal yang lebih dari cukup untuk melunasi tanggungan perusahaan. Beliau sendiri yang menginginkanmu menikah dengan cucunya.” “Kenapa harus Kiran, Pi?” “Lalu siapa lagi? Putri Papi cuma kamu. Mungkin beliau menilai kamu yang terbaik untuk cucunya. Dan Papi yakin Yudhis bisa Papi andalkan untuk menjagamu nantinya.” Seperti ada besi panas yang mencolok kedua mata Kiran yang membuat air matanya tak henti mengalir. Harusnya tangan itu merengkuhnya, tapi justru menyerahkannya pada penadah. Harusnya mulut itu membelanya, tapi justru memperjual belikannya. Jika melawan orang tua itu merupakan dosa besar, maka membuat tawar hati seorang anak tidak kalah salahnya. “Pi, sudah malam, nggak enak didengar tetangga. Biarkan Kiran istirahat dulu.” Laras mengusap lembut pundak Bram membuat nada bicara pria berkumis itu melembut. “Pikirkan lagi baik-baik, Ki,” ucap Bram sebelum mereka meninggalkan kamar Kiran. =*=*= Kiran mendesah resah. Makanan di piringnya sudah menjadi dingin sedangkan belum sesuap pun mengisi kekosongan perutnya. Tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk isi piring, sedangkan tangan kiri menyangga kepalanya yang terasa sangat berat. “Kamu kenapa, sih, Ki?” selidik Panji. Tidak biasanya adik semata wayang yang penuh keceriaan, hari ini tampak bermuram durja. Mata Kiran menyipit sinis. Ia menunjuk Panji yang duduk di hadapannya dengan ujung garpunya. “Kenapa Mas Panji nggak lahir sebagai seorang cewek aja?” “Dih! Apaan, sih? Nggak jelas nih anak.” Panji menggedikkan bahunya dan lebih memilih untuk melanjutkan menyantap makanannya. Nasi goreng buatan Mbok Jumi pantang untuk ia lewatkan. Tatapan mata Kiran beralih pada Bram dan Laras yang saling melempar pandang. Selera makan Kiran sudah menguap tak bersisa. Setelah suapan terakhir, Bram meletakkan sendoknya di atas piring yang sudah kosong. Ia menyesap air putih sebelum berdehem pelan. “Nji, kamu masih ingat cucu Kakek Wiguna?” Kening Panji berkerut. “Yudhis maksud Papi?” tanyanya yang diangguki oleh Bram. “Ingat, kenapa, Pi?” “Papi menjodohkan Yudhis sama Kiran.” Panji terbatuk, alih-alih membasahi kerongkongannya, air yang ditenggaknya menyasar ke hidung dan meninggalkan rasa pengar. Lalu, wajahnya terangkat, menatap wajah adik semata wayangnya yang semakin muram. “Tapi Kiran masih terlalu muda untuk menikah, Pi.” Akhirnya Kiran merasakan memiliki seorang pembela. Harapan yang Kiran miliki hanyalah Panji. Pria yang kesehariannya membantu menjalankan perusahaan keluarga itu begitu menyayangi Kiran. “Jika kita tidak segera melunasi tunggakan, dalam bulan ini. Semua aset kita akan disita. Termasuk perusahaan dan juga....” Bram menatap langit-langit. “Rumah ini,” lanjutnya. Hati Kiran seperti terhantam benda yang sangat besar. Ia semakin terpojok. Nyatanya power seorang Panji tidak sebesar Bram. Nasib keluarganya seperti bergantung padanya. “Ki-“ Ucapan Panji terputus. “Kalian semua egois,” teriak Kiran Serta merta Kiran meletakkan sendoknya. Tanpa menunggu ucapan Panji, ia bangkit berdiri, kakinya mengentak lantai. Lalu setengah berlari, Kiran menaiki anak tangga yang membawanya menuju ke kamar. Daun pintu yang diayunnya menimbulkan dentuman yang sangat keras. Seakan menyiratkan hatinya yang terkoyak lebar.Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang
Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya
“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah
“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members