Share

Perfect Arranged Marriage
Perfect Arranged Marriage
Penulis: Anna Dysa

Bab 1

Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda.

Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang  yang dipandanginya malam ini.

Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu.

“Mami? Tumben?”

Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya dengan suara nyaringnya Laras—mami Kiran mampu mengumpulkan seisi rumah di lantai bawah.

“Mami mau bicara, boleh Mami masuk?”

Hati Kiran berdebar. Apakah seharian ini ia melakukan kesalahan yang menyulut murka sang mami? Laras hampir tak pernah marah, namun sekali marah bahkan bendungan Bengawan Solo pun tak akan mampu menahannya. 

Kiran menggeser tubuhnya, membiarkan Laras melenggang memasuki kamarnya, lalu ia melangkah mengekori Laras dan membiarkan pintu tetap terbuka.

“Kiran...” Suara itu terdengar begitu lembut namun menggetarkan. Laras mengambil jeda, membuat hati Kiran semakin penuh tanya.

“Duduk sini dekat Mami!” Tangan laras menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya. Tatapannya tak lepas dari putri semata wayangnya yang tampak ragu.

“Kiran, kamu sudah dengar, kan, jika perusahaan papi sedang tidak baik-baik saja?”

Kiran mengangguk samar. Ia masih menunggu kelanjutan kata-kata dari Laras. Namun entah mengapa perasaannya sudah tidak enak. Ada pekat yang perlahan menjalar. Jika orang tua sudah mengutarakan kesulitan keuangan pada anaknya tentulah itu bukan suatu hal yang dianggap sepele lagi.

“Sebenarnya ada cara yang bisa kita lakukan untuk menutup semuanya, tapi cuma kamu yang bisa, Sayang.” Laras membelai lembut rambut panjang Kiran.

Kiran dibuat semakin tak mengerti. Apa sumbangsih yang bisa ia berikan untuk perusahaan batik keluarganya? Ia hanya bisa mendisain.

“Tapi Kiran nggak ngerti urusan perusahaan, Mi. Kenapa nggak Mas Panji saja?”

Laras menghela napas dan tampak sangat memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya. “Nggak bisa, Sayang.” Ia meraih tangan Kiran lalu menggenggamnya. “Kamu ingat sama Kakek Wiguna?”

Kening Kiran berkerut kemudian ia menggeleng pertanda benar-benar tidak mengingat siapa yang Laras maksud. Memangnya siapa Kakek Wiguna?

Helaan napas Laras terdengar berat. “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita hanyalah, menikahkan kamu dengan Yudhis. Cucunya Kakek Wiguna.”

Kiran terkekeh pelan. Ucapan Laras terdengar seperti lelucon baginya. “Hah? Menikah? Mami pasti bercanda, kan?”

“Sayang, Mami serius.” Iris coklat itu memasung mata Kiran, menusuk tepat di hati Kiran dan menorehkan perih di sana.

Seketika tawa Kiran hilang, berganti perasaan carut marut yang menyesakkan rongga dadanya. Ia sontak berdiri. Mata cokelatnya membulat dan menajam. Dadanya memanas dan bergemuruh bagai gunung berapi yang sudah siap memuntahkan laharnya.

“Ini nggak bener, Mi! Mami tega ngejual anak sendiri demi nutup utang perusahaan? Mi, Kiran anak Mami, apa begitu mudahnya menjual anak untuk menikahi orang yang Kiran sendiri belum pernah mengenalnya? Jawab, Mi! Kenapa harus Kiran?” Intonasi Kiran meninggi dengan napas yang memburu.

“Bukan begitu maksud Mami, Kiran. Kami hanya memikirkan masa depanmu.” Suara rendah itu  tak ubahnya bahan bakar yang semakin menyulut emosi Kiran.

“Terbaik untuk Kiran? Dengan membuang Kiran dari rumah ini, begitu maksud Mami? Mami sudah tidak sayang Kiran lagi? Apa salah Kiran, Mi?”

Kiran semakin tak terkendali. Air matanya sudah tak terbendung. Seumur-umur Kiran tidak pernah membantah ucapan kedua orang tuanya, ia selalu menjadi anak manis yang penurut. Namun kini semua ucapan Laras tidak bisa diterima akal sehatnya.

“Kiran nggak mau, Mi,” tolaknya mentah-mentah.

“Yudhis pria yang baik, Ki. Dia cucu Kakek Wiguna satu-satunya. Sudah dipastikan hidupmu kelak akan terjamin. Daripada kamu pacaran sama cowok yang belum jelas asal usulnya.” Sekeras apapun Laras meyakinkan Kiran, gadis itu masih defensif.

“Tapi Kiran nggak cinta sama dia, Mami.” Kiran masih mencoba berargumen, membangun tembok untuk bertahan.

“Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, Sayang. “

“Ya kalau tumbuh, kalau tidak? Mami sepertinya bahagia melihat Kiran menderita.”

“Kiran!” Tangan Laras yang terangkat menggantung di udara. Semakin ia mencoba meyakinkan Kiran, semakin anak itu memberontak dengan kata-katanya yang menyudutkan. Ibu mana yang tidak ingin melihat buah hatinya bahagia? Air mata Laras mulai jatuh.

“Ayo, tampar Kiran, Mi!” Kiran menyodorkan pipi kirinya. “Sekarang Kiran ngerti, kalian hanya menyayangi Mas Panji. Tapi begitu membenci Kiran.”

Kiran membuang mukanya dan menghapus kasar air matanya dengan punggung tangan saat suara Bram—papinya terdengar.

“Kiran, ini salah Papi. Harusnya Papi tidak membebanimu. Kamu putri kami satu-satunya. Tapi permasalahan ini begitu mendesak. Papi ingin kamu memikirkannya kembali.” Bram menghela napas berat.

 “Dampak dari covid kemarin membuat keuangan perusahaan batik kita hancur lebur. Harga bahan baku yang meningkat, dan permintaan di pasaran yang menurun, memaksa Papi untuk mengajukan pinjaman ke bank. Sekarang sudah jatuh tempo, dan kita tidak mampu membayar angsuran bulanannya dengan pemasukan yang begitu minim ini. Papi sudah berjanji sejak berdirinya perusahaan kita, untuk tidak melakukan PHK pada karyawan, karena hidup mereka sulit, selama puluhan tahun mereka setia mengabdi dan menggantungkan mata pencaharian keluarga mereka dari perusahaan kita. Papi tidak tega-“

“Tapi Papi tega ngorbanin Kiran?” putus Kiran dengan suara yang melengking.

“Papi justru memikirkan yang terbaik buat kamu, Kiran. Kakek Wiguna sudah begitu baik pada keluarga kita. Tidak cuma sekali, bahkan kali ini beliau berkenan memberikan nominal yang lebih dari cukup untuk melunasi tanggungan perusahaan. Beliau sendiri yang menginginkanmu menikah dengan cucunya.”

“Kenapa harus Kiran, Pi?”

“Lalu siapa lagi? Putri Papi cuma kamu. Mungkin beliau menilai kamu yang terbaik untuk cucunya. Dan Papi yakin Yudhis bisa Papi andalkan untuk menjagamu nantinya.”

Seperti ada besi panas yang mencolok kedua mata Kiran yang membuat air matanya tak henti mengalir. Harusnya tangan itu merengkuhnya, tapi justru menyerahkannya pada penadah. Harusnya mulut itu membelanya, tapi justru memperjual belikannya. Jika melawan orang tua itu merupakan dosa besar, maka membuat tawar hati seorang anak tidak kalah salahnya.

“Pi, sudah malam, nggak enak didengar tetangga. Biarkan Kiran istirahat dulu.” Laras mengusap lembut pundak Bram membuat nada bicara pria berkumis itu melembut.

“Pikirkan lagi baik-baik, Ki,” ucap Bram sebelum mereka meninggalkan kamar Kiran.

 

=*=*=

 

Kiran mendesah resah. Makanan di piringnya sudah menjadi dingin sedangkan belum sesuap pun mengisi kekosongan perutnya. Tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk isi piring, sedangkan tangan kiri menyangga kepalanya yang terasa sangat berat.

“Kamu kenapa, sih, Ki?” selidik Panji. Tidak biasanya adik semata wayang yang penuh keceriaan, hari ini tampak bermuram durja.

Mata Kiran menyipit sinis. Ia menunjuk Panji yang duduk di hadapannya dengan ujung garpunya. “Kenapa Mas Panji nggak lahir sebagai seorang cewek aja?”

“Dih! Apaan, sih? Nggak jelas nih anak.” Panji menggedikkan bahunya dan lebih memilih untuk melanjutkan menyantap makanannya. Nasi goreng buatan Mbok Jumi pantang untuk ia lewatkan.

Tatapan mata Kiran beralih pada Bram dan Laras yang saling melempar pandang. Selera makan Kiran sudah menguap tak bersisa.

Setelah suapan terakhir, Bram meletakkan sendoknya di atas piring yang sudah kosong. Ia menyesap air putih sebelum berdehem pelan. “Nji, kamu masih ingat cucu Kakek Wiguna?”

Kening Panji berkerut. “Yudhis maksud Papi?” tanyanya yang diangguki oleh Bram. “Ingat, kenapa, Pi?”

“Papi menjodohkan Yudhis sama Kiran.”

Panji terbatuk, alih-alih membasahi kerongkongannya, air yang ditenggaknya menyasar ke hidung dan meninggalkan rasa pengar. Lalu, wajahnya terangkat, menatap wajah adik semata wayangnya yang semakin muram.

“Tapi Kiran masih terlalu muda untuk menikah, Pi.”

Akhirnya Kiran merasakan memiliki seorang pembela. Harapan yang Kiran miliki hanyalah Panji. Pria yang kesehariannya membantu menjalankan perusahaan keluarga itu begitu menyayangi Kiran.

“Jika kita tidak segera melunasi tunggakan, dalam bulan ini. Semua aset kita akan disita. Termasuk perusahaan dan juga....” Bram menatap langit-langit. “Rumah ini,” lanjutnya.

Hati Kiran seperti terhantam benda yang sangat besar. Ia semakin terpojok. Nyatanya power seorang Panji tidak sebesar Bram. Nasib keluarganya seperti bergantung padanya.

“Ki-“ Ucapan Panji terputus.

“Kalian semua egois,” teriak Kiran

Serta merta Kiran meletakkan sendoknya. Tanpa menunggu ucapan Panji, ia bangkit berdiri, kakinya mengentak lantai. Lalu setengah berlari, Kiran menaiki anak tangga yang membawanya menuju ke kamar. Daun pintu yang diayunnya menimbulkan dentuman yang sangat keras. Seakan menyiratkan hatinya yang terkoyak lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status