Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan.
Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis itu menguap sekali saat Kiran sudah menyelonong masuk dan mengempaskan tubuhnya di sebuah sofa. “Aku dijodohkan, Fa.” Faye—sahabatnya—yang masih setengah nyawa tak langsung bereaksi. “Dijodohkan?” ulangnya lirih. “Apa? Dijodohkan?” Kini kedua mata Faye terbuka lebar. Rasa kantuknya hilang seketika. “Bagaimana bisa?” Kiran menceritakan dengan runut apa yang menimpa keluarga. Beragam ekpresi terlihat di wajah Faye. “Jadi, kalau mereka tanya aku di mana, jangan bilang, ya, Fa,” pinta Kiran saat mengakhiri sesi curhatnya. Faye menatap kasihan ke arah Kiran, lalu ia membuka tangannya dan keduanya berpelukan erat. “Semua akan baik-baik saja, Ki.” Rasanya Kiran ingin memercayainya, namun sulit sekali. Bagaimana semua bisa baik-baik saja saat ia harus menikah dengan orang yang belum ia kenal sebelumnya? Bagaimana ia bisa menjalani pernikahan tanpa cinta? Bagaimana jika Yudhis tidak memperlakukannya dengan baik atau bahkan melakukan kekerasan dalam rumah tangga? =*=*= Surya hadir membawa kehebohan di rumah kediaman keluarga Bram. Suara teriakan Laras beradu dengan bunyi mesin penyedot debu yang digunakan Mbok Jumi. Laras tergopoh-gopoh menuruni tangga dan mencapai lantai bawah bertepatan dengan Bram membuka pintu utama sepulang dari lari pagi. “Kiran kabur dari rumah, Pi,” paniknya. “Mami yakin sudah cari ke semua tempat?” Melihat raut wajah cemas Laras membuat Bram memijit pangkal hidungnya, berusaha mengurangi denyut di kepalanya yang begitu menyiksa. Tepat saat itu ponselnya berdering. Ia segera menatap layar ponselnya dan menggeser icon berwarna hijau untuk menyambungkan dengan orang di seberang sana. “Iya Om, saya segera ke sana.” Bram menghela napasnya saat sambungan terputus. “Papi mau ke mana?” tanya Laras melihat Bram beranjak menaiki tangga. “Om Wiguna meminta Papi datang.” “Terus Kiran gimana, Pi?” Bram kembali berbalik. Ia memegang kedua pundak Laras. “Minta Panji cari Kiran dulu, nanti setelah urusan papi selesai, kita cari bersama, oke?” =*=*= Mobil yang dikemudikan oleh Bram sudah memasuki gerbang yang menjulang tinggi yang mengepung sebuah mansion bergaya klasik modern. Pilarnya yang kokoh menyangga bagian depan bangunan itu. Sebuah kolam dengan air mancur di tengahnya semakin memperindah suasana. Seorang penjaga mengambil alih mobil Bram saat ia sudah keluar. “Silakan, Tuan Besar sudah menunggu anda.” Seorang pria muda dengan setelan jas warna abu-abu mempersilakan dan mengantarkannya menuju sebuah ruangan. “Bram, akhirnya kamu datang juga,” sambut seorang pria tua dengan sebuah tongkat di tangannya. Meski sudah tampak berumur, namun pria itu masih terlihat gagah. Terlukis jelas jika pola hidupnya di masa muda benar-benar terjaga. “Sebuah kehormatan bagi kami, Om,” ucap Bram takzim. Badannya membungkuk dan kepalanya tertunduk, tenggelam dalam rasa hormat yang begitu dalam. “Duduklah!” titah Wiguna. Ia menatap lekat ke arah Bram. “Di mana putrimu?” tanyanya kemudian. “Maafkan kami, Om. Kiran belum bisa ikut kali ini-“ ucapan Bram terputus. “Gadis itu masih menolak, benar?” Wiguna tersenyum samar. Bram menegakkan badannya. Tangannya saling bertaut di atas meja. “Kami pastikan Kiran mau menerima perjodohan ini, Om.” Wiguna terkekeh. Kepalanya mangut-mangut. Ia mengeluarkan sebuah buku cek dari dalam laci meja kerjanya kemudian menuliskan sejumlah angka di atasnya. Bram masih menunggu dalam diam hingga Wiguna selesai membubuhkan tanda tangannya. “Gunakan untuk melunasi tanggunganmu terlebih dahulu. Separuhnya akan kuberikan setelah pesta pernikahan Yudhis dan Kiran. Kalian tidak perlu memikirkan biaya pernikahan. Semua sudah kami persiapkan,” ucap Wiguna sembari menyodorkan selembar cek pada Bram. Tangan Bram bergetar memegang selembar kecil yang besar pengaruhnya pada kehidupan keluarganya. Matanya membulat, dan mulutnya sedikit terbuka membaca deretan angka yang Wiguna tulis di sana. Seratus miliar, itu baru uang muka yang di berikan oleh Wiguna sebagai mahar untuk meminang putrinya. Bahkan nominal itu sudah lebih dari cukup untuk melunasi hutang perusahaan. “Te-terima kasih, Om,” ucapnya dengan perasaan yang membuncah. “Kamu sudah kuanggap seperti putraku, Bram. Jadi jangan kecewakan aku,” tekan Wiguna. “Selanjutnya, bicarakan dengan Pandu dan Beatrice, juga Laras untuk masalah pernikahan anak-anak kalian.” “Baik, Om. Kalau begitu kami permisi untuk menemui Pandu dan Beatrice,” pamit Bram yang diangguki oleh Wiguna. =*=*= “Laras tidak ikut? “ tanya Beatrice pada Bram sembari meletakkan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapan Bram. Aroma kafein menguar ke udara, memberikan kesan hangat dan menenangkan. Wanita berambut pirang berdarah Belanda itu mengambil tempat duduk di sebelah Pandu—putra tunggal Wiguna yang notabene adalah suaminya. “Laras ... sedikit kurang enak badan,” dusta Bram. Ia tidak mungkin mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga calon besannya itu meski mereka sudah bersahabat. Persahabatan yang sudah dimulai sejak generasi sebelumnya—Wiguna dan mendiang Wiratama, ayah dari Bram—nyatanya menurun hingga ke Bram dan juga Pandu. Bahkan anak pertama mereka—Yudhis dan Panji—juga terlahir di tahun yang sama. Berbeda dengan Pandu yang mendapatkan anak kedua mereka selang empat tahun setelah kelahiran Yudhis, Bram dan Laras harus menunggu hingga sebelas tahun untuk mendapatkan Kiran, sungguh sebuah penantian yang sangat panjang. Seandainya saja putri Pandu tidak meninggal dalam sebuah kecelakaan, tentu saja Panji yang akan mengambil tanggung jawab menjalani perjodohan antara dua keluarga ini, bukan Kiran yang masih sangat belia. “Lalu, di mana Yudhis? Dari tadi aku belum melihat calon menantuku,” canda Bram mencoba mengalihkan pembicaraan. Pandu terkekeh pelan. Ia meletakkan cangkirnya kembali ke meja setelah menyesapnya. “Kamu tau sendiri kan, Bram, Yudhis itu gila kerja. Begitu sampai di Indonesia, dia langsung mengecek pembangunan hotel kami.” Bram mangut-mangut dan menyesap kopinya saat Beatrice berkata, “Baiklah, kami akan ke sana lusa untuk membahas pernikahan Yudhis dan Kiran. Sekalian mempertemukan mereka.” Bram menelan salivanya, ia kembali menyeruput kopinya dengan tangan yang sedikit gemetar. Lusa? Apakah lusa ia sudah berhasil membawa pulang Kiran?Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang
Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu. “Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin ya
“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah
“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga