Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu.
“Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya. “Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis. “Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.” “Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?” “Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.” Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian. Limousin yang menjemputnya sudah memasuki lobi sebuah resort. Kiran dibuat tercengang dengan kemewahan salah satu resort kebanggaan keluarga Wiguna. Kabarnya untuk hari pernikahan Yudhis dan Kiran, mereka tidak menerima tamu dari luar. Semua kamar hotel dipersiapkan untuk keluarga dan tamu. “Nyonya, pesan dari Nyonya Beatrice, untuk malam ini anda bisa beristirahat di villa yang sudah di sediakan, sebelum besok berpindah ke kamar utama," jelas Felix. “Lalu di mana Mami, Papi, dan Mas Panji?” Kiran menanyakan keluarganya yang sudah berangkat kemarin. “Villa mereka bersebelahan dengan villa anda, Nyonya.” =*=*= Mata bulat Kiran semakin membola ketika ia mendorong pintu kamar utama yang disebutkan Felix tempo hari. Bukan betapa luasnya tempat itu yang sudah disulap menjadi kamar pengantin, atau taburan bunga mawar berbentuk hati di atas kasur dan juga yang tersebar menutupi permukaan kolam renang pribadi di halaman belakang, namun gaun putih yang terpajang di sebuah manekin yang menjadi pusat perhatiannya. Kiran seperti mengenal gaun itu. Kiran segera mendekat. Ia menyusuri permukaan gaun itu dengan ujung jemarinya. Tidak salah lagi, ini gaun pengantin yang ia design di penghujung masa kuliahnya. Taburan swarovski melekat begitu tepat seperti yang ada di sketsanya. Seingatnya, seminggu yang lalu seseorang datang untuk mengukur tubuhnya, ia tidak berminat menjawab model seperti apa yang ia mau. Ini bukan pernikahan impiannya, tapi gaun impiannya nyata ada di hadapannya. Rasanya Kiran ingin menangis merasakan nasibnya yang tragis. “Sudah siap, Kak?” tanya seorang make-up artist yang entah sejak kapan memasuki kamarnya. Apa ia sudah siap? Tidak! Ia tidak akan pernah siap. Ingin rasanya Kiran meneriakkan hal itu, namun seperti ada gumpalan yang menyumbat tenggorokannya. Suaranya kembali tetelan menyisakan gema yang bisu di dalam benaknya. Kiran hanya pasrah saat mereka mendudukkannya kemudian kuas-kuas itu mulai menari di wajahnya, ia bahkan enggan melihat ke cermin. Kiran juga mengabaikan decak kagum team make up yang tak henti memuji kecantikannya. Rasanya semua itu seperti omong kosong, mereka hanya membanggakan hasil riasan mereka. “Gaunnya indah banget, katanya harganya sampai tujuh ratus juta,” ucap seseorang yang berdiri di dekat manekin pada temannya. Mendengar hal itu, Kiran menelan salivanya. Tujuh ratus juta hanya untuk satu gaun? Benarkah hasil designnya dihargai semahal itu? Orang gila mana yang rela menggelontorkan uang sebanyak itu hanya demi gaun yang dipakai sekali saja? Kiran menghela napas. Tapi ia menikahi pewaris tunggal keluarga Wiguna, mengeluarkan uang ratusan juta semudah mengeluarkan ingus bagi mereka. Hati Kiran mencibir, bagaimana rasanya dibeli dengan harga semahal itu? Bahkan rasanya mereka juga sudah berhak untuk mencungkil ginjal Kiran jika diperlukan. “Ya Tuhan, cantik sekali menantu Mama. Kamu tampak seperti boneka, sayang,” puji Beatrice. Wanita itu mengamati dengan saksama saat dua orang membantu Kiran memakai gaunnya. “Laras, rasanya aku ingin menangis,” ucapnya lagi sembari menggenggam tangan Laras yang datang bersamanya. Laras memalingkan wajah sejenak lalu menyeka sudut matanya yang mulai berair. Dadanya serasa terbakar dan hawa panasnya mengalir hingga ke kerongkongan. Hatinya tak henti merapalkan doa-doa semoga putrinya akan menemukan kebahagiaan di pernikahannya yang terpaksa ini. Akhirnya Kiran memberanikan diri menghadap ke cermin. Ia begitu penasaran bagaimana bentuk gaun pengantinnya jika melekat di tubuh seseorang. Dan kini ia baru percaya bahwa ia benar-benar cantik. Katakan saja ia terlalu percaya diri, namun itulah kenyataannya. Para make-up artist itu bekerja dengan sangat baik. Mereka sudah membuat mata bulatnya tampak lebih berbinar, pipinya menampilkan rona bahagia, dan bibir merahnya disulap menjadi penuh dan segar. Kiran menyebutnya kamuflase yang sempurna. Suara ketukan pintu membuat Beatrice beranjak untuk membukanya. Wanita itu tampak menerima sebuah kotak berwarna navy dari seseorang di depan pintu. “Mami hutang penjelasan sama Kiran mengenai design gaun ini,” bisik Kiran saat Beatrice menjauh. “Mami mengambilnya dari buku sketsamu dan Mama Beatrice yang mengatur semuanya, Sayang,” jelas Laras terus terang. “Kiran, mereka tetap memikirkan apa yang kamu impikan, Nak. Belajarlah menerimanya.” Kiran yang semula mengerucutkan bibirnya kini memasang senyumnya saat Beatrice memberikan sebuah kotak padanya. “Kamu buka setelah resepsi ya, sayang,” ucap Beatrice sembari mengedipkan sebelah matanya. “Terima kasih, Ma.” Jujur saja ia harus bersyukur mendapatkan mertua yang begitu baik dan menyayanginya melebihi anaknya sendiri seperti Pandu dan Beatrice. Seandainya pernikahan ini terjadi karena cinta, sungguh ia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia. Disayang suami, dimanja mertua, juga bergelimang harta, betapa indahnya dunia. =*=*= Kiran menautkan tangannya di lengan Bram. Berjalan melalui jalan setapak penuh taburan kelopak mawar putih dengan kepala bertudung veil. Kakinya terasa berat seperti ada beban berton-ton yang merantainya. Satu sisi hatinya berbisik untuk berbalik dan melarikan diri dari sana. Tapi itu hanya berhenti di angan saja. Ia tidak mungkin melakukannya. Di depan sana Yudhis berdiri gagah dengan setelan jas berwarna hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan sempurna. Rangkaian kombinasi bunga mawar putih mungil tersemat di dada kirinya. Sepatu oxford hitamnya tampak mengilat memantulkan sinar matahari sore. Biasanya Kiran dan Faye akan langsung melakukan permainan tebak harga untuk mereview sesuatu, tapi sayangnya Faye tidak ada di sini. Sahabatnya itu terbelenggu oleh jadwal meeting bosnya yang tidak dapat ia tinggalkan. Semakin dekat jaraknya dengan Yudhis, tubuh Kiran semakin gemetaran. Terlebih saat Bram menyerahkan tangan Kiran pada Yudhis. Rasanya nyawanya tercabut dari raganya, panas dan dingin dalam waktu bersamaan. Kiran melirik sekilas ke arah Yudhis, pria itu tampaknya sudah merapikan rambut dan jambangnya. Karena seingatnya saat bertemu dengan Yudhis terakhir kali, rambut pria itu masih gondrong dan jambangnya tumbuh berantakan. “Papi titipkan Kiran padamu, Yudhis,” ucap Bram pada Yudhis yang diangguki oleh calon menantunya itu. Bibir Kiran bergetar saat mengucapkan janji di bawah tatapan mata Yudhis yang tajam dan dibingkai alis yang melengkung sempurna seakan-akan ingin menelan Kiran hidup-hidup. Nyali Kiran semakin ciut dibuatnya.“Mas Yudhis, ayo cium kening Kiran! Nah, begitu, saya ambil fotonya. Satu, dua, ti... nah bagus. Sekarang jalan perlahan ke arah pelaminan!” perintah sang fotografer dan videografer.Kiran sangat menyadari bahwa hidupnya kini berubah. Rasanya Kiran ingin menangis, bukan menangis terharu, apalagi menangis bahagia. Ia ingin menangis dalam arti yang sesungguhnya saat tangan besar Yudhis menggenggam tangannya yang mungil.Impian Kiran adalah ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian membentuk sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Seorang pria dengan love language act of service lebih diutamakan. Mereka akan tinggal di sebuah istana yang meskipun kecil tapi terasa indah karena mereka menghiasinya dengan cinta. Namun sekarang, apa yang terjadi padanya sungguh jauh dari yang ia harapankan.“Mas, jangan terlalu cepat jalannya,” keluh Kiran. Gaun pengantin berharganya hampir terinjak karena berusaha menyeimbangkan langkah kaki Yudhis yang lebar, meski ia sudah
“Ma-Mas Yudhis....” Kiran berbalik cepat. Napasnya tertahan dengan wajah yang mulai memucat. Tangannya masih mencengkeram erat gaun pengantin yang sudah terbuka di bagian belakang. Seringaian Yudhis berganti tawa kecil. Ia menatap sekilas ke arah cermin yang memantulkan punggung terbuka Kiran. “Saya bukan pedophilia yang nafsu melihat anak kecil,” ucap Yudhis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Kiran dengan wajah melongonya. Anak kecil, katanya? Mata Kiran masih membulat saat berbalik melihat pantulan dirinya di cermin. Rasa takutnya berganti menjadi rasa kesal dalam sekejap. Namun seketika juga sebuah senyuman terbit di bibir Kiran. “Bukankah itu lebih baik kalau dia nggak nafsu lihat kamu, Kiran?” gumam Kiran. Rasa lengket dan pegal membuat Kiran bergegas untuk membersihkan dirinya. Berendam air hangat sepertinya ide yang bagus. Efek menggunakan high heels yang terbilang cukup tinggi guna menyeimbangkan tinggi badannya dengan Yudhis membuat nyeri menjalar dari tumit hingga ke
Tangan Kiran meraba-raba tempat tidur untuk mencari benda pipih yang sejak tadi meraung-raung. Dengan mata yang masih terpejam, ia mengangkat telepon dari Laras, yang Kiran tau dari nada deringnya. "Iya, Mi?""Ya, Tuhan, Kiran! Jam berapa ini? Cepat bangun dan berkumpul di halaman belakang kamar kakek. Kamu ini sudah meni-""Ck, iya, iya Mi, Kiran bangun," putus Kiran dan segera mematikan sambungan telepon. Kiran mendengkus kesal. Memangnya kenapa kalau ia sudah menikah? Toh, pernikahan ini bukan keinginannya. Tatapan mata Kiran tertuju pada ruang kosong di sebelahnya. Keningnya sedikit berkerut. Dari kondisinya yang masih rapi, sepertinya Yudhis tidak tidur di sebelahnya semalam. Lalu, di mana Yudhis tidur? Kiran menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus pikiran yang tak semestinya muncul di kepalanya. "Bukan urusanku juga, kan, Mas Yudhis mau tidur di mana? Malah bagus kalau mereka tidak sekamar." Sudut bibir Kiran langsung mengkurva. Tak mau berlama-lama Kiran segera members
Dari balkon kamarnya di lantai dua, Kiran duduk menjuntaikan kaki dengan sebuah buku sketsa di pangkuannya. Biasanya saat langit cerah, inspirasi itu datang tiba-tiba, lalu Kiran akan menuangkannya lewat tinta pada selembar kertas tak bernoda. Mata bulat itu mengikuti setiap pensil di tangannya menari membentuk garis-garis tebal, tipis, lurus, dan berkelok. Design gaun itu sudah setengah jadi. Kiran mendongak sejenak menatap ke langit lalu kembali memberikan motif pada gambarnya. Mengibaratkan butiran swarovski yang dilukisnya sebagai taburan bintang yang dipandanginya malam ini. Lalu, suara ketukan pintu membuat Kiran menoleh ke belakang. Menatap sekilas ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, ia membebaskan kakinya dari jeruji besi pembatas balkon lalu bangkit berdiri. Lagi-lagi ketukan itu terdengar tak sabar menanti sang pemilik kamar membuka penyekat kayu itu. “Mami? Tumben?”Kening Kiran berlipat menatap wanita paruh baya di hadapannya. Biasanya hanya denga
Kiran mengendap-endap dalam kegelapan. Kakinya meraba-raba satu persatu anak tangga. Ia menahan napas saat berusaha membuka kunci pintu utama. Kelegaan menyelimutinya saat ia berhasil melenggang tanpa hambatan. Sepasang kaki rampingnya melangkah cepat menyusuri malam menuju ojek online yang menunggunya. Kabur dari rumah adalah satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Mau bagaimana lagi, keadaaan memaksanya untuk melakukan hal itu. Harapannya besar bahwa Bram akan mengubah keputusannya. Sebuah gedung apartemen menjadi tempat tujuannya. Kiran segera masuki lift yang membawanya naik hingga ke lantai dua puluh. Memang benar apa kata orang, di saat situasi kepepet, keberanian seseorang itu akan muncul secara tiba-tiba. Kiran takut hantu, tapi kali ini masalah yang dihadapinya lebih mengerikan dibanding sosok tak kasat mata. Berdiri di depan sebuah pintu, beberapa kali Kiran mengetuknya. Tak berapa lama seorang gadis dengan rambut singa dan wajah khas orang bangun tidur membukanya. Gadis
Mami sakit. Kalimat yang Panji kirim pada Faye membawa Kiran kembali. Ia berdiri di ambang pintu dan melangkah ragu-ragu ke dalam rumah. “Kiran? Kamu ke mana saja, Ki?” tanya Panji cemas. Kiran menatap enggan. Rasanya kesal sekali setiap kali melihat Panji. Meski Kiran tau ini semua memang bukan salah Panji. “Yang nggak berkepentingan dilarang bertanya,” dengkusnya. “Kecuali Mas Panji gantiin aku dalam perjodohan ini.”“Ya kali, Mas adu pedang, Ki? Yang benar saja? Maunya Mas juga ambil tanggung jawab ini, tapi kan nggak mungkin.”“Jadi, Mami beneran sakit?” Kiran menghela napasnya. “Kamu lihat sendiri saja di kamar. Nanti dikirain Mas bohong, lagi.”Langkah Kiran terayun menuju sebuah kamar di lantai dua, letaknya bersebelahan dengan kamar miliknya. Setelah mengetuk pintu, Kiran mengungkit handlenya dan pintu terbuka perlahan.“Mami,” lirihnya. Kilasan pertengkaran mereka kembali berputar di pikiran Kiran. Ia menyadari betapa kurang ajarnya dirinya malam itu. “Kiran, kamu pulang