Share

Bab 4

Selama ini, Bali menjadi tempat yang selalu membuat Kiran tersenyum, namun kali ini ia tidak yakin akan seperti apa ujung perjalanan ini. Kiran masih menatap nanar ke luar jendela mobil. Sejak pertemuan keluarga itu, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Ia sendiri pun heran bagaimana mungkin semua hal bisa siap dalam waktu sesingkat itu? Mulai dari pemberkasan, persiapan pemberkatan dan resepsi semua hanya membutuhkan waktu tak kurang dari tiga minggu.

“Nyonya butuh sesuatu?” tanya orang yang ditugaskan untuk menjemputnya.

“Siapa namamu?” Kiran balik bertanya pada pria yang ia tebak usianya lebih muda dari Panji dan Yudhis.

“Saya Felix, Nyonya. Asisten pribadi Pak Yudhis.”

“Felix? Bisakah kamu memanggilku Kiran saja?”

“Maaf, tidak bisa Nyonya. Anda akan menikah dengan Pak Yudhis, saya akan tetap memanggil anda ‘Nyonya’.”

Kiran memutar bola matanya. Ia enggan berdebat dengan asisten Yudhis. Biar saja terdengar feodal dan menggelikan. “Terserah!” dengkus Kiran kemudian.

Limousin yang menjemputnya sudah memasuki lobi sebuah resort. Kiran dibuat tercengang dengan kemewahan salah satu resort kebanggaan keluarga Wiguna. Kabarnya untuk hari pernikahan Yudhis dan Kiran, mereka tidak menerima tamu dari luar. Semua kamar hotel dipersiapkan untuk keluarga dan tamu.

“Nyonya, pesan dari Nyonya Beatrice, untuk malam ini anda bisa beristirahat di villa yang sudah di sediakan, sebelum besok berpindah ke kamar utama," jelas Felix.

“Lalu di mana Mami, Papi, dan Mas Panji?” Kiran menanyakan keluarganya yang sudah berangkat kemarin.

“Villa mereka bersebelahan dengan villa anda, Nyonya.”

=*=*=

Mata bulat Kiran semakin membola ketika ia mendorong pintu kamar utama yang disebutkan Felix tempo hari. Bukan betapa luasnya tempat itu yang sudah disulap menjadi kamar pengantin, atau taburan bunga mawar berbentuk hati di atas kasur dan juga yang tersebar menutupi permukaan kolam renang pribadi di halaman belakang, namun gaun putih yang terpajang di sebuah manekin yang menjadi pusat perhatiannya. Kiran seperti mengenal gaun itu.

Kiran segera mendekat. Ia menyusuri permukaan gaun itu dengan ujung jemarinya. Tidak salah lagi, ini gaun pengantin yang ia design di penghujung masa kuliahnya. Taburan swarovski melekat begitu tepat seperti yang ada di sketsanya. Seingatnya, seminggu yang lalu seseorang datang untuk mengukur tubuhnya, ia tidak berminat menjawab model seperti apa yang ia mau. Ini bukan pernikahan impiannya, tapi gaun impiannya nyata ada di hadapannya. Rasanya Kiran ingin menangis merasakan nasibnya yang tragis.

“Sudah siap, Kak?” tanya seorang make-up artist yang entah sejak kapan memasuki kamarnya.

Apa ia sudah siap? Tidak! Ia tidak akan pernah siap. Ingin rasanya Kiran meneriakkan hal itu, namun seperti ada gumpalan yang menyumbat tenggorokannya. Suaranya kembali tetelan menyisakan gema yang bisu di dalam benaknya.

Kiran hanya pasrah saat mereka mendudukkannya kemudian kuas-kuas itu mulai menari di wajahnya, ia bahkan enggan melihat ke cermin. Kiran juga mengabaikan decak kagum team make up yang tak henti memuji kecantikannya. Rasanya semua itu seperti omong kosong, mereka hanya membanggakan hasil riasan mereka.

“Gaunnya indah banget, katanya harganya sampai tujuh ratus juta,” ucap seseorang yang berdiri di dekat manekin pada temannya.

Mendengar hal itu, Kiran menelan salivanya. Tujuh ratus juta hanya untuk satu gaun? Benarkah hasil designnya dihargai semahal itu? Orang gila mana yang rela menggelontorkan uang sebanyak itu hanya demi gaun yang dipakai sekali saja? Kiran menghela napas. Tapi ia menikahi pewaris tunggal keluarga Wiguna, mengeluarkan uang ratusan juta semudah mengeluarkan ingus bagi mereka.

Hati Kiran mencibir, bagaimana rasanya dibeli dengan harga semahal itu? Bahkan rasanya mereka juga sudah berhak untuk mencungkil ginjal Kiran jika diperlukan.

“Ya Tuhan, cantik sekali menantu Mama. Kamu tampak seperti boneka, sayang,” puji Beatrice. Wanita itu mengamati dengan saksama saat dua orang membantu Kiran memakai gaunnya. “Laras, rasanya aku ingin menangis,” ucapnya lagi sembari menggenggam tangan Laras yang datang bersamanya.

Laras memalingkan wajah sejenak lalu menyeka sudut matanya yang mulai berair. Dadanya serasa terbakar dan hawa panasnya mengalir hingga ke kerongkongan. Hatinya tak henti merapalkan doa-doa semoga putrinya akan menemukan kebahagiaan di pernikahannya yang terpaksa ini.

Akhirnya Kiran memberanikan diri menghadap ke cermin. Ia begitu penasaran bagaimana bentuk gaun pengantinnya jika melekat di tubuh seseorang. Dan kini ia baru percaya bahwa ia benar-benar cantik.

Katakan saja ia terlalu percaya diri, namun itulah kenyataannya. Para make-up artist itu bekerja dengan sangat baik. Mereka sudah membuat mata bulatnya tampak lebih berbinar, pipinya menampilkan rona bahagia, dan bibir merahnya disulap menjadi penuh dan segar. Kiran menyebutnya kamuflase yang sempurna.

Suara ketukan pintu membuat Beatrice beranjak untuk membukanya. Wanita itu tampak menerima sebuah kotak berwarna navy dari seseorang di depan pintu.

“Mami hutang penjelasan sama Kiran mengenai design gaun ini,” bisik Kiran saat Beatrice menjauh.

“Mami mengambilnya dari buku sketsamu dan Mama Beatrice yang mengatur semuanya, Sayang,” jelas Laras terus terang. “Kiran, mereka tetap memikirkan apa yang kamu impikan, Nak. Belajarlah menerimanya.”

Kiran yang semula mengerucutkan bibirnya kini memasang senyumnya saat Beatrice memberikan sebuah kotak padanya.

“Kamu buka setelah resepsi ya, sayang,” ucap Beatrice sembari mengedipkan sebelah matanya.

“Terima kasih, Ma.”

Jujur saja ia harus bersyukur mendapatkan mertua yang begitu baik dan menyayanginya melebihi anaknya sendiri seperti Pandu dan Beatrice. Seandainya pernikahan ini terjadi karena cinta, sungguh ia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia. Disayang suami, dimanja mertua, juga bergelimang harta, betapa indahnya dunia.

=*=*=

Kiran menautkan tangannya di lengan Bram. Berjalan melalui jalan setapak penuh taburan kelopak mawar putih dengan kepala bertudung veil. Kakinya terasa berat seperti ada beban berton-ton yang merantainya. Satu sisi hatinya berbisik untuk berbalik dan melarikan diri dari sana. Tapi itu hanya berhenti di angan saja. Ia tidak mungkin melakukannya.

Di depan sana Yudhis berdiri gagah dengan setelan jas berwarna hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan sempurna. Rangkaian kombinasi bunga mawar putih mungil tersemat di dada kirinya. Sepatu oxford hitamnya tampak mengilat memantulkan sinar matahari sore.

Biasanya Kiran dan Faye akan langsung melakukan permainan tebak harga untuk mereview sesuatu, tapi sayangnya Faye tidak ada di sini. Sahabatnya itu terbelenggu oleh jadwal meeting bosnya yang tidak dapat ia tinggalkan.

Semakin dekat jaraknya dengan Yudhis, tubuh Kiran semakin gemetaran. Terlebih saat Bram menyerahkan tangan Kiran pada Yudhis. Rasanya nyawanya tercabut dari raganya, panas dan dingin dalam waktu bersamaan. Kiran melirik sekilas ke arah Yudhis, pria itu tampaknya sudah merapikan rambut dan jambangnya. Karena seingatnya saat bertemu dengan Yudhis terakhir kali, rambut pria itu masih gondrong dan jambangnya tumbuh berantakan.

“Papi titipkan Kiran padamu, Yudhis,” ucap Bram pada Yudhis yang diangguki oleh calon menantunya itu.

Bibir Kiran bergetar saat mengucapkan janji di bawah tatapan mata Yudhis yang tajam dan dibingkai alis yang melengkung sempurna seakan-akan ingin menelan Kiran hidup-hidup. Nyali Kiran semakin ciut dibuatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status