Persiapan pernikahan sudah selesai, semuanya berjalan dengan baik, para tetangga sudah membantu kami. Acara yang sederhana justru disambut meriah oleh warga desa. Mereka sangat antusias dan mereka saling bergotong royong membuat dekorasi dari hasil karya handmade. Sungguh mengagumkan! Walau bunga-bunga itu terbuat dari plastik kresek warna-warni, dan papannya dari bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa. Sehingga hasilnya pun tak kalah keindahannya. Detik-detik menuju akad membuat jantungku berpacu cepat, tidak bisa terkontrol lagi. Ah, kenapa jatuh cinta lagi rasanya semanis ini. Ada tegang, resah dan bahagia bercampur jadi satu.Pak penghulu sudah datang, kamipun mulai disandingkan bersama di tempat akad. Para saksi sudah berkumpul. Tak luput bapak dan ibu mertuaku yang dulu juga sudah hadir sejak kemarin. Ada yang tahu apa yang kurasakan saat ini? Jantungku berdegup tak menentu."Apakah semuanya sudah siap?" tanya pak penghulu."Siap, pak," jawab kami serentak."Baik, kita mulai
Hanya berdua dengannya di kamarku ini membuatku merasa canggung setengah mati. Jantungku berdegup tak menentu. Ah, aku gugup sekali, apakah Mas Anjar merasakan hal yang sama? Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang merasakan kegugupan ini."Hei, kenapa berdiam diri saja disitu?" tanyanya sambil beranjak dari tidurnya lalu mendekat kearahku berdiri."Mas, kenapa lihatin aku begitu?" sahutku salah tingkah."Hmmm, pangling. Mas baru lihat penampilanmu setelah lepas jilbab. Cantik," pujinya sambil membelai lembut rambutku. "Rambut panjangmu juga indah," tambahnya lagi.Aku hanya menunduk, malu sekali rasanya. Sudah kupastikan wajahku merona merah karena tersipu malu dengan ucapannya. Jantung berdegup makin kencang, sulit untuk diredam."Kenapa? Jangan malu, mas kan sudah jadi suamimu," sahutnya lagi. Ia meraih daguku dan tersenyum manis.Triing ... Triing ... Nada dering ponselku mengagetkan kami."Handphonemu bunyi, Dek," kata Mas Anjar sambil meraih ponselku. "Siapa mas, yang telepo
"Benarkah?""Iya pak, bu, desa ini sekarang punya pertanian sendiri, terus ada bank sampah juga yang menampung hasil karya para warga. Semua ide itu dari Mas Anjar," pujiku lagi. Aku menoleh, kulihat Mas Anjar hanya tersenyum."Ya, kami akan lihat-lihat dulu," jawab Pak Darmawan sambil menyesap kopinya. Aku berlalu ke belakang untuk kembali mencuci piring. "Mas bantu ya, dek, biar cepat selesai, terus kita bisa jalan-jalan bersama," ujar Mas Anjar. Dari kapan dia disini?Aku hanya mengangguk dan tersenyum.Kami berjalan-jalan bersama melihat ladang sayur milik warga. Semuanya masih sama, hijau dan subur."Disini yang tadinya semak-semak itu bukan?" tanya Pak Darmawan pada Mas Anjar."Iya pak, betul. Kami memanfaatkan lahan kosong, agar bisa ditanami sayur mayur.""Hebat ini, bisa subur kayak gini, pakai pupuk apa?""Kami mengutamakan pupuk organik pak, dari sisa-sisa sampah makanan yang ada kami campur jadi satu lalu diolah, kadang pakai pupuk kandang, kami memanfaatkan apa yang ada
POV SantiHancur, hidupku hancur sudah. Semua bermula karena kedatangan Winda ke rumah kami. Winda bersama ibuku, ada Mas Anjar, bapak dan ibu mertuaku juga. Entah kenapa mereka bisa datang secara bersamaan. Lalu, yang membuatku bertanya-tanya, kenapa ada Mas Anjar? Dan sepertinya mereka sangat dekat, bahkan Mas Anjarlah yang menggendong anaknya Winda.Ibuku juga terlihat sangat shock ketika tahu kalau aku menikah dengan mantan suami Winda. Hingga ada perdebatan antara ibu dan ibu mertuaku. "Tidak mungkin bagaimana? Lihatlah kenyataannya seperti ini. Putrimu itu seorang pelakor! Dan sialnya putraku ikut tergoda akan bujuk rayunya!" seru ibu mertuaku lagi, sungguh memuakkan. Ia pasti selalu membela Winda.Aku tertunduk, memanglah benar yang ia tuduhkan. Tapi harga diriku terasa diinjak-injak dicaci maki begini."Kenapa kau berbuat seperti ini, Santi ...! kenapa?? Bertahun-tahun kau tidak pulang, inikah hasil yang ibu dapat?! Kau torehkan nama baik keluarga demi hal sekotor ini?!" bent
Mas Rendy terlihat sangat marah. Dia bahkan mengancam akan menceraikanku setelah masa nifasku habis. Mas Rendy pergi meninggalkanku begitu saja. Hancur sudah, hatiku porak poranda"Mas... Tunggu mas, jangan pergi! Maafin aku, mas!" rengekku menghiba, tapi tak ia hiraukan lagi.Dia sudah tidak peduli lagi dengan teriakanku. Kulihat ibu memegangi dadanya, nafasnya terlihat makin sesak dan tersengal-sengal."Bu, ibu kenapa bu?" Aku menghampiri ibu.Bruukk ...! Ibu terjatuh, ia sudah tak kuat menopang tubuhnya sendiri."Ibuuuuuu ....!" pekikku.Aku segera berlari keluar dan meminta tolong. Tak lama para tetangga mulai berdatangan, dan mengangkat tubuh ibu ke atas Sofa.Aku mencoba menghubungi Mas Rendy berkali-kali namun dia tetap mengabaikanku. Ah, bagaimana ini. Rasa khawatir begitu menyelimuti diri.Entah sudah panggilan ke berapa, akhirnya Mas Rendy mengangkat teleponku. Aku menyuruhnya pulang karena terjadi sesuatu pada ibu.Tak berselang lama, Mas Rendypun pulang dan memeriksa kead
"Aku sudah kehilangan dia, harusnya aku menemaninya disaat yang terakhir, tapi aku malah meninggalkan dia sendirian, ibu macam apa aku ini ... Aku memang tak pantas jadi seorang ibu maupun seorang istri!" rutukku sendiri. Aku benar-benar menyesali kebodohanku sendiri.Aku makin tergugu. Pilu. Berkali-kali aku menghela nafas panjang. "Maaf," sambungku lagi."Kenapa harus minta maaf? Kau bisa ceritakan apa masalahmu, aku siap mendengarkan. Kamu pasti sangat butuh teman curhat," sahutnya lagi.Aku memandang kearahnya. Menatap dalam manik matanya. Mencari kebenaran apa yang sebenarnya dia pikirkan."Jangan mencurigaiku seperti itu. Aku tidak akan berbuat jahat terhadapmu," tukasnya lagi seakan tahu apa yang aku pikirkan.Dia menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh tahu, dimana suamimu?"Aku memggeleng perlahan membuatnya bingung, ia menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti."Suamiku sudah pergi," jawabku dengan mata berkaca-kaca.Mengingat semua yang terjadi begitu cepat, kehilangan ib
"Apa yang akan kamu lakukan, Rendy?" tanya bapak saat kami melakukan perjalanan bersama."Bapak lihat, kamu sudah mulai menerima kenyataan kalau Winda sudah punya penggantimu," sambung bapak lagi.Aku tersenyum simpul. "Aku sadar sekarang pak, ternyata aku bukanlah yang terbaik untuk Winda, dia pantas meraih kebahagiaannya. Kadang memang harus merasakan kehilangan lebih dulu untuk menyadarkan bahwa dia sangat berarti untukku."."Aku benar-benar sangat menyesal sudah mengabaikan mereka. Tapi aku ingin berubah, pak.""Bagus kalau kamu sudah menyadari sendiri kesalahanmu. Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya bapak lagi."Aku akan minta maaf pada Santi, pak. Aku akan kembali padanya. Aku juga sudah bersalah sama dia, aku meninggalkannya begitu saja saat dia merasa kehilangan.""Apa maksudmu, Ren?""Ah iya, aku lupa mengatakan pada kalian, kalau ibunya Santi sudah meninggal saat aku bertengkar hebat dengan Santi....""Innalilahi wa innailaihi roji'un." sahut bapak dan ibu dengan serempa
Mobil yang kami naiki sudah memasuki area pelataran rumah. Rumah-rumah kuno dengan gaya bangunan khas belanda, rumah peninggalan penjajah Belanda pada waktu itu. Bangunan itu masih berdiri kokoh, walaupun ada perbaikan di beberapa bagian rumah. Sebelum memasuki rumah itu, terpampang plang bertuliskan "Rumah Perempuan", entah apa maksudnya, akupun tidak mengerti. Di sisi bangunan dikelilingi pohon-pohon yang tinggi, serta bunga-bunga indah warna-warni. Suasana rumah begitu asri dan sangat nyaman untuk dihuni."Ayo kita masuk, aku kenalkan dengan Bunda Aini," tukasnya sesaat setelah kami turun dari mobil.Aku mengangguk setuju dengan ajakan Mas Beno. Ya, nama lelaki itu adalah Mas Beno, teman semasa kuliahku. Bukan teman sebenarnya, dulu saat kuliah dia sering kali menggodaku. Perangainya yang playboy, membuatku malas meladeninya. Kerap kali aku bersikap ketus padanya. Aku tak pernah menyangka dia bisa berubah sedrastis ini."Ini namanya Bunda Aini, pengasuh Rumah Perempuan ini," ucap