Mas Rendy terlihat sangat marah. Dia bahkan mengancam akan menceraikanku setelah masa nifasku habis. Mas Rendy pergi meninggalkanku begitu saja. Hancur sudah, hatiku porak poranda"Mas... Tunggu mas, jangan pergi! Maafin aku, mas!" rengekku menghiba, tapi tak ia hiraukan lagi.Dia sudah tidak peduli lagi dengan teriakanku. Kulihat ibu memegangi dadanya, nafasnya terlihat makin sesak dan tersengal-sengal."Bu, ibu kenapa bu?" Aku menghampiri ibu.Bruukk ...! Ibu terjatuh, ia sudah tak kuat menopang tubuhnya sendiri."Ibuuuuuu ....!" pekikku.Aku segera berlari keluar dan meminta tolong. Tak lama para tetangga mulai berdatangan, dan mengangkat tubuh ibu ke atas Sofa.Aku mencoba menghubungi Mas Rendy berkali-kali namun dia tetap mengabaikanku. Ah, bagaimana ini. Rasa khawatir begitu menyelimuti diri.Entah sudah panggilan ke berapa, akhirnya Mas Rendy mengangkat teleponku. Aku menyuruhnya pulang karena terjadi sesuatu pada ibu.Tak berselang lama, Mas Rendypun pulang dan memeriksa kead
"Aku sudah kehilangan dia, harusnya aku menemaninya disaat yang terakhir, tapi aku malah meninggalkan dia sendirian, ibu macam apa aku ini ... Aku memang tak pantas jadi seorang ibu maupun seorang istri!" rutukku sendiri. Aku benar-benar menyesali kebodohanku sendiri.Aku makin tergugu. Pilu. Berkali-kali aku menghela nafas panjang. "Maaf," sambungku lagi."Kenapa harus minta maaf? Kau bisa ceritakan apa masalahmu, aku siap mendengarkan. Kamu pasti sangat butuh teman curhat," sahutnya lagi.Aku memandang kearahnya. Menatap dalam manik matanya. Mencari kebenaran apa yang sebenarnya dia pikirkan."Jangan mencurigaiku seperti itu. Aku tidak akan berbuat jahat terhadapmu," tukasnya lagi seakan tahu apa yang aku pikirkan.Dia menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh tahu, dimana suamimu?"Aku memggeleng perlahan membuatnya bingung, ia menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti."Suamiku sudah pergi," jawabku dengan mata berkaca-kaca.Mengingat semua yang terjadi begitu cepat, kehilangan ib
"Apa yang akan kamu lakukan, Rendy?" tanya bapak saat kami melakukan perjalanan bersama."Bapak lihat, kamu sudah mulai menerima kenyataan kalau Winda sudah punya penggantimu," sambung bapak lagi.Aku tersenyum simpul. "Aku sadar sekarang pak, ternyata aku bukanlah yang terbaik untuk Winda, dia pantas meraih kebahagiaannya. Kadang memang harus merasakan kehilangan lebih dulu untuk menyadarkan bahwa dia sangat berarti untukku."."Aku benar-benar sangat menyesal sudah mengabaikan mereka. Tapi aku ingin berubah, pak.""Bagus kalau kamu sudah menyadari sendiri kesalahanmu. Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya bapak lagi."Aku akan minta maaf pada Santi, pak. Aku akan kembali padanya. Aku juga sudah bersalah sama dia, aku meninggalkannya begitu saja saat dia merasa kehilangan.""Apa maksudmu, Ren?""Ah iya, aku lupa mengatakan pada kalian, kalau ibunya Santi sudah meninggal saat aku bertengkar hebat dengan Santi....""Innalilahi wa innailaihi roji'un." sahut bapak dan ibu dengan serempa
Mobil yang kami naiki sudah memasuki area pelataran rumah. Rumah-rumah kuno dengan gaya bangunan khas belanda, rumah peninggalan penjajah Belanda pada waktu itu. Bangunan itu masih berdiri kokoh, walaupun ada perbaikan di beberapa bagian rumah. Sebelum memasuki rumah itu, terpampang plang bertuliskan "Rumah Perempuan", entah apa maksudnya, akupun tidak mengerti. Di sisi bangunan dikelilingi pohon-pohon yang tinggi, serta bunga-bunga indah warna-warni. Suasana rumah begitu asri dan sangat nyaman untuk dihuni."Ayo kita masuk, aku kenalkan dengan Bunda Aini," tukasnya sesaat setelah kami turun dari mobil.Aku mengangguk setuju dengan ajakan Mas Beno. Ya, nama lelaki itu adalah Mas Beno, teman semasa kuliahku. Bukan teman sebenarnya, dulu saat kuliah dia sering kali menggodaku. Perangainya yang playboy, membuatku malas meladeninya. Kerap kali aku bersikap ketus padanya. Aku tak pernah menyangka dia bisa berubah sedrastis ini."Ini namanya Bunda Aini, pengasuh Rumah Perempuan ini," ucap
Pagi-pagi sekali selepas sholat subuh, aku membereskan tempat tidur. Mas Anjar belum pulang, dia selalu sholat berjamaah di mushola terdekat bersama bapak.Karena keasyikan beberes, sampai tak kudengar langkah kaki mendekat. Seseorang memelukku dari belakang, cukup erat, lalu dia membenamkan wajahnya di pundakku. Aku tersenyum, kebiasaan Mas Anjar selalu begini kalau ada sesuatu."Ada apa, Mas?" tanyaku sambil tersenyum. Dia masih diam, hanya embusan nafasnya saja yang terdengar, membuatku tergelitik.Aku berbalik dan memandang wajahnya. Seperti ada kegelisahan disana."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi tapi Mas Anjar justru merekatkan pelukannya membuatku hampir sesak nafas. Tapi aku merasa nyaman dibuatnya."Sebentar saja, Dek. Mas pengin meluk kamu. Mas masih kangeeeen," ucapnya sambil mengusap rambutku.Aku membiarkannya. Kubenamkan wajahku ke dadanya. Perasaan hangat menjalar di tubuhku. Aku sangat nyaman dibuatnya. Dia memang selalu begitu, memperlakukanku dengan lembut dan romantis.
"Sudah dibawa semua baju-bajumu sama Sofia?" tanya Mas Anjar, saat kita akan berangkat."Sudah mas," jawabku."Ayah, memangnya kita mau kemana?" tanya Sofia."Sofia, kita mau ke kota. Ayah ada pekerjaan disana. Sofia mau gak ketemu sama Ayah Rendy, kakek sama nenek?" tanya Mas Anjar. Ya, Mas Rendy masih sering menghubungi kami untuk sekedar bercengkrama dengan Sofia. Jadi, Sofia pun merespon dengan suka cita meski jarang bertemu."Mau, yah. Aku kangen sama mereka.""Ya sudah, nanti kita mampir kesana ya...""Asyiiik ...." jawaban riang Sofia membuatku ikut tersenyum.Kami memulai perjalanan kembali. Sofia dengan riang bernyanyi-nyanyi dengan gembira. Tak lama diapun mulai tertidur karena kelelahan."Mas, memangnya kita mau mampir ke rumah Pak Darmawan?" tanyaku."Iya sayang, kita lewat sana. Sudah lama juga kan kita gak silaturahmi.""Iya, mas."***Sembilan jam perjalanan sun
Hari pertama disini rasanya masih canggung. Apalagi aku belum terbiasa berpakaian seperti ini. Tapi mereka terus saja menyemangatiku. Aku benar-benar dianggap seperti keluarga, merasa sangat dihargai.Hari demi hari, minggu berganti minggu, aku belajar banyak hal dari mereka. Belajar bersama dengan perempuan hebat lainnya. Dari mulai sholat, mengaji, dan kegiatan keagamaan yang lainnya. Selain itu, kami diajari ketrampilan menjahit, memasak, membuat kue serta yang lain. Mereka yang lebih dulu berada disana sangat peduli padaku. Tak disangka, beberapa diantara mereka adalah wanita-wanita yang pernah berkecimpung di dunia malam. Mereka sudah insaf dan bertaubat. Belajar hijrah menjadi lebih baik lagi di tempat ini. Aku benar-benar merasakan kedamaian di tempat ini. Di "Rumah Perempuan", rumah yang sangat ramah bagi kami yang tengah terluka atau pernah terjebak dalam kubangan dosa. Tak ada makian disini, yang ada justru saling menyemangati dan saling menguatkan.
POV SantiEntah kenapa suasana mendadak hening kembali. Kami sepertinya larut dengan perasaan masing-masing. Bayangan masa lalu kembali hadir silih berganti bak adegan film yang terputar dalam ingatan."Sekali lagi aku minta maaf Pak, Bu, Mas, tolong maafin aku biar hatiku merasa tenang. Kesalahanku memang sangat banyak, tapi tolong berikan kesempatan maaf kalian untukku. Insyaallah aku ingin berubah, ingin menjadi lebih baik lagi," terangku lagi dengan mata berkaca-kaca.Tiba-tiba Bu Darmawan menghampiriku dan memelukku dengan erat. "Kami maafin kamu, Nak. Pasti kami maafin kamu, kami juga minta maaf sama kamu ya, karena sikap kami selalu ketus sama kamu. Alhamdulillah, kamu sudah berubah. Kami sempat tak percaya kalau kamu sudah berubah sesantun ini."Dekapan ibu membuat air mataku meleleh kembali. Ini pertama kalinya aku dipeluk oleh ibu mertuaku dan mungkin untuk terakhir kalinya juga."Terima kasih banyak, Bu. Aku terharu,