Pagi-pagi sekali selepas sholat subuh, aku membereskan tempat tidur. Mas Anjar belum pulang, dia selalu sholat berjamaah di mushola terdekat bersama bapak.Karena keasyikan beberes, sampai tak kudengar langkah kaki mendekat. Seseorang memelukku dari belakang, cukup erat, lalu dia membenamkan wajahnya di pundakku. Aku tersenyum, kebiasaan Mas Anjar selalu begini kalau ada sesuatu."Ada apa, Mas?" tanyaku sambil tersenyum. Dia masih diam, hanya embusan nafasnya saja yang terdengar, membuatku tergelitik.Aku berbalik dan memandang wajahnya. Seperti ada kegelisahan disana."Ada apa, Mas?" tanyaku lagi tapi Mas Anjar justru merekatkan pelukannya membuatku hampir sesak nafas. Tapi aku merasa nyaman dibuatnya."Sebentar saja, Dek. Mas pengin meluk kamu. Mas masih kangeeeen," ucapnya sambil mengusap rambutku.Aku membiarkannya. Kubenamkan wajahku ke dadanya. Perasaan hangat menjalar di tubuhku. Aku sangat nyaman dibuatnya. Dia memang selalu begitu, memperlakukanku dengan lembut dan romantis.
"Sudah dibawa semua baju-bajumu sama Sofia?" tanya Mas Anjar, saat kita akan berangkat."Sudah mas," jawabku."Ayah, memangnya kita mau kemana?" tanya Sofia."Sofia, kita mau ke kota. Ayah ada pekerjaan disana. Sofia mau gak ketemu sama Ayah Rendy, kakek sama nenek?" tanya Mas Anjar. Ya, Mas Rendy masih sering menghubungi kami untuk sekedar bercengkrama dengan Sofia. Jadi, Sofia pun merespon dengan suka cita meski jarang bertemu."Mau, yah. Aku kangen sama mereka.""Ya sudah, nanti kita mampir kesana ya...""Asyiiik ...." jawaban riang Sofia membuatku ikut tersenyum.Kami memulai perjalanan kembali. Sofia dengan riang bernyanyi-nyanyi dengan gembira. Tak lama diapun mulai tertidur karena kelelahan."Mas, memangnya kita mau mampir ke rumah Pak Darmawan?" tanyaku."Iya sayang, kita lewat sana. Sudah lama juga kan kita gak silaturahmi.""Iya, mas."***Sembilan jam perjalanan sun
Hari pertama disini rasanya masih canggung. Apalagi aku belum terbiasa berpakaian seperti ini. Tapi mereka terus saja menyemangatiku. Aku benar-benar dianggap seperti keluarga, merasa sangat dihargai.Hari demi hari, minggu berganti minggu, aku belajar banyak hal dari mereka. Belajar bersama dengan perempuan hebat lainnya. Dari mulai sholat, mengaji, dan kegiatan keagamaan yang lainnya. Selain itu, kami diajari ketrampilan menjahit, memasak, membuat kue serta yang lain. Mereka yang lebih dulu berada disana sangat peduli padaku. Tak disangka, beberapa diantara mereka adalah wanita-wanita yang pernah berkecimpung di dunia malam. Mereka sudah insaf dan bertaubat. Belajar hijrah menjadi lebih baik lagi di tempat ini. Aku benar-benar merasakan kedamaian di tempat ini. Di "Rumah Perempuan", rumah yang sangat ramah bagi kami yang tengah terluka atau pernah terjebak dalam kubangan dosa. Tak ada makian disini, yang ada justru saling menyemangati dan saling menguatkan.
POV SantiEntah kenapa suasana mendadak hening kembali. Kami sepertinya larut dengan perasaan masing-masing. Bayangan masa lalu kembali hadir silih berganti bak adegan film yang terputar dalam ingatan."Sekali lagi aku minta maaf Pak, Bu, Mas, tolong maafin aku biar hatiku merasa tenang. Kesalahanku memang sangat banyak, tapi tolong berikan kesempatan maaf kalian untukku. Insyaallah aku ingin berubah, ingin menjadi lebih baik lagi," terangku lagi dengan mata berkaca-kaca.Tiba-tiba Bu Darmawan menghampiriku dan memelukku dengan erat. "Kami maafin kamu, Nak. Pasti kami maafin kamu, kami juga minta maaf sama kamu ya, karena sikap kami selalu ketus sama kamu. Alhamdulillah, kamu sudah berubah. Kami sempat tak percaya kalau kamu sudah berubah sesantun ini."Dekapan ibu membuat air mataku meleleh kembali. Ini pertama kalinya aku dipeluk oleh ibu mertuaku dan mungkin untuk terakhir kalinya juga."Terima kasih banyak, Bu. Aku terharu,
"Santi, aku ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ibu dan juga putrimu," ungkap Winda dengan nada pelan. Dia menarik nafas dalam-dalam.Aku hanya mengangguk, sambil sesekali mengusap butiran bening di pipi."Kamu pasti sangat sulit menjalani ini sendirian. Tapi aku salut sama kamu, kamu bisa bangkit dari keterpurukan," ucapnya lagi."Aku belajar dari kamu, Winda. Aku ingin kualitas hidupku lebih baik lagi, jadi aku bangkit, aku ingin berubah. Inipun berkat seseorang yang sudah tulus membantuku. Dia sudah menarikku dari lubang kehancuran," jawabku lagi.Dia nampak tersenyum manis melihatku."Siapa orang itu? Apakah dia laki-laki?" tanya Mas Rendy cukup mengagetkan. Ia datang menghampiri kami dengan raut wajah bertanya-tanya."Ah iya mas, dia teman kuliahku dulu," jawabku."Apakah dia orang yang spesial?" tanyanya penuh penekanan. Aku agak gugup, ia memandangku dengan lekat. Kulihat sinar mata Mas Rendy seperti sedang di
Aku terdiam. Kenapa jadi seperti ini? Aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit ini. Dicintai lelaki beristri? Atau aku kembali saja sama Mas Rendy? Ah tapi tidak mungkin, bila aku kembali, aku bisa teringat lagi akan luka lamaku."Santi ..." panggil sebuah suara. Wanita itu tersenyum padaku. Lalu melambai-lambaikan tangannya padaku"Mbak Rania," desisku. Aku menoleh ke arah Mas Beno yang masih menatapku penuh pengharapan. Tapi aku segera berlalu menghampiri Mbak Rania, meski terbesit sedikit rasa bersalah pada Mas Beno."Jangan dekat sama laki-laki itu, dia sangat jahat," tuturnya seperti seorang anak yang sedang mengadu."Memangnya kenapa, Mbak? Dia suami Mbak, dia laki-laki yang baik lho..."Dia menggeleng cepat. "Dia jahat, dia jahat," racaunya lagi. Aku yakin Mas Beno mendengar perkataannya. Aku meraih wajah Mbak Rania dan membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. Kalau tidak, dia akan terus menggelengk
pov WindaAroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak agak banyak, ingin kukirim masakan ini untuk bapak dan ibu mertuaku. Kebetulan Mas Anjar baru dapat rezeki lebih. Ah iya, Mas Anjar selalu begitu, menyerahkan semua penghasilannya padaku. Aku yang mengelola keuangan rumah tangga. Bila Mas Anjar butuh, dia yang akan meminta padaku. Hari ini aku membuat bolu gulung keju, dan memasak ayam goreng serundeng, capcai bakso, peyek udang dan sambal tomat."Kayaknya sibuk banget nih, Dek," ucap suamiku."Iya, mas. Aku lagi masak ini, buat ibu sama bapak," jawabku."Kamu mau ke rumah ibu?" tanya Mas Anjar."Iya, Mas.""Waduh, mas gak bisa nganter, Dek. Ada pekerjaan," sahut Mas Anjar. Ia mengambil peyek yang kubuat lalu segera memakannya."Iya gak apa-apa, mas. Nanti aku kesana sama Sofia.""Iya, hati-hati ya ...""Walah gak usah khawatir gitu, orang deket, kayak jaraknya jauh aja."Mas Anjar hanya terkekeh sembari mengusap puncak kepalaku."
POV AnjarSejak berkunjung dari rumah orang tuaku, kurasakan sikap Winda mulai berubah. Dia lebih banyak diam. Bila aku bertanya, dia hanya menyahut seadanya saja. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ibu ngomong sesuatu padanya hingga membuat dia jadi seperti ini?Kupandangi parasnya yang ayu, ketika dia terlelap dalam tidurnya. Tak jemu aku menatapnya, tanpa sadar seulas senyum merekah dari bibirku. Dulu aku sulit menjangkaunya hingga aku harus rela menunggunya selama bertahun-tahun, tapi kini dia menemani tidurku tiap malam.Kukecup keningnya, dan kuusap rambutnya secara perlahan. Ia bereaksi kecil, membuatku tersenyum kembali."Pasti dia lelah sekali," desisku lirih. Istriku tak mau diam, apa saja ia kerjakan. Perkejaan rumah tangga, jangan tanya dia selalu merapikannya. Diwaktu luang dia membuat bunga handmade. ***Pagi hari, setelah berpamitan kerja, aku menuju ke rumah ibu. Ada yang ingin aku pastikan, apa yang ibu katakan pada Winda. Kuciumi tangan ibu setelah sampai di rumah,