Aku terdiam. Kenapa jadi seperti ini? Aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit ini. Dicintai lelaki beristri? Atau aku kembali saja sama Mas Rendy? Ah tapi tidak mungkin, bila aku kembali, aku bisa teringat lagi akan luka lamaku.
"Santi ..." panggil sebuah suara. Wanita itu tersenyum padaku. Lalu melambai-lambaikan tangannya padaku"Mbak Rania," desisku. Aku menoleh ke arah Mas Beno yang masih menatapku penuh pengharapan.Tapi aku segera berlalu menghampiri Mbak Rania, meski terbesit sedikit rasa bersalah pada Mas Beno."Jangan dekat sama laki-laki itu, dia sangat jahat," tuturnya seperti seorang anak yang sedang mengadu."Memangnya kenapa, Mbak? Dia suami Mbak, dia laki-laki yang baik lho..."Dia menggeleng cepat. "Dia jahat, dia jahat," racaunya lagi. Aku yakin Mas Beno mendengar perkataannya.Aku meraih wajah Mbak Rania dan membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. Kalau tidak, dia akan terus menggelengkpov WindaAroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak agak banyak, ingin kukirim masakan ini untuk bapak dan ibu mertuaku. Kebetulan Mas Anjar baru dapat rezeki lebih. Ah iya, Mas Anjar selalu begitu, menyerahkan semua penghasilannya padaku. Aku yang mengelola keuangan rumah tangga. Bila Mas Anjar butuh, dia yang akan meminta padaku. Hari ini aku membuat bolu gulung keju, dan memasak ayam goreng serundeng, capcai bakso, peyek udang dan sambal tomat."Kayaknya sibuk banget nih, Dek," ucap suamiku."Iya, mas. Aku lagi masak ini, buat ibu sama bapak," jawabku."Kamu mau ke rumah ibu?" tanya Mas Anjar."Iya, Mas.""Waduh, mas gak bisa nganter, Dek. Ada pekerjaan," sahut Mas Anjar. Ia mengambil peyek yang kubuat lalu segera memakannya."Iya gak apa-apa, mas. Nanti aku kesana sama Sofia.""Iya, hati-hati ya ...""Walah gak usah khawatir gitu, orang deket, kayak jaraknya jauh aja."Mas Anjar hanya terkekeh sembari mengusap puncak kepalaku."
POV AnjarSejak berkunjung dari rumah orang tuaku, kurasakan sikap Winda mulai berubah. Dia lebih banyak diam. Bila aku bertanya, dia hanya menyahut seadanya saja. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ibu ngomong sesuatu padanya hingga membuat dia jadi seperti ini?Kupandangi parasnya yang ayu, ketika dia terlelap dalam tidurnya. Tak jemu aku menatapnya, tanpa sadar seulas senyum merekah dari bibirku. Dulu aku sulit menjangkaunya hingga aku harus rela menunggunya selama bertahun-tahun, tapi kini dia menemani tidurku tiap malam.Kukecup keningnya, dan kuusap rambutnya secara perlahan. Ia bereaksi kecil, membuatku tersenyum kembali."Pasti dia lelah sekali," desisku lirih. Istriku tak mau diam, apa saja ia kerjakan. Perkejaan rumah tangga, jangan tanya dia selalu merapikannya. Diwaktu luang dia membuat bunga handmade. ***Pagi hari, setelah berpamitan kerja, aku menuju ke rumah ibu. Ada yang ingin aku pastikan, apa yang ibu katakan pada Winda. Kuciumi tangan ibu setelah sampai di rumah,
"Belum, Bu. Doakan saja semoga secepatnya," jawabku."Gituu terus jawabannya! Kamu gak kasihan sama si Anjar? Dia juga pengin punya anak sendiri, bukan hanya ngurusin anakmu."Deg! Entahlah mungkin aku yang terlalu perasa. Seakan-akan ibu tak suka dengan Sofia."Mau sampai kapan kami menunggumu? Ibu juga sudah tak sabar ingin menimang cucu," ketus ibu lagi."Iya, maaf, bu. Kami akan berusaha lebih keras lagi," ucapku."Jangan sampai ibu mencarikan istri baru untuk Anjar.""Maksud ibu?""Kalau kamu tak kunjung hamil, dengan terpaksa ibu akan mencarikan istri baru untuk Anjar, yang lebih muda dan juga cantik. Biar dia cepat ngasih momongan sama ibu," ibu menimpali.Sakit rasanya mendengar ucapan ibu. Aku yakin pipiku saat ini mulai memerah, mataku mulai panas. Sepertinya ibu memang sudah terhasut oleh omongan gadis tadi."Bu, saya permisi pulang," pamitku lagi. Aku sudah tidak tahan mendengar omongan ibu yang mulai ngelantur kemana-mana."Kamu ingat ini ya Winda, kalau kamu tak kunjung
Triing ... Triing ...Suara dering ponsel ibu mengagetkan kami. Ibu segera mengangkat telepon itu."Dari Ayu," ucap ibu dengan lirih.Sejenak beliau mengangkat panggilan telepon itu, tapi rona wajahnya mulai memucat. Beliau terlihat sangat shock, entah kabar apa yang dia dengar. Tanpa sengaja ibu merenggangkan genggaman ponselnya hingga telepon itu hampir terjatuh, untung saja aku segera menangkapnya, lalu ibu diajak duduk oleh Winda."Halo ... Assalamualaikum.""Ya, halo... Oh mas kau dengar aku?" sahut suara lelaki dari seberang telepon."Ya, ini dengan siapa? Kenapa ponsel adikku ada sama kamu?" "Oh mas ini kakaknya?""Iya, ini siapa?""Ini dari kepolisian mas, ingin mengabarkan mobil yang adik anda tumpangi mengalami kecelakaan. Hanya ponsel ini yang ditemukan di lokasi kejadian yang bisa dijadikan sebagai alat komunikasi. Sekarang para korban sudah dilarikan ke rumah sakit.""Dimana pak?""Para korban dirawat di RS Jaya Medika, Semarang. Datang langsung saja kesini, pak.""Baik,
POV SantiSetelah berpikir cukup lama, akhirnya hari ini tekadku membulat. Aku ingin bekerja lagi di kantor. Sejak kemarin, aku sudah mempersiapkan beberapa berkas untuk lamaran kerja. Pagi-pagi sekali aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke alamat yang tertera di kartu nama Mas Beno. Menaiki ojek adalah andalanku saat ini. Mungkin kalau nantinya aku diterima di kantor Mas Beno, aku akan mengontrak rumah sendiri biar lebih dekat ke tempat kerja."Kamu sudah mau berangkat, Mbak Santi?" tanya Bunda Aini dengan ramah."Iya, Bunda. Doakan ya Bun, biar aku diterima.""Pasti sayang, tetap semangat dan jangan menyerah ya."Aku langsung memeluk ibu keduaku itu. Diperhatikan sebegitunya layaknya seorang anak kandung. Jadi rasanya begitu berat bila bisa dari tempat ini.Pagi ini aku sudah berdiri di sebuah kantor yang dikelola oleh Mas Beno. Gedung perkantoran yang megah di tengah-tengah kota. Aku menemuinya langsung di ruangannya.Mas Beno tersenyum melihat kedatangan ku. "Akhirnya ka
"Iya mas."Mas Beno bergegas lagi dengan terburu-buru."Kamu kok bisa ada disini, San? Terus tadi siapa? Suamimu?" tanya Mas Anjar tiba-tiba."Oh bukan, mas. Dia bos aku. Aku kesini mengantarnya, mau menjemput adik iparnya yang kecelakaan. Mas sendiri disini lagi apa? Siapa yang sakit? Windanya mana, Mas?""Winda ada di rumah, gak ikut kesini. Adikku yang sakit, dia koma.""Innalilahi, maksud mas si Ayu?""Iya, siapa lagi, adikku kan cuma satu.""Lho kenapa kok bisa koma?""Kecelakaan, temannya yang satu mobil meninggal dunia. Masuk saja kalau mau lihat kondisinya," ujar Mas Anjar.Akupun memasuki ruangan itu. Sempat pangling aku melihatnya, terakhir kali melihatnya dia masih remaja. Sekarang gadis itu tumbuh menjadi gadis yang cantik. Sayangnya dia terbaring tak berdaya. Wajahnya yang putih terlihat pucat. "Mas sendirian disini?" tanyaku."Iya, bapak sama ibu barusan pulang, kami ber
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada