"Santi, aku ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ibu dan juga putrimu," ungkap Winda dengan nada pelan. Dia menarik nafas dalam-dalam.
Aku hanya mengangguk, sambil sesekali mengusap butiran bening di pipi."Kamu pasti sangat sulit menjalani ini sendirian. Tapi aku salut sama kamu, kamu bisa bangkit dari keterpurukan," ucapnya lagi."Aku belajar dari kamu, Winda. Aku ingin kualitas hidupku lebih baik lagi, jadi aku bangkit, aku ingin berubah. Inipun berkat seseorang yang sudah tulus membantuku. Dia sudah menarikku dari lubang kehancuran," jawabku lagi.Dia nampak tersenyum manis melihatku."Siapa orang itu? Apakah dia laki-laki?" tanya Mas Rendy cukup mengagetkan. Ia datang menghampiri kami dengan raut wajah bertanya-tanya."Ah iya mas, dia teman kuliahku dulu," jawabku."Apakah dia orang yang spesial?" tanyanya penuh penekanan. Aku agak gugup, ia memandangku dengan lekat. Kulihat sinar mata Mas Rendy seperti sedang diAku terdiam. Kenapa jadi seperti ini? Aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit ini. Dicintai lelaki beristri? Atau aku kembali saja sama Mas Rendy? Ah tapi tidak mungkin, bila aku kembali, aku bisa teringat lagi akan luka lamaku."Santi ..." panggil sebuah suara. Wanita itu tersenyum padaku. Lalu melambai-lambaikan tangannya padaku"Mbak Rania," desisku. Aku menoleh ke arah Mas Beno yang masih menatapku penuh pengharapan. Tapi aku segera berlalu menghampiri Mbak Rania, meski terbesit sedikit rasa bersalah pada Mas Beno."Jangan dekat sama laki-laki itu, dia sangat jahat," tuturnya seperti seorang anak yang sedang mengadu."Memangnya kenapa, Mbak? Dia suami Mbak, dia laki-laki yang baik lho..."Dia menggeleng cepat. "Dia jahat, dia jahat," racaunya lagi. Aku yakin Mas Beno mendengar perkataannya. Aku meraih wajah Mbak Rania dan membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. Kalau tidak, dia akan terus menggelengk
pov WindaAroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak agak banyak, ingin kukirim masakan ini untuk bapak dan ibu mertuaku. Kebetulan Mas Anjar baru dapat rezeki lebih. Ah iya, Mas Anjar selalu begitu, menyerahkan semua penghasilannya padaku. Aku yang mengelola keuangan rumah tangga. Bila Mas Anjar butuh, dia yang akan meminta padaku. Hari ini aku membuat bolu gulung keju, dan memasak ayam goreng serundeng, capcai bakso, peyek udang dan sambal tomat."Kayaknya sibuk banget nih, Dek," ucap suamiku."Iya, mas. Aku lagi masak ini, buat ibu sama bapak," jawabku."Kamu mau ke rumah ibu?" tanya Mas Anjar."Iya, Mas.""Waduh, mas gak bisa nganter, Dek. Ada pekerjaan," sahut Mas Anjar. Ia mengambil peyek yang kubuat lalu segera memakannya."Iya gak apa-apa, mas. Nanti aku kesana sama Sofia.""Iya, hati-hati ya ...""Walah gak usah khawatir gitu, orang deket, kayak jaraknya jauh aja."Mas Anjar hanya terkekeh sembari mengusap puncak kepalaku."
POV AnjarSejak berkunjung dari rumah orang tuaku, kurasakan sikap Winda mulai berubah. Dia lebih banyak diam. Bila aku bertanya, dia hanya menyahut seadanya saja. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ibu ngomong sesuatu padanya hingga membuat dia jadi seperti ini?Kupandangi parasnya yang ayu, ketika dia terlelap dalam tidurnya. Tak jemu aku menatapnya, tanpa sadar seulas senyum merekah dari bibirku. Dulu aku sulit menjangkaunya hingga aku harus rela menunggunya selama bertahun-tahun, tapi kini dia menemani tidurku tiap malam.Kukecup keningnya, dan kuusap rambutnya secara perlahan. Ia bereaksi kecil, membuatku tersenyum kembali."Pasti dia lelah sekali," desisku lirih. Istriku tak mau diam, apa saja ia kerjakan. Perkejaan rumah tangga, jangan tanya dia selalu merapikannya. Diwaktu luang dia membuat bunga handmade. ***Pagi hari, setelah berpamitan kerja, aku menuju ke rumah ibu. Ada yang ingin aku pastikan, apa yang ibu katakan pada Winda. Kuciumi tangan ibu setelah sampai di rumah,
"Belum, Bu. Doakan saja semoga secepatnya," jawabku."Gituu terus jawabannya! Kamu gak kasihan sama si Anjar? Dia juga pengin punya anak sendiri, bukan hanya ngurusin anakmu."Deg! Entahlah mungkin aku yang terlalu perasa. Seakan-akan ibu tak suka dengan Sofia."Mau sampai kapan kami menunggumu? Ibu juga sudah tak sabar ingin menimang cucu," ketus ibu lagi."Iya, maaf, bu. Kami akan berusaha lebih keras lagi," ucapku."Jangan sampai ibu mencarikan istri baru untuk Anjar.""Maksud ibu?""Kalau kamu tak kunjung hamil, dengan terpaksa ibu akan mencarikan istri baru untuk Anjar, yang lebih muda dan juga cantik. Biar dia cepat ngasih momongan sama ibu," ibu menimpali.Sakit rasanya mendengar ucapan ibu. Aku yakin pipiku saat ini mulai memerah, mataku mulai panas. Sepertinya ibu memang sudah terhasut oleh omongan gadis tadi."Bu, saya permisi pulang," pamitku lagi. Aku sudah tidak tahan mendengar omongan ibu yang mulai ngelantur kemana-mana."Kamu ingat ini ya Winda, kalau kamu tak kunjung
Triing ... Triing ...Suara dering ponsel ibu mengagetkan kami. Ibu segera mengangkat telepon itu."Dari Ayu," ucap ibu dengan lirih.Sejenak beliau mengangkat panggilan telepon itu, tapi rona wajahnya mulai memucat. Beliau terlihat sangat shock, entah kabar apa yang dia dengar. Tanpa sengaja ibu merenggangkan genggaman ponselnya hingga telepon itu hampir terjatuh, untung saja aku segera menangkapnya, lalu ibu diajak duduk oleh Winda."Halo ... Assalamualaikum.""Ya, halo... Oh mas kau dengar aku?" sahut suara lelaki dari seberang telepon."Ya, ini dengan siapa? Kenapa ponsel adikku ada sama kamu?" "Oh mas ini kakaknya?""Iya, ini siapa?""Ini dari kepolisian mas, ingin mengabarkan mobil yang adik anda tumpangi mengalami kecelakaan. Hanya ponsel ini yang ditemukan di lokasi kejadian yang bisa dijadikan sebagai alat komunikasi. Sekarang para korban sudah dilarikan ke rumah sakit.""Dimana pak?""Para korban dirawat di RS Jaya Medika, Semarang. Datang langsung saja kesini, pak.""Baik,
POV SantiSetelah berpikir cukup lama, akhirnya hari ini tekadku membulat. Aku ingin bekerja lagi di kantor. Sejak kemarin, aku sudah mempersiapkan beberapa berkas untuk lamaran kerja. Pagi-pagi sekali aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke alamat yang tertera di kartu nama Mas Beno. Menaiki ojek adalah andalanku saat ini. Mungkin kalau nantinya aku diterima di kantor Mas Beno, aku akan mengontrak rumah sendiri biar lebih dekat ke tempat kerja."Kamu sudah mau berangkat, Mbak Santi?" tanya Bunda Aini dengan ramah."Iya, Bunda. Doakan ya Bun, biar aku diterima.""Pasti sayang, tetap semangat dan jangan menyerah ya."Aku langsung memeluk ibu keduaku itu. Diperhatikan sebegitunya layaknya seorang anak kandung. Jadi rasanya begitu berat bila bisa dari tempat ini.Pagi ini aku sudah berdiri di sebuah kantor yang dikelola oleh Mas Beno. Gedung perkantoran yang megah di tengah-tengah kota. Aku menemuinya langsung di ruangannya.Mas Beno tersenyum melihat kedatangan ku. "Akhirnya ka
"Iya mas."Mas Beno bergegas lagi dengan terburu-buru."Kamu kok bisa ada disini, San? Terus tadi siapa? Suamimu?" tanya Mas Anjar tiba-tiba."Oh bukan, mas. Dia bos aku. Aku kesini mengantarnya, mau menjemput adik iparnya yang kecelakaan. Mas sendiri disini lagi apa? Siapa yang sakit? Windanya mana, Mas?""Winda ada di rumah, gak ikut kesini. Adikku yang sakit, dia koma.""Innalilahi, maksud mas si Ayu?""Iya, siapa lagi, adikku kan cuma satu.""Lho kenapa kok bisa koma?""Kecelakaan, temannya yang satu mobil meninggal dunia. Masuk saja kalau mau lihat kondisinya," ujar Mas Anjar.Akupun memasuki ruangan itu. Sempat pangling aku melihatnya, terakhir kali melihatnya dia masih remaja. Sekarang gadis itu tumbuh menjadi gadis yang cantik. Sayangnya dia terbaring tak berdaya. Wajahnya yang putih terlihat pucat. "Mas sendirian disini?" tanyaku."Iya, bapak sama ibu barusan pulang, kami ber
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba