"Belum, Bu. Doakan saja semoga secepatnya," jawabku."Gituu terus jawabannya! Kamu gak kasihan sama si Anjar? Dia juga pengin punya anak sendiri, bukan hanya ngurusin anakmu."Deg! Entahlah mungkin aku yang terlalu perasa. Seakan-akan ibu tak suka dengan Sofia."Mau sampai kapan kami menunggumu? Ibu juga sudah tak sabar ingin menimang cucu," ketus ibu lagi."Iya, maaf, bu. Kami akan berusaha lebih keras lagi," ucapku."Jangan sampai ibu mencarikan istri baru untuk Anjar.""Maksud ibu?""Kalau kamu tak kunjung hamil, dengan terpaksa ibu akan mencarikan istri baru untuk Anjar, yang lebih muda dan juga cantik. Biar dia cepat ngasih momongan sama ibu," ibu menimpali.Sakit rasanya mendengar ucapan ibu. Aku yakin pipiku saat ini mulai memerah, mataku mulai panas. Sepertinya ibu memang sudah terhasut oleh omongan gadis tadi."Bu, saya permisi pulang," pamitku lagi. Aku sudah tidak tahan mendengar omongan ibu yang mulai ngelantur kemana-mana."Kamu ingat ini ya Winda, kalau kamu tak kunjung
Triing ... Triing ...Suara dering ponsel ibu mengagetkan kami. Ibu segera mengangkat telepon itu."Dari Ayu," ucap ibu dengan lirih.Sejenak beliau mengangkat panggilan telepon itu, tapi rona wajahnya mulai memucat. Beliau terlihat sangat shock, entah kabar apa yang dia dengar. Tanpa sengaja ibu merenggangkan genggaman ponselnya hingga telepon itu hampir terjatuh, untung saja aku segera menangkapnya, lalu ibu diajak duduk oleh Winda."Halo ... Assalamualaikum.""Ya, halo... Oh mas kau dengar aku?" sahut suara lelaki dari seberang telepon."Ya, ini dengan siapa? Kenapa ponsel adikku ada sama kamu?" "Oh mas ini kakaknya?""Iya, ini siapa?""Ini dari kepolisian mas, ingin mengabarkan mobil yang adik anda tumpangi mengalami kecelakaan. Hanya ponsel ini yang ditemukan di lokasi kejadian yang bisa dijadikan sebagai alat komunikasi. Sekarang para korban sudah dilarikan ke rumah sakit.""Dimana pak?""Para korban dirawat di RS Jaya Medika, Semarang. Datang langsung saja kesini, pak.""Baik,
POV SantiSetelah berpikir cukup lama, akhirnya hari ini tekadku membulat. Aku ingin bekerja lagi di kantor. Sejak kemarin, aku sudah mempersiapkan beberapa berkas untuk lamaran kerja. Pagi-pagi sekali aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat ke alamat yang tertera di kartu nama Mas Beno. Menaiki ojek adalah andalanku saat ini. Mungkin kalau nantinya aku diterima di kantor Mas Beno, aku akan mengontrak rumah sendiri biar lebih dekat ke tempat kerja."Kamu sudah mau berangkat, Mbak Santi?" tanya Bunda Aini dengan ramah."Iya, Bunda. Doakan ya Bun, biar aku diterima.""Pasti sayang, tetap semangat dan jangan menyerah ya."Aku langsung memeluk ibu keduaku itu. Diperhatikan sebegitunya layaknya seorang anak kandung. Jadi rasanya begitu berat bila bisa dari tempat ini.Pagi ini aku sudah berdiri di sebuah kantor yang dikelola oleh Mas Beno. Gedung perkantoran yang megah di tengah-tengah kota. Aku menemuinya langsung di ruangannya.Mas Beno tersenyum melihat kedatangan ku. "Akhirnya ka
"Iya mas."Mas Beno bergegas lagi dengan terburu-buru."Kamu kok bisa ada disini, San? Terus tadi siapa? Suamimu?" tanya Mas Anjar tiba-tiba."Oh bukan, mas. Dia bos aku. Aku kesini mengantarnya, mau menjemput adik iparnya yang kecelakaan. Mas sendiri disini lagi apa? Siapa yang sakit? Windanya mana, Mas?""Winda ada di rumah, gak ikut kesini. Adikku yang sakit, dia koma.""Innalilahi, maksud mas si Ayu?""Iya, siapa lagi, adikku kan cuma satu.""Lho kenapa kok bisa koma?""Kecelakaan, temannya yang satu mobil meninggal dunia. Masuk saja kalau mau lihat kondisinya," ujar Mas Anjar.Akupun memasuki ruangan itu. Sempat pangling aku melihatnya, terakhir kali melihatnya dia masih remaja. Sekarang gadis itu tumbuh menjadi gadis yang cantik. Sayangnya dia terbaring tak berdaya. Wajahnya yang putih terlihat pucat. "Mas sendirian disini?" tanyaku."Iya, bapak sama ibu barusan pulang, kami ber
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi