Bang!!!
Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu.
"Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban.
"An ... An ... kamu kenapa? Mau cerita sama Kakak?" tanya Danisa sekali lagi pantang menyerah.
"BRISIK!!!" sahut Anya dengan teriak dan ketus.
Danisa yang mendengar balasan dari Anya tertegun karena kaget dan mengelus dadanya. "Anya, kamu kenapa? Ga seperti biasanya kamu kaya gini? Ada apa, An?" sekali lagi Danisa bertanya.
"Ono opo iki? Kok geger nemen (ada apa ini? Kok rame sekali)," Bu Joyo, sang ibunda Danisa dan Raquela datang menghampiri.
"Ga ada apa-apa kok, Bu. Hanya ingin mengobrol dengan Anya," kilah Dansia tersenyum.
"Oh, yowes. Ajak ngobrol adekmu, mungkin dia belum terbiasa dengan suasana kampung yang sepi seperti di sini," ucap sang Bunda lalu meninggalkan Danisa.
"Fyuhhhhhh, untung Ibu ga denger apa yang sebenarnya terjadi. Coba kalo beliau sampe denger ..." lagi-lagi Danisa mengelus dadanya sambil mengeluarkan napas dalam-dalam.
Tak lama, Anya membuka pintu kamarnya dan menatap tajam sang kakak. "Anya? Akhirnya ... kamu mau membuka pintu kamarmu. Ada apa? Kenapa tadi kau membanting pintu kamarmu?" tanya Danisa dengan tersenyum di depan kamar sang adik.
"Apa Kakak bahagia di sini?" tanya Anya menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan berucap ketus.
"Anya, ke--kenapa nada bicaramu ..."
"Kenapa? Apa ada yang salah, Kak? Memangnya kenapa dengan nada bicaraku?" dingin Anya menanggapi komentar sang kakak.
"Anya ..." Danisa segera menarik tangan Anya keluar dari kamar dan mengajaknya duduk di gazibu rumah mereka.
"Duduk!" perintah Danisa.
"Memangnya siapa kau berani memerintahku!" sahut Anya menatap tajam sang kakak.
"Anyelir Putri Baskoro! Aku Kakakmu dan aku menyuruhmu untuk duduk! Apa kau masih mau membantahku!?" Danisa mulai kehilangan kesabarannya.
Akhirnya, mau tak mau Anya menuruti perintah sang kakak dan duduk, meskipun dengan menunjukkan ekspresi yang tak menyenangkan. Danisa pun segera mengontrol emosinya dan menurunkan suaranya. Sambil menarik napas panjang, Danisa bertanya pada sang adik, "Anya ada apa? Sepertinya mood-mu sedang tak baik hari ini?"
Anya hanya bergeming. Dia tahu ini bukanlah kesalahan sang kakak. Tapi entah mengapa dia begitu sangat kesal dan marah ketika mendengar ada pria yang menyebut nama kakaknya di depannya.
"Tak ada apa-apa, Kak." kilah Anya langsung memalingkan wajahnya.
"Bohong! Kakak tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dari Kakak. Apa itu?" desak Danisa.
"Kakak itu suka sekali mendesak orang ya? Apa itu ciri khas seorang guru? Suka mendesak muridnya yang tak mau menjawab karena dia memang tak bisa tapi harus dipaksakan bisa? Begitu cara Kakak mengajar?" kesal Anya.
"A---Anya ...." Danisa terkejut mendengar jawaban Anya yang seakan menohok kerongkongan Danisa! Tak ada satu kata pun terucap dari mulut Anya. Dengan nada angkuh, sang adik kemudian berkata, "Jika ingin mengajari orang lain, maka Kakak harus mengajari diri sendiri dulu! Apa Kakak pikir hanya Kakak yang pandai mempermainkan kata-kata?" seringai Anya langsung meninggalkan gazibu.
Danisa yang masih diam terpaku menatap langkah sang adik yang memang sedikit angkuh namun sebenarnya dia adalah anak yang baik. Mata Danisa pun berkaca-kaca seolah ucapan Anya menjadi tamparan keras baginya. "Lho, Dan ... kamu di sini, tho?" ucap sang Ibu menghampiri Danisa yang cepat-cepat menghapus air matanya.
"Ono opo (ada apa)? Kok mripate abang (matanya merah)?" tanya sang Ibu ketika menatap mata Danisa.
"Ga ada apa-apa, Bu." senyum Danisa.
"Dan, Ibu tahu pasti berat buatmu. Pindah dari tempat dengan hiruk pikuk dan kepadatan orang-orang ke tempat yang sepi dan sunyi seperti di sini," ucap Bu Joyo memegang tangan Danisa.
"Ibu ngomong apa, sih. Danisa wnggak apa-apa kok, Bu. Justru Danisa senang tinggal di tempat seperti ini. Tenang, jauh dari kebisingan, membuat hidup Danisa lebih nyaman." Senyum Danisa.
Keluarga Baskoro Atmodjoyo memang bukanlah penduduk asli kota pelajar. Mereka pindah ke kota itu karena ayah mereka membuka perusahaan baru dan menutup perusahaan mereka di Jakarta. Baskoro sengaja memilih kota Jogja karena di kota pelajar itulah dia dilahirkan dan dibesarkan. Adat Jawa yang masih kental begitu terasa di keluarga ini. Seluruh keluarga Atmodjoyo memang masih mrmegang teguh pada prinsip-prinsip hidup ofang Jawa tempo dulu, baik dari segi pakaian, ucapan, tingkah laku maupun perbuatan, apalagi hal-hal yang berbau asmara! Keluarga ini benar-benar memperhitungkan bibit, bebet dan bobot. Namun, tak semua anggota keluarga Atmodjoyo mau mengikuti aturan hidup yang terlalu kolot dan kuno itu, salah satunya adalah Anyelir Putri Baskoro. Gadis berusia 23 tahun itu dikenal sangat tomboy dan senang berpakaian kaos oblong. Paras dan body-nya boleh dibilang cukup menarik untuk ukuran gadis seusianya. Dengan rambut hitam sepinggang, kulit kuning langsat, bulu mata lentik dan bibir merah alami membuat siapa saja yang melihat parasnya langsung mengira dia adalah gadis feminim dan seorang model. Namun siapa sangka! Adik dati Raquel Danisa Baskoro itu adalah seorang gadis tomboy yang urakan dan ugal-ugalan. Kecintaannya pada dunia balap mobil membuatnya kerap bersiteru dengan sang ayah dan tentu saja sang kakak, Danisa. Sang ibu, Joyo Hanum Baskoro merupakan wanita yang benar-benar seseorang jawa tulen yang selalu menuruti ucapan suami tanpa mengelak atau membantahnya. Benar-benar tipikal wanita Baskoro!
Satu lagi anak perempuan di keluarga Baskoro yang saat ini telah berumur matang dan seharusnya sudah siap menikah, Raquel Danisa Baskoro atau biasa disapa Danisa. Seorang guru taman kanak-kanak di daerah dekat Giwangan, wanita cantik berkulit eksotis ini memiliki senyum secerah mentari pagi kala baru terbit. Senyumnya dapat meluluhkan netra siapa saja yang melihat Danisa dan karena senyumnya itulah, dia mendapat predikat sebagai 'Guru Favorit' di sekolahnya. Wanita anggun dengan tinggi 170 cm, dan rambut hitam legam sebahu itu sebenarnya juga seorang yang tomboy, namun karena telah memasuki usia matang, Danisa mencoba untuk merubah sifatnya yang tak jauh beda dengan sang adik, Anya. Danisa sendiri di dusunnya bisa dibilang bunga desa. Meskipun tak memiliki kulit seputih mutiara, sebening kristal atau sekuning matahari, tapi dia memiliki inner beauty yang tak dimiliki oleh wanita-wanita cantik di dusunnya. Sehingga tak heran jika banyak pria yang langsung jatuh hati padanya, salah satunya adalah pemuda paling tampan di dusun tempatnya tinggal, Diaz Asmadibrata yang menjadi incaran para wanita dan gadis cantik di dusun serta kampusnya.
"Kamu betah di sini, Dan? Tenanan (beneran)?" tanya sang Ibu melirik dan tersenyum.
"Iy, Bu. Danisa betah kok di sini. Ada apa sih Ibu selalu menanyakan pertanyaan yang sama pada Danisa?" penasaran wanita cantik itu.
"Ndak. Ndak apa, syukurlah kalo kamu betah, Dan. Tapi ..."
"Tapi? Tapi apa, Bu?"
"Apa adekmu juga akan betah dan terbiasa dengan kesederhanaan di dusun ini? Ibu sedikit khawatir," cemas sang Ibu menghela napas panjang.
Danisa kemudian menggenggam tangan sang Ibu dan berkata, "Anya adalah anak yang kuat, Bu. Percayalah, dia hanya butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dan kulihat dia sudah memiliki beberapa teman." Senyum Danisa meyakinkan.
"Benarkah?"
"Benar, Bu. 'Kan semuanya bututh proses, tak langsung serta merta. Yang penting Ibu percaya pada Anya, ya ..." tambah Danisa.
Danisa memang mirip seperti sang ibi. Wanita tipikal jawa tulen yang selalu menurut apa kata orang tua dan tak pernah membantah.
"Jika kau bilang seperti itu, maka Ibu percaya padamu, Dan." sahut Ibu memeluk Danisa dengan erat di bawah dinginnya sore kota Jogja.
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus
"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus