"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ...."
"Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal.
"Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum.
"Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra.
"Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya.
"Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yang ngalahin ayuneeeee." tambah Sinyo mengacungkan dua jempol ibu jarinya.
"Tapi, aku rodo piye yoooo arep kenalan sama dia," Diaz mengelus-elus dagunya seraya berpikir keras.
"Piye ... piye opo? Ga ngerti aku sama maksudmu." Sinyo bersiap akan meninggalkan Diaz yang aslinya memang selalu berperilaku tak jelas.
"E ... e ... e ... mau kemana kamu, Nyo? durung rampung iki aku ngomong, maen bleng (pergi) ae!" sedikit kesal Diaz sambil menahan pergelangan tangan Sinyo.
"Mulih (pulang)! Wetengku ngeleh (perutku lapar)." Sinyo yang tak mempedulikan kegundahan sahabatnya itu dengan tenangnya meninggalkan sahabatnya yang masih saja duduk termenung di pinggir kali.
"Hai," suara seorang wanita tiba-tiba menyapa Diaz dari arah belakang. Sontak, Diaz yang hanya seorang diri itupun langsung bergidik ngeri dan bergumam, "Demit (setan) po, yo ..."
"Diaz!!" seru wanita itu memanggil namanya dengan kencang.
"Duh, Gustiiiiiii (Ya, Tuhannnn), opo iki (apa ini)?" ucapnya sambil memejamkan mata.
"Heh! Dipanggil dari tadi ga denger-denger juga, ya! Lagi ngapain loe?"
Diaz masih bergeming dan memejamkan matanya.
"Nape sih nih orang?" gumam wanita itu yang akhirnya duduk di sebelah Diaz dan melihat dari dekat apa yang sedang pria tampan itu lakukan.
"WOYYYYY!!!" wanita itu memukul bahu Diaz lumayan kencang dan berteriak dekat telinganya membuat Diaz sontak membuka mata dan menoleh ke arah kanannya.
"Hehhhhhh, kamu tho Anyelir. Kirain aku sapa," sahut Diaz mengusap-usap dadanya.
"Emang loe pikir siapa tadi yang nyapa loe? Setan?" sahut Anyelir, adik kandung Raquela Danisa Baskoro.
"Heheheheh," balas Diaz sengaja menunjukkan ekspresi wajah jeleknya.
Diaz Asmadibrata, pemuda berusia 23 tahun, mahasiswa jurusan tekhnik sipil di salag satu universitas negeri ternama, terkenal, dan paling susah untuk dimasuki di Jogjakarta. Penampilannya yang terkadang seperti anak jalanan sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang, rambut sebahu, kulit sawo matang, jambang di sebelah kana kiri serta alas kaki yang sering menggunakan sandal jepit, membuatnya jauh dari kata anak orang kaya. Namun sebenarnya, Diaz adalah pewaris tunggal perusahaan frozen food yang cukup terkenal dan paling besar di Jogjakarta. Ibunya yang telah lama meninggal dan sang ayah yang jarang pulang, membuat Diaz merasa kesepian dan hanya Sinyo sahabat yang bisa dekat dengan Diaz. Maklum, Diaz adalah tipe orang yang introvert dan tak mudah percaya dengan orang lain karena itulah, dia boleh dibilang sangat selektif dalam memilih teman.
"Kamu ...." Diaz melihat wanita tomboy berkaos oblong warna krem dan ketiak yang tiada ditutupi.
"Kenapa? Gue cantik, ya? Makasih. Everybody says like that," ucap Anya, panggilan Anyelir dengan penuh percaya diri.
"Bu--bukan. Tapi, itu ... apa kamu ndak takut masuk angin?" tanya Diaz sambil menunjuk kaos Anya yang tipis dan terbuka di bagian ketiak.
"Kenapa? Ada apa emang ama kaos gue?" bingung Anya.
"Lha, wong ketek (ketiak) mu terbuka gitu ... apa takut ndak masuk angin nanti. Di sini tu angine guede dan kenceng. Nanti kalo kamu masuk angin bisa-bisa dikerokin, lho," kelakar Diaz.
"Hahhhhhhhhhh ..." Anya hanya geleng-geleng kepala melihat ucapan dan tingkah laku pemuda kampung namun tampan itu. Mata Anya tak pernah lepas dari netra coklat terang dan senyum manis yang mengembang di bibir pria yang katanya anti wanita dan anti pacaran itu.
"Mmmm, Diaz ... loe ... loe ...."
"Ya, aku apa?" sahut Diaz penasaran.
"Hmmmm, ga jadi, ah. Gue malu."
"Isin (malu)? Lha, piye (lho, gimana)?" tanya Diaz makin penasaran.
"Loe udah punya cewek belom?" tembak Anya langsung ke inti.
Diaz sempat terkejut mendengar pertanyaan Anya. Sesuatu yang selama ini sangat ia hindari dan tak ingin menjawabnya.
"Hmmm ... mmmm ... itu, anu ..." gugup Diaz.
"Ya? Itu ... anu ... apa?" tanya balik Anya penasaran.
"Aku sama sekali belum kepikiran ke arah sana. Aku hanya ingin fokus ke kuliahku dan ingin melanjutkan S2 ke Jerman. Apa kamu ndak punya impian, Anya? Apa kamu hanya ingin mentok di S1?"
Anya langsung bergeming. Bukan penolakan gombalan atau rayuan gombalan yang ia terima, tapi seperti ia sedang berhadapan dengan seorang guru yang tengah memberikan mata pelajaran PPKn di depan kelas. Kesal, Anya langsung diam dan memainkan air dengan kakinya.
"Lho, An ... kok meneng (diam)? Apa aku salah ngucap, yo?" tanya Diaz langsung tak enak hati dan melihat ekspresi wajah Anya yang muram.
"Ah, en--enggak, ga papa, kok. Gue bae-bae aja. Btw, gue balik dulu ya ... udah mau magrib. Kagak bae perawan masih kluyuran mau magrib-magrib." Ucap Anya berdiri dari duduknya diselingi senyum kikuk. Kakinya segera diangkat dari sungai yang ada di dekat rumahnya dan langsung melangkah pergi meninggalkan Diaz.
"An!! Oy, An!!" panggil Diaz dengan kencang.
Anya menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya dan berpikir Diaz akan menahannya, sambil tersenyum gembira, Anya membalas panggilan Diaz, "Ya, ada apa?"
"Itu ... anu ... salam ya buat kakakmu, Danisa. Udah lama banget aku mau kenalan sama dia," senyum Diaz malu-malu kucing.
Deg!!!
Sontak senyum yang awalnya ditunjukkan oleh Anya, berubah menjadi ekspresi masam dan muram serta tatapan tajam yang ditujukan ke Diaz. Dengan nada dingin dan ketus, Anya berkata, "Loe 'kan punya mulut! Napa ga loe pake mulut loe buat ngomong ke dia sendiri!"
"Lho, kok kamu marah, tho? Wajar 'kan kalo aku mau kenalan dengan tetangga baruku. Apa itu salah?" tanya Diaz yang belum mengerti sama sekali dengan ekspresi yang ditunjukkan Anya.
"Ih, ni cowok! Dodol banget, sih! Apa gue kurang marah, ya!?" gumam Anya geram.
"Dahlah! Gue mau pulang, bentar lagi magrib!" Anya memalingkan tubuhnya dan meninggalkan pria jawa itu dengan wajah masamnya.
"Kok malah nesu (marah), tho? Memangnya aku salah, ya cuma mau kenalan aja?" Diaz hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan tak memusingkan perkataan tetangganya itu. Tak lama berselang, senja telah menunjukkan warna kemerahan yang indah di ufuk barat. Netra coklat itu memandang ciptaan Illahi dengan senyum manis dan wajah yang penuh harapan. "Seandainya kamu ada di sini, Diana ... kamu pasti akan senang melihat warna jingga saat sang baskara (matahari) mulai menampakkan redupnya." Diaz hanya menghela napas, menikmati semilir angin sore hari sambil menikmati kesendirian di tengah hamparan sawah nan hijau berteman lembayung baskara.
Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus