Home / Romansa / Perempuan Terlarang / Bab 4 Hujan Pembawa Kenangan

Share

Bab 4 Hujan Pembawa Kenangan

Author: athena_vivian
last update Last Updated: 2021-07-18 00:42:41

Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras.

"Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam mengajarnya karena kebasahan.

"Ali, coba kamu ambilkan handuk kecil di belakang ya," ucap pria itu ramah.

"Handuk kecil untuk apa, Tuan?" tanya pemuda yang bekerja di toko pakaian Khaidir Textile itu penasaran.

"Kamu kepo, ya Ali. Sudah, ambilkan saja. Cepat!" perintah sang majikan.

Tak lama, Ali datang dan membawa handuk kecil berwarna biru dengan bahan yang lembut dan nampak tebal. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan membuka pintu tokonya yang dipasang bel di atasnya sehingga membuat Danisa sedikit terkejut.

"Ah, ma--maaf. Saya hanya numpang berteduh sebentar, Pak." Ucap Danisa terkejut dengan seorang pria tinggi besar, berhidung mancung dan bibit merah sensual serta badan yang berisi.

"Tidak. Tak apa, Nona. Maafkan saya juga karena telah membuat Anda terkejut. Ini ..." pria itu memberikan handuk berwarna biru tadi pada Danisa.

"I--ini ... apa, Pak?" tanya Danisa kembali terkejut.

"Bukan apa-apa. Hanya sebagai penyerap air hujan yang mengenai Anda. Silakan," ucap pria tadi tersenyum dan langsung meninggalkan Danisa yang masih kebingungan.

"Anu, Pak ... maaf. Tapi nama Anda siapa, ya?" 

Tak ingin pamer dan identitasnya diketahui, sang majikan kemudian menggunakan nama palsu untuk membohongi Danisa.

"Ali. Namaku Ali, Nona." sahutnya.

"Oh, Pak eh Tuan Ali. Saya Danisa. Terima kasih atas handuknya. Akan saya kembalikan segera," balas Danisa seraya tersenyum.

"Take your time, Miss." pria itu kemudian masuk lagi ke dalam tokonya , duduk di kursi kebesarannya seraya melihat Danisa mengeringkan seragamnya yang basah karena air hujan.

"Cantik! Danisa, ya ...." Gumam pria itu terus saja melihat Danisa tanpa kedip.

Sekitar 1 jam sudah Danisa berteduh di depan butik itu. Seragamnya pun kini tak tampak basah, sudah hampir kering malah. Terima kasih pada pria baik hati yang telah memberinya handuk untuk menyeka air hujan di seragam yang esok akan dipakainya lagi. Tak lama kemudian, hujan pun reda. Danisa dan motor matic warna ungu kesayangannya itu pun segera meluncur di jalanan Malioboro yang sudah mulai padat lagi. Pelan-pelan dia mengendarai matic-nua seraya tengok kanan-kiri melihat apakah ada kain yang bisa dibeli untuk bahan membuat seragam sekolahnya.

Netra Danisa pun tertuju pada salah satu toko bahan pakaian dekat Hotel Garuda, salah satu hotel tertua dan paling ikonik di Jogja. "Kaya e itu ada toko bahan kain. Tak mampir sek, ah." Gumamnya kemudian Danisa memutar balik motornya dan mencari parkiran tak jauh di seberang toko bahan kain yang dimaksud.

Suara lonceng di atas pintu pun gemerincing sangat nyaring bunyinya. Toko yang saat itu sedang sepi memang tak terlalu luas, namun sangat nyaman dan sejuk karena blower yang dipasang dekat dengan pintu keluar masuk pembeli.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" seorang remaja kira-kira umur 18-an menghampiri Danisa yang tampak kebingungan memilih bahan kain.

"Oh, ini Dik--eh, Mbak. Saya mau cari kain untuk bahan pakaian seragam sekolah. Kira-kira yang cocok bahan kain apa ya?" tanya Danisa agak kikuk menghadapi sang penjaga toko.

"Mau yang panas atau yang adem, Mabk bahannya?" tanya penjaga toko itu lagi.

"Sing penak yo sing adem, tho Mbak (yang enak ya yang adem, tho Mbak)." Kelakar Danisa memecah kekakuan sang penjaga toko.

"Sebentar, Mbak. Saya carikan dulu bahan kain sesuai yang Mbak inginkan. Mbak tunggu dulu di sini." Penjaga toko itu lantas pergi ke gudang belakang untuk mencari kain sesuai keinginan Danisa. 

Suara bunyi getaran terdengar oleh Danisa di dalam tasnya. Buru-buru ia membuka zipper tasnya dan layar ponsel yang menyala menandakan ada panggilan masuk di ponselnya.

"Ibu?" gumam Danisa langsung menjaeab telepon sang bunda.

"Halo, assalammualaikum. Wonten nopo, Bu (ada apa, Bu?)?" 

[Ndhuk, kowe nang ndi? Yahmene rung bali. Wes surup (Nak, kamu di mana? Kok sudah magrib begini belum pulang?)]

"Danisa sedang di Malioboro, Bu. Sedang membeli sesuatu."

[Sesuatu opo? Cepet pulang! Udah mai magrib. Bapakmu sebentar lagi pulang. Tau sendiri 'kan bapakmu kalo sampe tahu perawan magrib-magrib ndak di rumah?]

"Astagfirullah ..."

[Astagfirullah? Astagfirullah ngopo, Ndhuk?]

"Danisa lupa, Bu. Ya wes, Danisa pulang sekarang juga. Assalammualaikum."

[Wa...ealah, bocah ki piye tho, dijawab malah dipateni hp-ne (anak ini gimana, sih. Orang dijawab malah dimatiin hp-nya)]

Danisa kemudian berjalan cepat mencari penjaga toko tersebut. Tak lama, penjaga toko tersebut datang dengan membawa gulungan kain berwarna biru yang akan ditunjukannya pada Danisa.

"Anu, Mbak. Maaf ... maaf banget. Saya ndak jadi liat-liat kainnya sekarang. Lain kali aja, ya. Maaf, lho Mbak." Ucap Danisa seraya menyatukan kedua telapak tangannya sebagai tanda permintaan maaf.

"Ndak apa-apa, Mbak," balas penjaga toko itu tersenyum.

Jam di tangan Danisa hampir menunjukkan pukul 6 sore, yang berarti waktu magrib sudah semakin dekat. Dengan perasaan was-was dan jantung yang berdegup kencang, Danisa mulai melajukan matic-nya dengan kencang bak pembalap moto GP. Dengan body Danisa yang boleh dikatakan slim serta motor matic-nya yang slim pula, dia dengan mudah menyelap-nyelip kendaraan yang ada di depannya. Sekitar 10 menit waktu yang ditempuh Danisa dari Malioboro hingga rumahnya. Dengan langkah layaknya the Flash, Danisa segera mengganti seragamnya dan membersihkan make up ringan yang menempel di wajahnya. Sang ibu sudah tengah duduk santai di ruang tamu menunggu kepulangan suami tercinta, sementara sang adik, Anyelir masih ada di kampusnya karena ada kuliah tambahan.

Selang beberapa menit dari kepulangan Danisa, sang kepala keluarga Baskoro Atmodjoyo tiba di rumah dengan mengenakan outfit kasual serta sandal laki-laki, pria yang telah berumur 50 tahun itu masih tampak gagah dan mempesona.

"Sudah pulang, Pak." Sang istri, Joyo Hanum Baskoro langsung berdiri menyambut, mencium tangan sang suami serta membawakan tas kerja kepala keluarga. Tak lupa, Danisa yang juga berada di sana bersama sang ibu turut menyambut kepulangan sang ayah dan mencium tangannya.

"Mana Anya?" tanya suara berat dengan logat jawa yang kental terdengar dari balik mulut Baskoro Atmodjoyo.

"Anya belum pulang, Pak. Dia maaih ada di kampusnya. Ada kuliah tambahan bilangnya." Jelas Hanum, sapaan wanita cantik nan anggun itu tersenyum manis.

"Hnnnn, begitu." Sahut Baskoro langsung duduk di sofa malasnya yang berwarna merah maroon.

"Danisa, tolong buatkan teh untuk bapakmu, ya Ndhuk." Pinta sang bunda memijat kaki Baskoro.

"Njeh, Bu (baik, Bu)." Balas Danisa langsung pergi ke arah dapur dan membuatkan teh hangat dengan perasan lemon di dalamnya.

"Anak-anak piye, Bu? Betah ndak di sini?" tanya Baskoro seraya memejamkan matanya di sofa malasnya.

"Betah, Pak. Malahan Anya sudah punya teman baru di sini."

"Oh, ya? Bagus kalau begitu. Berarti Bapak ndak sia-sia menutup perusahaan di Jakarta dan pindah ke sini, ya Bu." Baskoro membuka matanya dan tertawa lebar.

"Niki, Pak. Teh lemon kesukaan Bapak." Danisa meletakkan secangkir teh hangat di meja beserta camilan kue lapis legit kesukaan sang ayah.

"Hah, ini yang selalu Bapak nantikan setiap pulang ke rumah." Baskoro langsung menyeruput teh lemon buatan Danisa dan merasakan sensasi kenikmatan di lidahnya seraya memejamkan matanya.

"Seperti biasa, teh buatanmu nomor wahid, Dan." Puji sang ayah memberikan sebuah tanda jempol oada Danisa.

"Maturnuwun, Bapak," balas Danisa sambil tersenyum.

Ddrrtt ... ddrrtt ... ddrrtt

Bunyi getaran ponsel Danisa yang ia letakkan di atas lemari ruang tamu sempat tak digubris oleh Danisa karena dia bukanlah tipe wanita yang mau mengangkat telepon atau membalas pesan dari orang yang tak dikenal. Cukup lama Danisa mendiamkan ponselnya yang terus bergetar hingga membuat Baskoro sedikit terusik dengan bunyi getarannya.

"Danisa, kenapa ponselmu tak kamu angkat? Bapak ga tenang denger ponselmu nyanyi terus," ucap sang ayah seakan menyindir.

"Maaf, Pak." Danisa segera berdiri dan mengambil ponselnya. "Anya?" batin Danisa meminta izin menerima panggilan telepon.

"Hallo, An. Ada apa?"

[Kemana aja, sih Kak. Aku telponin dari tadi ga diangkat!]

"Maaf, Bapak udah pulang dan Kakak lagi buatin teh lemon kesukaan beliau."

[...]

"Hallo ... hallo, An ... An ..."

[Ya, aku masih di sini, Kak. Apa Kakak bisa menjemputku?]

"Lho, memangnya kenapa motormu?"

[Kebanan (bocor)]

Danisa bergeming, menatap sang ayah yang sedang mengobrol bersama sang bunda.

[Hallo! Bisa ga, Kak?]

"Kakak coba ya ..."

Tak lama setelah itu, Danisa menutup teleponnya dan menghampiri kedua orang tuanya.

"Siapa, Dan?" tanya Ibu penasaran.

"Anya, Bu, Pak."

"Anya? Kenapa dia?"

"Anya minta tolong Danisa ke kampusnya, motornya kebanan (kempes)," jelas Danisa netra coklat itu menatap  kedua orang tuanya.

"Ya sudah, sana ... sana ... jemput adikmu. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama," ucap Baskoro yang tampak khawatir dengan putri bungsunya itu.

Related chapters

  • Perempuan Terlarang   Bab 5 Pemuda Malu-malu Kucing

    Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]

    Last Updated : 2021-07-18
  • Perempuan Terlarang   Bab 6 Cemburu!

    Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist

    Last Updated : 2021-07-18
  • Perempuan Terlarang   Bab 7 Masa Lalu Danisa - 1

    Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang

    Last Updated : 2021-08-04
  • Perempuan Terlarang   Bab 8 Masa Lalu Danisa - 2

    'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri

    Last Updated : 2021-08-05
  • Perempuan Terlarang   Bab 9 Hati yang Terkoyak

    Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l

    Last Updated : 2021-08-05
  • Perempuan Terlarang   Bab 1 Prolog

    "Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus

    Last Updated : 2021-07-17
  • Perempuan Terlarang   Bab 2 Pemuda Kampung

    "Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan

    Last Updated : 2021-07-18
  • Perempuan Terlarang   Bab 3 Keluarga Baskoro Atmodjoyo

    Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

    Last Updated : 2021-07-18

Latest chapter

  • Perempuan Terlarang   Bab 9 Hati yang Terkoyak

    Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l

  • Perempuan Terlarang   Bab 8 Masa Lalu Danisa - 2

    'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri

  • Perempuan Terlarang   Bab 7 Masa Lalu Danisa - 1

    Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang

  • Perempuan Terlarang   Bab 6 Cemburu!

    Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist

  • Perempuan Terlarang   Bab 5 Pemuda Malu-malu Kucing

    Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]

  • Perempuan Terlarang   Bab 4 Hujan Pembawa Kenangan

    Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng

  • Perempuan Terlarang   Bab 3 Keluarga Baskoro Atmodjoyo

    Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

  • Perempuan Terlarang   Bab 2 Pemuda Kampung

    "Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan

  • Perempuan Terlarang   Bab 1 Prolog

    "Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus

DMCA.com Protection Status