Kediaman Baskoro Atmodjoyo
Brukk!!
Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya.
"Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya.
"Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?"
"Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia istirahat. Terus, di mana motor Anya, Dan?" tanya Ibu penasaran.
"Di kampus, Bu." sahut Danisa seraya membereskan meja makan.
"Kampus? Waduh, apa ndak apa-apa kui, Dan? Ibu takut kalau ..."
"Ndak, Bu. Ndak apa. Kampus Anya aman, kok. Jangan khawatir. Besok pagi baru dibawa ke bengkel motornya." Tambah Danisa membawa piring-piring kotor ke dapur.
****
Kediaman Keluarga Khaidir
"Kamu ga makan malam, Farid?" suara seorang wanita cantik, berambut agak pirang dengan hidung mancung, kulit putih dan netra besar berkontak lens biru laut menghampiri Farid, pemuda tampan nan mempesona serta.bertubuh kekar yang sedang asyik mendengarkan musik melalui ponsel di kamarnya.
"Farid ... Farid ... Farid ...," beberapa kali suara wanita berpostur jangkung itu mengetuk pintu kamar jati warna coklat gelap.
Hening, tak ada jawaban.
"Hah, pasti volume musiknya lebih tinggi dari suaraku!" sedikit kesal wanita yang bernama Fatimah Khaidir itu bergumam.
Klik
Fatimah, sang ibunda Farid kemudian membuka pintu kamar sang anak dan melihat putranya tampak tertidur pulas sambil tersenyum-senyum.
"Kenapa dengan Farid? Kok tidur sambil tersenyum?" pikir Fatimah mematikan ponselnya yang masih menyala dan mengelus rambut sang putra dengan lembut.
"Tidurlah, Sayang Mama. Sleep well nice dream." Kecup Mama di kening sang putra.
Fatimah Khaidir, janda Malik Khaidir, seorang wanita pimpinan yayasan salah satu sekolah menengah atas ternama di kota pelajar itu dan juga ibunda Farid Khaidir, pengusaha dan pebisnis serta pemilik Khaidir Textile, perusahaan keluarga rintisan sang ayah yang telah lama meninggal. Tinggal dan hidup di keluarga dengan budaya Timur Tengah yang kental membuat Khaidir menjadi pria Timur Tengah incaran wanita Jawa. Paras dan postur tubuh yang mumpuni serta wajah oval, hidung mancung dengan kumis yang menyelimuti pipi serta rahang kuatnya, membuat Farid menjadi pria yang seksi dan memikat bagi para wanita. Namun walaupun begitu, tak semudah bagi Farid untuk mencari pendamping hidup. Di usianya yang akan mencapai kepala 3, ia masih kesulitan mencari jodoh yang sesuai dengan inginnya karena terbentur budaya, adat, tapi utama lebih kepada keinginan sang mama yang sangat perfeksionis.
"Eta, nanti kalau Tuan Khaidir sudah bangun, suruh dia makan malam, ya. Atau bawakan dia susu hangat." perintah Fatimah pada salah satu asisten rumah tangganya.
"Baik, Madam. Akan saya laksanakan." balas asisten rumah tangga mereka.
"Saya ada rapat dengan beberapa anggota dewan sekolah malam ini. Nanti kamu sampaikan pada tuan muda, ya." Ucap Fatimah segera meninggalkan kediaman mewahnya dan masuk ke dalam mobil Pajero hitam miliknya.
Ternyata dari dalam kamar, Farid tak benar-benar tidur. Netranya terbuka lebar ketika sang ibunda telah pergi keluar. Dengan langkah gontai, Farid keluar dari dalam kamarnya dan melihat banyak masakan yang tersaji di meja makan. Sang asisten rumah tangga yang melihat Farid dari balik dapur segera menghampiri sang majikan dan berkata, "Ndoro Muda (Tuan Muda), Madam berpesan pada saya jika Tuan Muda sudah bangun harus makan malam," ucapnya sambil mengangkat jempol tangan kanannya sebagai bentuk kesopanan.
Farid hanya menyipitkan tajam ke meja makan itu dan melangkahkan kaki ke pintu utama rumahnya.
"Lho, Ndoro ... ndak makan malam dulu? Mau ke mana?" tanya Eta segera menghadang Farid yang ingin membuka pintu.
"Bukan urusanmu! Minggir!" sahutnya ketus.
"Tapi, Ndoro ... Madam ... Madam ..."
"Yang menyuruh makan malam 'kan Madam ... kenapa bukan dia saja yang makan malam!?" Farid langsung keluar dari rumahnya dan menyalakan mobil Fer*ri silver miliknya.
"Waduh, piye tho iki! Bisa nyap-nyap nanti Madam." Tepuk jidat sang asisten rumah tangga itu.
Farid yang merupakan satu-satunya anak dari Fatimah dan Malik Khaidir itu memang hidup bak sultan. Bagaimana tidak, sebagai pewaris dan penerus Khaidir Grup, perusahaan tekstil terbesar dan terkenal di kota pelajar itu dia harus bersinggungan dan bertemu dengan banyak kolega mendiang sang ayah selain mengurusi beberapa butik dan toko miliknya. Tak heran, dengan gaya hidup yang sangat sultan membuat para wanita berlomba-lomba ingin menjadi kekasihnya. Namun, karena Khaidir adalah seseorang yang tak bisa ditebak sikap serta sifatnya, tak banyak wanita yang mampu bertahan dengannya. Selain karena campur tangan sang mama.
****
Kediaman Baskoro Atmodjoyo
Anya yang masih kesal dan ... cemburu memilih untuk tetap tinggal di kamarnya dan mendengarkan musik aliran hardcore kesukaannya. Tanpa mengindahkan dan menghiraukan waktu yang telah menunjukkan pukul 8 malam, Anya tetap menyalakan pemutar disc-nya keras-keras. Hal ini membuat Baskoro, sang ayah sedikit kesal dan menggedor pintu putri bungusnya itu dengan keras.
"Anya! Anya! Matikan musiknya! Jam berapa sekarang!" teriak sang Ayah dari luar pintu kamarnya.
Namun, Anya seakan tak mempedulikan ucapan sang ayah yang terkenal galak dan malah menambah volume musiknya.
"Anyaaaa!!!!" teriak Baskoro kali ini dan sontak membuat Danisa serta sang ibu bergegas keluar kamar dan menghampiri sang ayah.
"Ono opo tho, Pak e (ada apa, Pak)?" tanya Ibu dengan lembut, menenangkan sang suami yang sedang emosi.
"Tuh, anak wedhok! Mbengi-mbengi nyetel musik kencenge poll! Ndarani koyo Jakarta, po! (Tuh, lihat anak perempuan! Nyetel musik kencenngnya banget! Disangkanya kaya Jakarta apa!)."
Danisa dan ibu saling menatap, "Bapak dan Ibu sekarang istirahat saja dulu, biar Danisa yang bicara sama Anya, ya." Danisa berusaha menenangkan keadaan dan utama menenangkan sang ayah yang sudah terlanjur sangat emosi.
"Ayo, Pak. Bapak istirahat, pasti Bapak lelah 'kan seharian ini bekerja." Ibu mengajak sang suami kembali ke kamarnya. Dan kini, tinggal Danisa yang berdiri di depan kamar sang adik yang tomboy .
Sambil menarik napas dalam-dalam, Danisa mengetuk pintu kamar sang adik dengan pelan.
"An ... An ... ini Kakak. Bapak sama Ibu sudah kembali ke kamar. Apa Kakak boleh masuk?" tanya Danisa sambil mengetuk pintu kamar Anya.
Dua kali, tiga kali, sang adik tetap tak ada jawaban dan tak membuka pintu. Akhirnya Danisa mencoba untuk membuka gagang pintu coklat itu dan ...
"Anyelir Baskoro! Apa kamu ga dengar Kakak panggil berapa kali dari balik pintumu?" Danisa masuk ke kamar Anya yang ternyata tak dikunci.
Anya hanya menatap sang kakak datar namun tajam.
"Kamu kenapa, An? Kenapa melihat Kakak seperti itu?" Danisa mulai tak nyaman dengan tatapan Anya.
"Aku ingin tanya, berapa kali Kakak pacaran?"
"P--pacaran?" Danisa tampak terkejut.
"Iya, pacaran. Sudah berapa kali? Seingatku, Kakak belum pernah pacaran, iya 'kan? Oh, aku ingat. Dendi ... Dendi ... ah, Dendi Suryaatmadja. Bagaimana kabar teman baik Kakak itu?" seringai Anya.
Danisa langsung bergeming, terkejut dan menatap sang adik datar. "Kenapa ... kenapa tiba-tiba kau tanya tentang Dendi, Anya?"
"Apa tidak boleh? Aku hanya penasaran saja. Kenapa Dendi tak datang ke pesta perpisahan sewaktu kita akan pindah ke sini. Apa sebenarnya yang terjadi?" Anya menyipitkan matanya.
Danisa tak memandang Anya dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain, sambil berkata, "Sudah malam. Sebaiknya segera kau matikan musikmu. Tak enak dengan tetangga. Selamat malam, Anya." Danisa segera keluar dari kamar Anya.
"Hahahha, melihat reaksi Danisa, pasti ada sesuatu yang terjadi antara Dendi dan dirinya," gumam Anya menyipitkan tajam matanya menatap pintu kamarnya sambil menyeringai.
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus
"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan
Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Danisa tak sengaja mendengar ucapan sarkasme sang ayah mengenai Dendi. Ingin sekali batinnya menyeruak dan mulutnya teriak kencang, tapi tak bisa. Danisa adalah seorang wanita yang terlalu penurut kedua orangtuanya. Tak seperti sang adik, Anyelir Putri Baskoro yang tomboy, bebas dan urakan. Danisa adalah kura-kura dalam tempurung yang selalu menyembunyikan segala sesuatu dari semua orang. Bahkan hubungannya yang telah berjalan cukup lama dengan Dendi pun, disembunyikannya dari kedua orangtuanya. Dan kini, setelah kepergian dan ketiadaan kabar sang kekasih, Danisa benar-benar kehilangan sandaran dan seakan dinding kokoh yang selama ini dibangunnya runtuh dalam sekejap. Ucapan sang ayah tentu saja menyakiti hatinya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tak ada selain menangis! Itulah yang ia lakukan tiap malam hingga membuat kedua matanya bengkak dan sembab. Maksud hati ingin menahan suara isak, namun justru sang ibu mendengarnya ketika berjalan melewati kamar Danisa. Sang ibu pun l
'Ternyata namanya Dendi. Aku harus cari tahu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia.' **** Kediaman Suryaatmadja "Tuan sudah pulang, saya sudah siapkan makan malam untuk Tuan." Ucap seorang pria paruh baya memakai seragam butler berdiri dan menundukkan setengah badannya di hadapan Dendi. "Nanti saja, Paman Jhon. Aku sedang tak lapar." Sahut Dendi segera masuk ke ruang kerjanya. Dendi Suryaatmadja, pria berusia 33 tahun, mapan, tampan, pengusaha serta CEO sebuah perusahaan ekspor-impor, D&S yang telah berskala internasional. Pujaan para kaum hawa dan seringkali menjadi model dadakan untuk mempromosikan perusahaannya. Tak ada yang tak mengetahui latar belakang keluarga Suryaatmadja, keluarga super kaya dan berkuasa serta memiliki pengaruh besar tak hanya di bisnis, namun juga di pemerintahan. Lahir dari keluarga yang begitu fantastis tak langsung membuat Dendi serta merta menjadi sosok yang angkuh dan dingin. Sebaliknya, dia adalah pri
Jakarta, 3 tahun yang lalu. Seorang wanita sedang duduk sendiri di bangku berwarna putih di sebuah taman berbunga. Wanita yang mengenakan gaun potongan A-line warna putih dengan rambut hitam sebahu tergerai itu tampak sedang memegang boneka teddy bear warna coklat yang ia pakaikan jas pengantin warna biru gelap. Sambil tersenyum, wanita cantik nan anggun itu membelai dengan lembut sang teddy bear dan berkata, "Jika sang waktu memang mengizinkan kau dan aku bersatu, maka aku pasti akan menjadi mempelai wanita yang paling bahagia di seluruh penjuru dunia. Dan hingga saat itu tiba, aku akan selalu berada di sisimu, menjadi dinding sandaran bagimu dan menjadi alas sebagai penghilang lelahmu." "Benarkah begitu? Apa kau akan menjadi dinding dan alasku bagiku jika aku merasa lelah dan letih?" Suara bariton berat dan dalam terdengar dari arah belakang sang wanita. Rasa dag dig dug seketika menggelayut di hatinya. Jantung berdebar dan gugup langsung menerpa sikap sang
Kediaman Baskoro Atmodjoyo Brukk!! Anya langsung merebahakan tubuhnya begitu sampai di kamarnya. Ekspresi kekesalan pun masih tampak di wajahnya. Sambil membenamkan kepalanya di bantal dan mengepalkan tangannya kencang, ia kemudian bergumam, "Kenapa Danisa selalu bisa menarik perhatian daripada aku? Padahal dari fisik aku ak jauh beda dengannya! Dari kepintaran, aku lebih pintar dari Danisa ... tapi kenapa? Kenapa semua laki-laki seakan bertekuk lutut jika sudah bertemu dengannya?" Anya teriak di antara benaman bantalnya. "Adikmu ga makan apa, Dan?" tanya sang Ibu melihat Anya langsung masuk ke kamarnya. "Ndak tahu, Bu. Mungkin dia sudah lelah atau mau Danisa panggil Anya untuk makan?" "Ndak ... ndak usah. Yo wes kalo adikmu sudah lelah. Biarkan dia ist
Universitas Bulak Sumur, YogyakartaDentingan jam di tangan Anya menunjukkan pukul 7 malam. Masih ramai, sih jalanan depan kampusnya yang berada di Bulak Sumur itu. Namun, suasana sepi dan suasana kampus yang mulai sepi membuat Anya bergidik merinding. "Duh, kemana sih tu orang!? Lama amat, ga tau apa gue udah capek dan ... hiiiyyyy." Anya melihat sekeliling kampus yang mulai sepi dari mahasiswa.Anya yang menyelorohkan matanya ke kiri dan kanan, terkejut ketika ponselnya berdering dan bergetar di kantong jeans-nya. Secepat kilat, Anya merogoh kantongnya dan mengambil ponsel miliknya."Hah, baru diomong, dia telepon," ucap Anya mengangkat telepon dari sang kakak, Raquela Danisa Baskoro."Di mana? Aku udah nunggu sejam di sini!"[Iya, maaf. Tadi nyiapin teh buat ayah dulu. Beliau udah pulang kerja.]
Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras."Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam meng
Bang!!! Sebuah bantingan pintu yang cukup keras terdengar hingga ke seluruh rumah bernuansa joglo di perumahan elit kabupaten Bantul. Rumah dengan warna khas joglo, yaitu coklat gelap namun dengan gaya dan sentuhan modern milik keluarga Baskoro Atmodjoyo tersebut adalah satu-satunya bangunan joglo terbesar di perumahan elit kota pelajar itu. Bunyi bantingan dari pintu kayu jati berukir khas Jawa itu membuat salah satu penghuni rumah joglo itu, Raquela Danisa Baskoro atau yang biasa disapa Danisa terkejut dan segera mendatangi asal muasal sumber suara. Wanita cantik berusia 28 tahun itu segera mengetahui asal suara bantingan kencang itu berasal dari kamar sang adik, Anyelir Putri Baskoro dan segera mengetuk pintu adik tercintanya itu. "Anya ... Anya ... ini Kakak. Kamu kenapa?" tanya dengan lembut Danisa sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ....""Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan dusun tempatnya tinggal."Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum."Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra."Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya."Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yan
"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!" Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga. "Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya. "Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus