Ada jemari yang mencoba menggantikan tanganku yang sedang bekerja melepaskan pengait bra. Dan tubuhku tersentak begitu kudapati ternyata mas Suryo pelakunya. Pria itu entah sejak kapan ikut masuk kedalam kamar mandi, tau tau sudah berdiri tepat di belakangku. Tubuhnya bahkan tak terbalut apapaun, celana yang semula dipakainya telah tanggal dan terlihat sudah teronggok di keranjang pakaian kotor. Ternyata dari tadi aku melamun. “Mas ngapain?” tanyaku saat kurasakan tangannya mulai memelorotkan tali bra dari pundak. Aku langsung menahan cup bagian depan yang menggantung longgar agar tetap melindungi dadaku dari sepasang mata sang suami yang membakar. “Mau ikut, seharian belum mandi.” Satu kecupan mendarat di bahu bersamaan dengan lengannya yang melingkari perut. Aku langsung menggeliat karena merasakan tubuhnya menempel dengan sempurna di belakangku. Strukstur otonya yang padat menggesek punggungku, menyalurkan kehangatan yang perlahan berubah menjadi panas. “Kan bisa gantian, Ma
Melepaskan pagutan dari bibirnya aku menatap mas Suryo dengan tekad bulat untuk membuka rahasia yang telah beberapa hari ini kupendam sendirian. Aku mencoba mengeluarkan segenap keberanian yang kupunya meski sebenarnya tak seberapa. Tentu saja ketakutan akan bagaimana akhirnya masih menghantuiku. Namun melihatnya yang terus menyalahkan diri sendiri itu lebih menyakitkan bagiku. “Sebenarnya … a-aku—aku hampir diperkosa,” Meski mengucapkannya dengan mantap namun aku bisa merasakan bahwa tanganku yang berada di pipinya gemetaran. Saat aku mencoba menarik lenganku untuk kusembunyan di atas pangkuan mas Suryo lebih dahulu meraihnya. Jemariku yang terkepal erat ia buka dengan perlahan sebelum ia genggam dengan lembut. “Siapa?” tanyanya sembari membawa punggung tanganku menuju bibirnya untuk diberi kecupan yang lama dan dalam. Menghilangkan rasa gigilku oleh kehangatan sentuhannya. ”Siapa yang berani melakukan itu?” Aku menangis dengan kencang. Menghambur ke dalam pelukannya dan menyemb
Aku sadar bahwa jika hanya saling memakan bibir seperti ini bukanlah sentuhan yang membuatku takut. Aku masih bisa menikmati dan membalasnya meski tak begitu bisa mengimbangi kelihaian mas Suryo dalam mencium. Tentu saja pria berpengalaman sepertinya memiliki tinggi level yang berbeda denganku yang bahkan baru kali ini menjalin hubungan sampai sejauh ini. Pria ini adalah orang pertama yang benar benar aku cintai dan membiarkan menyentuhku dengn bibirnya sampai aku terbuai seperti ini. Pria pertama yang mendapatkan kecupan pertamaku, pria pertama yang memperoleh pelukanku seerat ini, pria pertama yang menguasai semua bagian otakku hingga hanya ada namanya yang terukir indah di sana. Dia benar benar pertama dan aku berharap selalu menjadi yang pertama. Cukup lama kami saling mencium satu sama lain sebelum tiba tiba pria itu bangkit untuk duduk. Aku terhenyak saat kedua tangannya dengan mudahnya mengangkat tubuhku untuk dibawa ke atas pangkuannya. Tanpa sadar aku melepaskan tautan bib
Mas Suryo sudah pergi sejak sejam yang lalu. Dan aku masih diliputi kebahagiaan yang membuncah di dalam dada jika mengingat apa yang sudah kami lakukan tadi. Kenyataan bahwa aku tak ketakutan, bahwa kenangan buruk itu sama sekali tak melintas di pikiranku, bahwa sekarang aku baik baik saja dengan sentuhan yang mas Suryo berikan. Sungguh itu semua membuat aku sangat bahagia. Oh tuhan, betapa bersyukurnya aku. Tinggal selangkah lagi dan kami bisa menyempurnakan pernikahan kami. Mengingat itu membuatku terus berdebar debar. Bibirku pun menjadi sulit sekali kucegah agar tak tersenyum. Untung saja di dalam kamar ini aku sendirian, jika ada yang melihat kondisiku sekarang mungkin aku akan dikira sudah gila. Mas Suryo bilang selesai dari melayat nenek Adrian yang meninggal tadi sore itu ia akan langsung pulang kemari. Ia juga berpesan padaku agar tak usah menunggunya karena mungkin ia akan lama. Kabarnya nenek dari koh Ari itu akan langsung dimakamkan pada malam ini juga. Jadi bisa dipasti
Jembatan panjang ini terlihat lengang. Mungkin karena sudah dini hari jadi taka da kendaraan yang lewat. Hanya satu dua itu pun meluncur dengan kecepatan tinggi seperti sedang balapan, sebuah kesempatan langka berkendara di jalanan aspal yang sepi, sangat berbeda di siang hari yang tentu saja akan penuh dan ramai. Makanya beberapa orang memilih untuk menikmati keadaan itu dengan menancap gas dalam dalam agar cepat sampai di tujuan. Sesudah satu kendaraan itu lewat tak ada lagi suara kecuali jangkrik dan hewan malam lainnya yang menemaniku. Jika di waktu normal, biasanya aku pasti sudah ketakutan karena sendirian di tempat sepi. Tapi malam ini berbeda. Tentu saja sangat berbeda karena yang aku rasakan sekarang hanyalah kekosongan. Kekosongan yang hampir membuatku gila karena sebenarnya pikiranku penuh dan serasa mau pecah. Angin berhembus dengan kencang membuat rambut dan pakaian tipis—yang sudah kusut, kotor dan sangat berantakan—berkibar kibar seperti bendera di tiang besi depan
Tapi bagaimana ini? Bagaimana jika akhirnya Adrian tau siapa aku sebenarnya. Bahwa aku tidaklah sebaik yang ia kira selama ini. Bahwa aku hanyalah wanita yang dengan kesadaran penuhnya menjadikan diriku sendiri sebagai selingkuhan. Aku membiarkan diriku sendiri menjalani sebuah kisah asmara terlarang dengan menjadi kekasih gelap lelaki yang sudah beristri. Aku pelakor. Aku perusak rumah tangga orang lain. Aku pendosa. Aku orang jahat. Aku wanita tak bermoral. Aku manusia paling hina! Ya tuhan, bagaimana jika kebenaran terungkap dan satu satunya orang yang mau memberiku pelukan akhirnya berballik meludahiku? Bagaimana jika ia nanti tau semua perbuatanku ini, ia kemudian masuk kedalam deretan orang orang yang membenciku? Bagaimana jika akhirnya orang yang aku harap bisa mengulurkan tangannya untuk menolongku malah berbalik dan mendorongku ke dalam jurang? Harus bagaimana lagi aku akan menjalani hidup jika semua itu terjadi? Aku sudah hancur sekarang dan aku tak mau menjadi bertamb
Menyapu pandangan pada seisi kamar, aku baru menyadari bahwa Adrian tak berada di sini. Aku hampir beranjak untuk bangkit dari ranjang ketika tiba tiba pintu terbuka dan pemuda yang kucari datang memasuki kamar. Kedua tangannya menenteng beberapa kantong yang tak aku tau isinya apa. “Dari mana?” tanyaku saat ia datang mendekat. “Keluar beli sarapan. Mbak udah lama bangun?” “Baru saja.” Cowok itu tersenyum dan duduk di atas kasur tepat di depanku yang memilih bersandar pada kepala ranjang. Aku hanya diam saja saat matanya menyusuri tiap bagian wajahku dengan tatapanya yang sedih. Saat tangannya terkepal dengan erat aku langsung meraihnya dan menggenggamnya lembut agar amarahnya yang mulai timbul bisa mereda. “Aku enggak apa apa, Dri.” “Enggak apa apa gimana? Pada luka begini …” Aku tersenyum sembari menggeleng saat kedua matanya berkaca kaca. Sekarang Adrian terlihat seperti anak kecil yang menahan tangis karena melihat ibunya sakit. “Aku pantas mendapatkan ini semua.” Kami
“Jadi semua ini ulah Melinda?” Aku mengangguk dan mencoba tak memperdulikan Adrian yang menyebut nama orang yang lebih tua tanpa embel embel yang lebih sopan. Aku malah menundukan kepala dan meremas selimut kuat kuat ketika mengingat bagaimana teganya mbak Melinda memperlakukanku semalam. Begitu tak manusiawi, penuh dengan kekejaman. “Terus si Suryo ke mana waktu Mbak dipikulin sampai kayak gini? Minggat kemana itu orang?!” suaranya terdengar begitu berapi api. Aku tau Adrian sangat marah sekarang. Dan entah mengapa kemarahannya ini membuat hatiku lagi lagi tersentuh. “Enggak tau.” “Apa?” “Dia datang sebentar terus pergi bawa mbak Melinda.” Adrian menatapku tak percaya, “Cowok macam apa itu?! Harusnya yang ditolongin lebih dulu itu mbak sebagai korbannya. Bukan malah istrinya yang bar bar itu.” Aku juga berharap seperti itu. Saat ia tiba tiba datang semalam, aku ingin ia menolongku, melindungiku. Memelukku dengan erat dan membelaku di depan semua orang. Bukannya malah pergi d
" Belum tidur, Yang?" Aku mengalihkan mataku dari pemandangan gelapnya malam dibalik jendela kaca ketika kudengar mas suryo memasuki kamar. Pria tampan itu kini terlihat lusuh. Kemeja yang ia kenakan dari siang masih ia pakai padajal sudah lecek dan kusut. Sinar wajahnya begitu lelah. Sepertinya obrolan panjang duamiku bersama ayah dan beberapa orang penting di kelurahan cukup alot dan banyak memguras energinya. Ia yang biasanya penuh dengan semangat pun kini hanya bisa terduduk diranjang dengan lesu. "Maaf ya, mas. Aku nggak bisa bantuin apa-apa." Aku mendekatinya dan duduk berhadaoan. "Aku cuma bisa bikin kekacauan." "Sst, sudah beraoa aku bilang sih sayang, ini semua bukan salah kamu." Ia berucap lembut sembari merengkuhku dalam oelukan. "Kamu jangan mikir yang macam-macam. Mas bakalan jagain kamu, nggak bakalan bikin kamu kenapa kenapa. Semuanya bakal mas beresin seceoatnya. " Aku mengangguk, makin merangsek dalam pelukannya yang hangat. "Aku percaya kamu, mas." "Kita bisa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su
Tak mendapatkan respon positif seperti yang aku bayangkan sebelumnya--bahwa Mas Suryo akan senang melihatku berpakaian minim--aku yang cukup kecewa akhirnya hanya bisa menunduk setelah mencelupkan diri pada air kolam. Kepulan uap hangat terangkat ke udara, menciptakan kabut tipis di antara udara pegunungan yang dingin. Aku duduk di samping suamiku yang terus terdiam. Di antara kami ada jarak, tak terlalu lebar memang, namun tetap saja aku merasa sedih karena Mas Suryo benar-benar tak menanggapi dengan antusias usahaku untuk menyenangkannya. Apa sekarang ia berpikir aku norak? Apa kain kurang bahan yang kupakai ini sangat jelek sehingga dia bahkan tak berniat melirikku? Apa aku terlihat murahan? Tapi dia suamiku. Bukankah hal yang wajar memakai pakaian seksi di depan suami? Apakah sebenarnya ia tak suka jika pasangannya berlaku agresif seperti ini? Apa aku sudah berlebihan? "Mas? " Aku memanggil dengan lirih. Menautkan jemari dan meliriknya yang sekarang seolah menjelma jadi patu
Aku menatap takjub sekelilingku yang menampilkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini aku bisa melihat rumah-rumah di bawah sana terlihat begitu kecil. Di bawah payung lebay yang menaungi kami dari terik matahari, aku dan Mas Suryo rehat sejenak setelah menempuh perjalanan panjang. Ia bilang penginapan yang kami tuju masih setengah jam lagi sampai. Karena hari sudah siang dan kami merasa lapar, kami pun akhirnya mampir dan memesan satu set nasi rames di warung pinggir jalan. Jalanan cukup ramai karena ini memang sedang masanya libur panjang. Banyak orang dari berbagai kota yang datang ke daerah pegunungan ini untuk melepas penat. Pemandangan serba hijau ini tentunya sangat tepat untuk dijadikan penyegar mata. Menyeruput teh hangat, aku menyendok menu makan siangku dengan riang. Di hadapanku Mas Suryo sedang mengunyah setusuk sate kambing, nasi ramesnya sudah lebih dulu ia habiskan sejak tadi. Seperti biasa, perutnya yang seperti karet itu tak akan kenyang sebelum dijejali seti
Aku menggeliat kecil dan membuka mata. Meraba bawah bantal dan menemukan ponsekku berada. Sudah hampir pukul setengah lima pagi. Menoleh ke samping, aku menemukan Mas Suryo yang masih terlelap. Ia tidur dalam posisi tengkurap hingga punggungnya yang lebar dan polos terpampang nyata pada dunia. Mengguncang bahunya beberapa kali, aku kemudian berbisik lirih di dekat telinganya. "Mas, bangun. Udah mau subuh. Mandi yuk. "Pria itu hanya menggeliat. Matanya enggan terbuka. Aku terkekeh kecil dan dengan sabar memberikan beberapa kecupan di pipinya. "Mas... Ayo bangun.""Ngantuk, Yang.... Hngggg. " Kini pria itu bergerak telentang. Aku menunggu hingga akhirnya matanya perlahan terbuka sebelum beringsut dan memberinya satu kecupan lagi tepat di rahangnya yang tegas. "Yuk, mandi sekarang. Mumpung masih sepi. "Ia menolehkan kepala padaku sebentar sebelum mengangguk. Tapi sebelum benar-benar bangkit, tangannya lebih dulu terulur meraih pinggangku mendekat hingga tubuh kami yang masih polos d
"Mas? " Bagaimana bisa suamiku ada di sini sekarang? Apakah ia tahu bahwa aku pergi dan langsung menyusul kesini? "Yang! " serunya sembari mencopot helm dengan tergesa. "Kamu kenapa ninggalin aku?! " Aku tak tau mengapa ia kesal karena seharusnya aku lebih kesal sekarang. Memang siapa yang tak akan kesal jika disuruh membiarkan suaminya menginap dengan wanita lain? Meskipun Mbak Melinda masih berstatus istrinya tapi tetap saja aku sakit hati. Apalagi setelah itu aku juga diusir begitu saja tanpa perasaan. Hewan pun juga bakalan menangis jika diperlakukan dengan begitu tega! Apalagi manusia biasa sepertiku? "Kenapa? Bukannya ibumu menyuruh Mas buat nginep sama Mbak Melinda? " Aku menatapnya memicing. Aku tau Mas Suryo tidak salah karena ia tak tau dengan rencana ibu mertua, tapi entah mengapa aku ingin melampiaskan kekesalanku padanya. "Kenapa Mas malah nyusul kesini? Sana tidur sama menantu kesayangan ibumu itu. Dia pingin kalian rujuk kan! " "Kok kamu marah-marah sih, Yang?