Jembatan panjang ini terlihat lengang. Mungkin karena sudah dini hari jadi taka da kendaraan yang lewat. Hanya satu dua itu pun meluncur dengan kecepatan tinggi seperti sedang balapan, sebuah kesempatan langka berkendara di jalanan aspal yang sepi, sangat berbeda di siang hari yang tentu saja akan penuh dan ramai. Makanya beberapa orang memilih untuk menikmati keadaan itu dengan menancap gas dalam dalam agar cepat sampai di tujuan. Sesudah satu kendaraan itu lewat tak ada lagi suara kecuali jangkrik dan hewan malam lainnya yang menemaniku. Jika di waktu normal, biasanya aku pasti sudah ketakutan karena sendirian di tempat sepi. Tapi malam ini berbeda. Tentu saja sangat berbeda karena yang aku rasakan sekarang hanyalah kekosongan. Kekosongan yang hampir membuatku gila karena sebenarnya pikiranku penuh dan serasa mau pecah. Angin berhembus dengan kencang membuat rambut dan pakaian tipis—yang sudah kusut, kotor dan sangat berantakan—berkibar kibar seperti bendera di tiang besi depan
Jam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu.Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri.Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah.
Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya. Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras. “Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayu
Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut
Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat
Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yaki
Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend
Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da