Seperti yang adrian katakan tadi siang, sore ini ia akan membawaku ke rumahnya. Aku sudah beberapa kali beusaha menolaknya karena ddemi tuhan, aku sangat tak enak dengan koh Ari ataupun keluarganya yang lain. Mereka sedang dalam keadaan berkabung dan tak sepantasnya aku bertamu sekarang—atau menumpang? Tapi tentu saja sifat keras kepala Adrian memang sulit sekali berubah. Sifat pemaksanya juga seenaknya muncul dan mau tak mau aku pun akhirnya pasrah. Soalnya ia sempat mengancamku akan menangis berguling guling di jalanan jika aku tak menurutinya. Itu ancaman yang konyol namun siapa tau Adrian serius dengan ucapannya. Aku tak mau menanggung malu karenanya. Pukul setengah lima kami memasuki halaman rumah besar berlantai dua. Sebelum turun aku mencoba menghentikan Adrian dan meminta untuk mengantarkanku ke terminal. Aku masih merasa ragu untuk bertandang ke rumah keluarga yang sedang berduka ini. Sepertinya aku lebih baik pulang ke kampung saja. Meskipun wajahku sangat buruk sekarang,
Lagi lagi aku tak bisa menghabiskan makan siangku. Aku hanya mampu menyuap tiga sendok sebelum akhirnya menyerah karena perutku sudah tak sanggup diisi. Jika terus dipaksa aku juga akan menjadi mual. Lidahku juga entah mengapa terasa pahit untuk menelan. Aneh sekali. Adrian dari tadi hanya diam. Ia hanya duduk di hadapanku sembari menunduk. Sepertinya ia tengah memikirkan sesuatu yang berat karena wajahnya kini terlihat serius. Langit di luar sana hampir gelap. Angin berhembus cukup kencang, menerbangakan daun daun pohon yang di tanam di halaman. Aku menatap dengan sendu saat kulihat dari jendela ada sebuah mobil yang memasuki pelataran rumah ini. Mobil hitam itu terasa sangat familiar karena aku sudah beberapa kali menaikinya. Jelas sekali itu milik mas Suryo. Yah siapa lagi. Dan tepat seperti dugaanku, setelah pintunya dibuka pria yang kini telah berstatus menjadi suamiku itu menampakkan diri sebelum berlari dengan cepat memasuki rumah. Ah, koh Ari ternyata langsung menghubung
Setelah melewati drama yang penuh dengan emosional tadi, ruangan bercat abu ini pun menjadi lengang. Di sini hanya ada aku dan mas Suryo sekarang. Adrian telah meninggalkan ruangan bersama koh Ari yang mempersilahkan kami untuk berbicara berdua. Aku sangat merasa bersalah ketika melihat Adrian menangis. Dia juga pergi tanpa sempat menataoku. Aku tahu gara gara aku perasaanya telah menjadi hancur lebur. Sementara mas Suryo sedari tadi hanya menunduk seraya menggenggam tanganku. Ia masih tak mau menatapku, mungkin ia merasa sangat bersalah dan ngeri melihat wajahku yang penuh lebam ini. Aku tau, aku sangat jelek sekarang. Jadi aku pun tak mau memaksanya untuk memandangku tepat di mata seperti biasanya. Mungkin aku malah bersyukur dengan sikapnya ini karena aku menjadi tak begitu malu untuk menyembunyikan wajahku. Melihat wajah yang sangat jelek seperti ini tentu sangat tak nyaman bagi semua orang kan? “Maaf, maaf, maaf ….” gumaman permintaan maaf itu kembali terdengar bersamaan kep
Seperti apa yang mas Suryo katakana tadi, kami berencana pulang setelah acara pengajian selesai. Pukul Sembilan malam kami turun dari lantai dua lewat pintu belakang yang seperti biasa cukup sepi. Aku sempat bertanya apakah kami harus berpamitan lebih dulu kepada pemilik rumah—seperti kedua orang tua koh Ari atau anggota keluarga yang lain yang mungkin masih tinggal—namun mas Suryo berkata itu tak perlu. Itu dikarenakan mas suryo telah lebih dulu melakukannya selepas pengajian. Ia juga menambahkan bahwa ia sungkan karena takutnya kami malah mengganggu karena mereka sepertinya sedang berbincang serius di ruang tamu bersama para saudara, ulama setempat dan juga ketua RT. Hal yang lebih jauh nanti kami malah ditanya ini itu dan membuat keadaan makin bertambah runyam. Maklumlah, mereka kan sama sekali tak tau siapa itu aku. Jadi, pergi diam diam adalah pilihan paling baik saat ini. Namun saat kami telah sampai di mana mobil mas Suryo terparkir, ternyata di sana telah berdiri dua sosok
Jalanan beraspal lumayan basah oleh gerimis. Mas Suryo mengenarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Meskipun tentu saja sudah merasa lelah akibat perjalanan panjang dan ia juga kesana kemari seharian untuk mencariku, pria itu tetap memprioritaskan keselamatan diri dari pada menggugu keinginan untuk cepat sampai di tujuan. Kami mengobrol banyak di sepanjang perjalanan. Membawa topic ringan sampai berat. Terkadang kami bertengkar kecil, berdebat hebat namun juga kadang saling menggoda dan merayu. Ada banyak hal yang harus kami perjelas, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Nanti, nanti kami akan sling membuka semuanya sampai tuntas. Aku menghela nafas sembari menatap kosong pada jendela yang menampakkan pemandangan luar yang gelap. Kami baru saja melewati jalan tol. Mungkin satu setengah jam lagi kami akan sampai di kampung. Tak terasa aku benar benar meninggalkan kota, dan mungkin saja tak akan pernah kembali lagi ke sana. Teringat kembali perpisahanku beberapa saat lalu
Aku tersentak bangun dari tidur karena merasakan tubuhku terguncang. Aku bertanya tanya mungkinkah sedang gempa, memikirkan itu tentu saja membuatku panic. Namun saat aku telah benar benar membuka mata dengan sempurna dan nyawaku yang tercecar mulai berkumpul aku langsung menyadari bahwa ternyata bukan gempa, tapi mobil yang tengah melewati jalanan terjal karena belum diaspal.“Kebangun ya, Yang? Maaf ya, aku pilih jalan terobosan ini biar cepet sampai.” Suara mas Suryo di sampingku membuatku menoleh menatapnya sembari mengucek mata yang masih agak lengket.Setelah itu aku pun menggeleng pelan agar suamiku itu tak perlu merasa tak enak. “Enggak apa apa, Mas. Emang udah deket, ya?”Pria itu mengangguk. “Sebentar lagi.” Ia tersenyum tipis meskipun wajahnya kelihatan dengan jelas bahwa ia lelah dan megantuk.“Capek banget ya, Mas?” tanyaku tak tega. Aku ingin menggantikannya mengemudi tapi aku tak bisa mengendarai mobil. Lagi pula jika aku bisa pun mas Suryo juga tak mungkin membiarkanku
"Mas? "Aku pikir mungkin Mas Suryo keblabasan karena lupa atau sedang melamun. Mungkin juga ia ingin menurunkanku di tempat yang agak jauh karena takut ada orang yang bakal memergoki kami. Tapi saat roda mobil terus berputar semakin jauh hingga berkilo-kilo meter aku pun akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Ini mau kemana, Mas? Kok aku enggak diturunin? Udah jauh banget ini rumaku. "Ya aku enggak mungkin lah jalan kaki jika harus menempuh jarak sejauh ini. Lagi pula sudah sangat malam--tidak,tidak. Tapi dini hari, hampir subuh!--keadaan kampung pun sangat sepi. Aku enggak bakalan berani jika harus pulang sendirian. Jika aku nanti ketemu makhluk goib yang seram bagaimana? "Ini bentar lagi nyampe kok, " tuturnya membuatku kebingungan. "Hah? "Nyampe? nyampe ke mana? Baru saja aku ingin kembali bertanya, jalanan yang rasanya tak asing bagiku membuat alisku berkerut. Kalau tidak salah, ini adalah jalan menuju peternakan sapi milik Mas Suryo. Apakah pria itu akan membawa
Aku terbangun saat matahari mulai meninggi. Menoleh ke samping, ada Mas Suryo yang tertidur dalam posisi tengkurap. Sebelah tangannya terjatuh menimpa perutku dan aku yang berniat untuk beranjak pun menyingkirkannya dengan hati-hati. Memutuskan segera memasuki kamar mandi untuk sekedar mencuci muka barang sebentar, dan tanpa membuang banyak waktu, aku pun melangkah keluar dari kamar untuk menjelajahi rumah ini. Ini adalah rumah dengan bangunan yang cukup luas. Pada bagian belakang hampir setengah dindingnya terbuat dari kaca yang masih tertutup gorden tebal. Saat aku menarik tali kain itu ke samping maka pemandangan halaman yang banyak ditumbuhi pohon pun langsung tersaji di depan mata. Aku pun segera membuka pintu dengan antusias karena tertarik dengan halaman berumput hijau itu. Dengan kaki telanjang aku melangkah menapaki rerumputan yang masih basah. Perlahan aku menyusuri kebun buahku--ow, apakah aku boleh menyebutnya begitu?--yang rindang sembari menghirup nafas dengan panjan
Aku hanya menatap datar pria yang sedang nyengir lebar dihadapanku. Mau mengeluh tapi memang seperti itulah sikapnya. Tidak sabaran. Ini bahkan masih pukul enam pagi. Aku belum mandi dan hanya sempat mencuci muka. Hari minggu seharusnya untuk beres beres rumah dan aku bahkan belum melakukannya, bahkan belum memulainya. Adikku, Ratna bahkan masih ngorok di kamarnya. Tapi pria ini, Mas Suryo sudah berdiri di depan pintu rumah orang tuaku dengan dandanan rapi. "Mas, Ngapain? ""Mau jemput kamu lah, Yang. ""Ini masih jam berapa? " tanyaku menahan gemas. Pria itu hanya menggedikan bahu dengan santai, "lebih cepat, lebih baik. "Aku menghela nafas sembari mengusap wajahku dengan kedua tangan. Merasa sangat lelah padahal ini masih sangat pagi untuk merasakan itu. Apa ia tak takut dipukul lagi oleh bapak? Karena tak tega mengusirnya seperti semalam, akhirnya aku pun membukakan pintu lebih lebar dan mempersilahkannya masuk. Mas Suryo sempat akan memelukku namun aku segera mendorongnya
"Jangan cemberut, " Ucapku sembari mengecup bibirnya yang manyun. Belum cukup untuk membuatnya tersenyum, aku menambah satu kecupan lagi. "Nanti gantengnya ilang, lho. ""Udah seminggu, Yang. " Aku tersenyum saat Mas Suryo mulai melarikan tangannya untuk meraih punggungku mendekat. "Enggak bakal cukup kalau cuma dikasih dua kecupan kecil. "Aku terkekeh. Menggosokan hidungku yang mungil pada hidungnya yang mancung seperti milik para pria eropa. "Puasa dulu, ya, " bisikku mendayu. "Kita masih ada di rumah bapak. ""Ya udah, ayo pulang sekarang. "Tapi sayangnya aku harus menggelengkan kepala. Bukannya tak mau--tentu saja aku mau, aku pun sangat sangat merindukannya--namun kondisi keluargaku masih kacau. Aku harus tetap ada di sini setidaknya sampai mereka lebih tenang. "Aku enggak bisa pulang sekarang, Mas, " Ucapku memulai dengan tenang. "Tapi aku janji aku bakal tetep pulang secepatnya buat kamu. Sabar sebentar lagi ya? "Mas Suryo menghela nafas. "Kapan? "Aku menggedikan bahu. "E
Aku masih terisak dalam pelukan Mas Suryo saat bapak menyentak tanganku kuat untuk menjauh dari pria itu. "Enggak tau malu sekarang, ya? " Bapak mendesis sembari melotot. "Kalian itu bukan muhrim tapi sudah berani nempel kayak lem. Di depan orang tua pula! "Sekali lagi ia menyeretku, kali ini hingga aku berdiri dan meninggalkan Mas Suryo duduk di kursi sendirian. "Pak! " Aku mencoba melepaskan cengkraman bapak dari lenganku. "Sakit, Pak. Lepas! ""Masuk ke kamarmu sekarang! ""Enggak mau! ""Ngelawan kamu sama Bapak?! ""Tunggu dulu, Pak! " Akhirnya Mas Suryo berseru menghentikan perdebatan kami. Ia ikut beringsut berdiri dan melangkah pelan ke arahku. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak, " tuturnya saat telah saling berhadapan. Aku yang semula menatap wajahnya bingung langsung merasa was-was saat Mas Suryo balik menatapku sembari tersenyum tipis. Tanganku yang mulai gemetaran karena tahu apa maksud ucapannya kemudian pria itu genggam dengan erat. "Sebenarnya... ""Mas
Sudah sepuluh menit yang lalu bapak membukakan pintu. Meski tak ada suara pukulan atau perdebatan sengit seperti yang pikiran burukku bayangkan, namun tetap saja hatiku tak bisa tenang barang sedetik saja. Jantungku terus berdebar cepat, aku juga harus berkali-kali menarik nafas panjang agar tak bertambah panik. Aku sangat ketakutan sekarang, sampai telapak tanganku pun basah oleh keringat dingin. Aku sangat penasaran dengan apa yang bapak dan Mas Suryo bicarakan di ruang tamu. Tadi saat aku ingin membuka pintu, bapak langsung melarangku dan berkata untuk segera masuk kamar. Aku tentu saja langsung menyerukan ketidak-mauanku, namun bapak mempemperingatkanku bahwa ia akan mencincang tubuh Mas Suryo dengan parang miliknya jika aku tak menurut. Karena takut bapak benar-benar serius dengan ucapannya, tak ada yang bisa aku lakukan selain patuh. Namun tentu saja, itu hanya aku lakukan sebentar karena setelah bapak sudah duduk dan mengobrol dengan pria yang kucintai di depan sana, aku langs
Ponselku bergetar beberapa kali sejak lima belas menit terakhir. Ada banyak pesan dari Mas Suryo yang menanyakan perihal kepulanganku ini. Meskipun sebelumnya aku sudah pamit dan mendapatkan izinnya untuk bermalam di rumah orang tuaku, nyatanya, pria yang kini menjadi suamiku itu masih saja belum sepenuhnya rela aku menginap. Setelah kami pindah dan menghabiskan waktu berdua, Mas Suryo memang jadi makin rewel dan manja jika ditinggal sebentar saja. Dan aku yakin sikapnya akan makin menjadi karena sejak tadi aku sama sekali tak membalas pesan darinya. Pikiranku masih begitu penuh dengan peristiwa kedatangan Mbak Melinda tadi sore yang mengejutkan semua orang. Bagaimana wanita itu dengan berani membeberkan semuanya di depan keluargaku. Bagaimana aku terpaksa membuka rahasia terbesarku sebagai seorang selingkuhan. Bagaimana bapak yang memerintahkan agar aku mengakhiri hubunganku dengan Mas Suryo. Semuanya berjejalan di dalam otak. Sangat menyesakkan seperti akan meledak.Aku tidak tau
Tidak. Nyatanya bapak tak memberikan tamparan seperti apa yang aku pikirkan. Pria paruh baya itu hanya diam dan membiarkan hanya ibuk yang melemparkan tanya. Dan dengan terpaksa aku pun menceritakan semuanya pada kedua orang tuaku. Hal hal yang selama ini aku sembunyikan dengan rapat tak bisa kucegah untuk terkuak. Aku membenarkan bahwa aku memang memiliki hubungan dengan Pak Lurah. Itu bahkan sudah berlangsung lama. Dan aku sama sekali tak memiliki niatan untuk mengakhiri hubungan ini. Apalagi sekarang kami sudah menikah--aku masih menyimpan rahasia ini karena aku tak ingin membuat keluargaku semakin syok. Hari ini sudah sangat buruk, kenyataan bahwa aku adalah seorang selingkuhan pria beristri, yang ironisnya adalah seorang Lurah di kampung ku sendiri, tentunya itu sudah sangat mengguncang batin kedua orang tuaku. Aku tak mau menambahinya lagi dengan statusku yang kini sudah menjadi istri Mas Suryo. Apalagi, kami hanya menikah siri, bahkan tanpa restu dari orang tua. Ini adalah s
"Cukup! " Kali ini ibuk yang angkat bicara. Aku sampai terhenyak ketika ibuk berusaha bangkit meskipun aku tau beliau masih merasa lemas. Karena takut ibuku akan kembali tumbang seperti tadi, aku pun ikut berdiri di sisinya sembari menahan lengan ibuk. "Anda sudah keterlaluan! ""Kenapa? " Mbak Melinda tetap meninggikan nada suaranya meski yang ia hadapi kini adalah orang tua. Wanita itu bahkan tak segan untuk berkacak pinggang dengan angkuh. "Apa yang saya katakan tadi benar kan? Ibu kira dengan wajah anakmu yang tak seberapa cantik itu bisa memikat laki-laki kaya tanpa bantuan dukun? ""Saya membesarkan anak saya dengan tata krama dan juga agama yang kuat. Jadi Sufi tidak mungkin melakukan hal itu! Bu Melinda jangan sembarangan menuduh!""Jika memang seperti itu, lalu mengapa sekarang ia hidup sebagai perusak rumah tangga orang?! "Ibuk terdiam. Aku dan bapak pun tak mampu menjawab. Kami semua tergugu oleh pertanyaan itu. "Jika memang ia di ajari tata krama dan agama, mengapa ia se
Langit sore itu sudah berwarna merah yang artinya senja akan tiba. Tak ada firasat apapun yang aku rasakan selama menyusuri jalanan yang di penuhi daun-daun kering. Aku dan ibuk hanya sesekali mengobrol. Membicarakan hal random seperti apa yang aku lakukan di kota. Apakah aku makan dengan baik selama ini, apakah aku pernah sakit, apakah aku tidur dengan cukup. Meskipun agak judes, tapi percayalah ibuk itu adalah orang yang sebenarnya sangat perhatian pada keluarga. Karena sudah mendapatkan izin dari Mas Suryo, malam ini pun aku berniat untuk menginap. Pria itu pun sudah beberapa kali mengirim pesan, mengingatkan aku harus menepati janji bahwa aku hanya tinggal selama semalam saja. Benar benar semalam saja. Ia menulis itu berulang kali seolah takut aku akan menetap di sini selama sebulan. Dasar bucin. Sampai di depan rumah aku dan ibuk terherna heran karwna ada mobil yang terparkir angkuh di halaman. Aku tak begitu familiar dengan mobil itu jadi aku oun tak bisa menebak siapa pemil
"Kamu apain anak saya, HAH?! "Dengan wajah super galak ibu berdiri berhadapan dengan Mbak Retno yang langsung mengkeret. Kedua tangan terbentang membentengiku yang masih terduduk di tanah. Sementara suara bentakan keluar dengan lantang dari mulutnya. Jika sudah menyangkut soal anak, ibuk memang tak main main membela. Dari dulu beliau tak mau diam saja jika anaknya diperlakukan dengan semena-mena oleh orang lain. Apalagi jika itu dilakukan tepat di depan mata kepalanya sendiri, sudah pasti ibuk tak akan ada takut takutnya untuk balik membalas. "Kamu dorong Sufi? Beraninya kamu kasar kasar sama anak saya! " Satu jambakan mendarat di rambut mbak Retno yang langsung meronta-ronta. "Berani kamu ya! Mau mati hah?! " Mbak Retno melolong karena jambakan ibuk makin kencang. Aku yang merasa tak tega pada mbak Retno yang kesakitan, dan juga takut ibuk akan lebih kalap langsung berusaha berdiri untuk melerai. "Sudah, buk. ""Biarin, Ndok. Biar ibuk kasih pelajaran sama janda jahat ini. Biar