Melepaskan pagutan dari bibirnya aku menatap mas Suryo dengan tekad bulat untuk membuka rahasia yang telah beberapa hari ini kupendam sendirian. Aku mencoba mengeluarkan segenap keberanian yang kupunya meski sebenarnya tak seberapa. Tentu saja ketakutan akan bagaimana akhirnya masih menghantuiku. Namun melihatnya yang terus menyalahkan diri sendiri itu lebih menyakitkan bagiku. “Sebenarnya … a-aku—aku hampir diperkosa,” Meski mengucapkannya dengan mantap namun aku bisa merasakan bahwa tanganku yang berada di pipinya gemetaran. Saat aku mencoba menarik lenganku untuk kusembunyan di atas pangkuan mas Suryo lebih dahulu meraihnya. Jemariku yang terkepal erat ia buka dengan perlahan sebelum ia genggam dengan lembut. “Siapa?” tanyanya sembari membawa punggung tanganku menuju bibirnya untuk diberi kecupan yang lama dan dalam. Menghilangkan rasa gigilku oleh kehangatan sentuhannya. ”Siapa yang berani melakukan itu?” Aku menangis dengan kencang. Menghambur ke dalam pelukannya dan menyemb
Aku sadar bahwa jika hanya saling memakan bibir seperti ini bukanlah sentuhan yang membuatku takut. Aku masih bisa menikmati dan membalasnya meski tak begitu bisa mengimbangi kelihaian mas Suryo dalam mencium. Tentu saja pria berpengalaman sepertinya memiliki tinggi level yang berbeda denganku yang bahkan baru kali ini menjalin hubungan sampai sejauh ini. Pria ini adalah orang pertama yang benar benar aku cintai dan membiarkan menyentuhku dengn bibirnya sampai aku terbuai seperti ini. Pria pertama yang mendapatkan kecupan pertamaku, pria pertama yang memperoleh pelukanku seerat ini, pria pertama yang menguasai semua bagian otakku hingga hanya ada namanya yang terukir indah di sana. Dia benar benar pertama dan aku berharap selalu menjadi yang pertama. Cukup lama kami saling mencium satu sama lain sebelum tiba tiba pria itu bangkit untuk duduk. Aku terhenyak saat kedua tangannya dengan mudahnya mengangkat tubuhku untuk dibawa ke atas pangkuannya. Tanpa sadar aku melepaskan tautan bib
Mas Suryo sudah pergi sejak sejam yang lalu. Dan aku masih diliputi kebahagiaan yang membuncah di dalam dada jika mengingat apa yang sudah kami lakukan tadi. Kenyataan bahwa aku tak ketakutan, bahwa kenangan buruk itu sama sekali tak melintas di pikiranku, bahwa sekarang aku baik baik saja dengan sentuhan yang mas Suryo berikan. Sungguh itu semua membuat aku sangat bahagia. Oh tuhan, betapa bersyukurnya aku. Tinggal selangkah lagi dan kami bisa menyempurnakan pernikahan kami. Mengingat itu membuatku terus berdebar debar. Bibirku pun menjadi sulit sekali kucegah agar tak tersenyum. Untung saja di dalam kamar ini aku sendirian, jika ada yang melihat kondisiku sekarang mungkin aku akan dikira sudah gila. Mas Suryo bilang selesai dari melayat nenek Adrian yang meninggal tadi sore itu ia akan langsung pulang kemari. Ia juga berpesan padaku agar tak usah menunggunya karena mungkin ia akan lama. Kabarnya nenek dari koh Ari itu akan langsung dimakamkan pada malam ini juga. Jadi bisa dipasti
Jembatan panjang ini terlihat lengang. Mungkin karena sudah dini hari jadi taka da kendaraan yang lewat. Hanya satu dua itu pun meluncur dengan kecepatan tinggi seperti sedang balapan, sebuah kesempatan langka berkendara di jalanan aspal yang sepi, sangat berbeda di siang hari yang tentu saja akan penuh dan ramai. Makanya beberapa orang memilih untuk menikmati keadaan itu dengan menancap gas dalam dalam agar cepat sampai di tujuan. Sesudah satu kendaraan itu lewat tak ada lagi suara kecuali jangkrik dan hewan malam lainnya yang menemaniku. Jika di waktu normal, biasanya aku pasti sudah ketakutan karena sendirian di tempat sepi. Tapi malam ini berbeda. Tentu saja sangat berbeda karena yang aku rasakan sekarang hanyalah kekosongan. Kekosongan yang hampir membuatku gila karena sebenarnya pikiranku penuh dan serasa mau pecah. Angin berhembus dengan kencang membuat rambut dan pakaian tipis—yang sudah kusut, kotor dan sangat berantakan—berkibar kibar seperti bendera di tiang besi depan
Jam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu.Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri.Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah.
Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya. Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras. “Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayu
Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut
Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat