Share

3. Terjebak

Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.

“Mbak Retno?”

Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri.

"Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.

Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.

“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”

“Ba-bapak…,” jawabku spontan.

“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…”

Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut bodoh karena ketahuan berbohong. Matanya mengejeku seolah aku adalah alien jelek yang bodoh karwna mudah sekali dibaca. Mulutnya sedikit melongo beberapa detik sebelum kemudian menutupi bibir bergincu merah itu dengan punggung tangan dan mulai terkekeh.

Entah mengapa aku merasakan firasat buruk akan datang.

”Oh, atau yang kau maksud ‘Bapak’ di sini itu Pak Lurah, ya?” ia menampilkan wajah kaget yang dibuat-buat.

Aku meremas sweater rajut yang kupakai kuat-kuat. Memutar otak mencari alasan yang tepat untuk membantah semua ucapan sang janda. Namun melihat rautnya yang begitu percaya diri seolah ia dewa yang tahu segalanya membuatku malah semakin ciut.

“Ba-Bapak su-sudah belajar sepeda motor, kok,” tukasku dengan terbata. Masih mencoba untuk tidak terintimidasi.

“Oh, ya?”

Sungguh, aku sangat membenci nada suaranya.

Inikah wanita yang tempo lalu menangis tersedu meminta pinjaman uang padaku? Inikah balasannya setelah aku berbuat baik menolongnya? Aku terus bertanya tanya tak percaya.

Beruntung sebelum mbak Retno semakin memojokkan ku, bus jurusan kota yang lama kutunggu akhirnya datang. Aku segera beranjak berdiri meninggalkan mbak Retno yang memang berbeda bus tujuan.

“Aku duluan, Mbak.” sebagai orang yang lebih muda aku masih menghormatinya dengan berpamitan meski tanpa menoleh.

“Tunggu!”

Aku yang hampir mencapai pintu bus harus tertahan begitu mbak Retno berseru. Aku yang masih kesal tak mau repot repot membalikan badan. Tapi aku tau mbak Retno tengah berjalan mendekat. Tanpa sadar tiap langkah yang ia ambil membuat tubuhku bergetar. Segera kualihkan ketakutan ku dengan mencengkeram tali tote bag yang tersampir di pundak erat-erat.

”Kenapa buru-buru banget sih, Fi? Busnya kan masih nunggu penumpangnya penuh,” celotehnya.

“Takut enggak kebagian tempat duduk , Mbak,” aku menggertakan gigi sebentar sebelum menolehkan wajah dan tersenyum kecut. ”Enggak lucu kan harus berdiri selama berjam jam sampai ke kota? Nanti malah enggak bisa maksimal waktu kerja terus dimarahi bos.”

“Enggak mungkin lah dimarahi,” mbak Retno menepuk bahuku sambil tertawa. Aku bingung apanya yang lucu.”Koh Ari kan saudara jauhnya Pak Lurah…”

“Maksudnya?”

“Enggak usah pura-pura bodoh, Fi...” Mbak Retno memandangku sembari geleng- geleng kepala. ”Kamu sama Pak Suryo masih menjalin hubungan, kan?” wanita itu tersenyum miring.

Aku merasakan keringat dingin langsung bercucuran begitu mendengar tuduhannya. Jantungku berdetak hebat, menghantam tulang rusuk sampai terasa menyakitkan.

Tidak mungkin mbak Retno tau. Tidak mungkin!

Bagaimana bisa kami ketahuan dua kali?

“Tidak! Itu tidak benar!” aku masih mencoba menyangkal. Menatap wanita itu nanar, jelas sekali tengah ketakutan. Seharusnya aku bisa lebih baik dalam mengontrol diri.

“Ya ampun , Fi. Enggak perlu mengelak lagi, aku bukan orang bodoh,” nafasku berhembus cepat, seolah mendadak terkena penyakit asma. ”Aku melihat kalian tadi, asal kamu tau. Berboncengan mesra sambil tertawa-tawa. Kalau aku bukan penduduk Desa Ijo royo , aku bakal nyangka kalian sepasang kekasih yang lagi dimabuk asmara…”

Sepasang mataku panas. Aku berharap ini mimpi, seseorang tolong bangunkan aku.

“Tapi apa kenyataannya? Kamu hanya seorang selingkuhan...” Kakiku lemas saat mbak Retno berbisik di telingaku. Aku harus berpegangan pada tiang atap ruko untuk menjaga tubuhku tetap berdiri meski jelas sekali sempoyongan. “Miris sekali melihat wanita muda sepertimu memacari pria beristri. Yah, meski Pak Lurah memiliki wajah yang sangat tampan tapi sebagai gadis berpendidikan seharusnya kamu tau apa itu norma-norma yang berlaku di masyarakat.”

“Cukup, Mbak!” aku membentak, tak peduli dengan pandangan orang yang lewat.

“Kenapa? Hati nuranimu tercubit atau harga dirimu yang tercoreng?”

Sungguh! Tanpa orang lain menjelaskannya dengan gambalang pun aku lah yang paling tau bagaimana perasaanku selama ini yang menjadi selingkuhan. Rasa bersalahku pada keluarga yang suatu saat mungkin akan menanggung malu dan kecewa, perasaan berdosa kepada istri sah sang kekasih, ketakutan akan terbongkarnya hubungan gelap ini, semuanya selalu menghantuiku setiap waktu. Menekanku bahkan sebelum semua orang mengetahui kebenarannya. Aku berkali- kali ingin berhenti, tapi cinta kami ternyata lebih kuat menumbangkan logika dan norma.

“Sebenarnya apa mau mu, Mbak?” meskipun sudah berkaca-kaca tapi sekuat tenaga aku bertahan untuk tak menangis. Aku harus tegar, aku sudah berpikir banyak tentang resiko hubungan ini yang sangat rentan ketahuan.

Kami saling memandang lama, mencoba menyelami kesenduan di sorot mata masing- masing. Aku tau mbak Retno pasti memiliki tujuan dengan memojokanku seperti ini. Wanita ini pintar cenderung licik, itulah sebabnya mengapa ia masih mampu bertahan sampai sekarang meski kesialan sering menimpa hidupnya.

“Beri aku uang, maka aku akan tutup mulut”

“Apa?”

Apakah wanita ini mencoba memerasku? Memeras seorang yang hanya bekerja sebagai karyawan toko yang gajinya tak seberapa? Apa ia sudah tak waras?

“Aku tak punya uang, Mbak!”

“Minta pada pacarmu, bodoh!” ia menoyor dahiku yang tertutupi poni.

Ya Tuhan! Mana mungkin aku meminta pada mas Suryo? Meskipun selama ini ia kerap kali ingin memberi uang jajan yang berjumlah lumayan banyak, aku selalu menolaknya dengan cepat. Karena aku merasa aku tak berhak. Aku tidak mau semakin menyakiti istri sahnya karena kewajiban menafkahi sang suami diberikan kepada wanita lain yang hanya selingkuhannya.

“Tidak! Aku tak mau melakukannya”

Mbak Retno mendengus. Mencondongkan wajahnya kearahku kemudian mengucapkan kalimat yang membuat dadaku mencelos.

“Jika kau terus keras kepala maka kejadian beberapa bulan lalu akan terulang kembali,” senyum menakutkannya terpampang lebar membuatku menggigil. ”Asal kamu tau, aku mengoleksi banyak foto kencan kalian….”

Berjalan mundur, mbak Retno menunjukkanku ponselnya dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri, jelas sekali mempermainkanku. Sembari duduk di tempat semula ia terus menatapku yang dilanda kegelisahan hebat. Ia terlihat begitu senang memporak porandakan ketenangan seseorang.

Sekarang aku sadar mengapa ibu sangat membenci wanita itu. Orang yang tidak tau terimakasih. Bukannya membalas budi ia malah menjebakku dengan cara kotor seperti ini. Segalanya menjadi jelas, selama ini aku terus bertanya-tanya siapa orang yang dulu tega menyebarkan gosip tentang hubungan kami. Aku terus mencari cari akunnya di media social namun akun itu telah menghilang. Aku pikir orang itu hanya iseng, berpikir mungkin mempermainkan penduduk dengan merusak kedamaian mereka dengan gosip tentang tokoh yang berpengaruh di desa mungkin akan seru, akan menghilangkan sedikit kebosanannya. Aku pikir orang itu hanya main-main. Aku pikir kami bisa tenang kembali dan menjalani hubungan diam diam ini tanpa ketahuan untuk waktu yang lebih lama.

Tapi aku tidak berpikir orang yang melakukannya adalah orang yang begitu dekat, Mbak Retno, tetanggaku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status