Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.
“Mbak Retno?” Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri. "Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas. Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini. “Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?” “Ba-bapak…,” jawabku spontan. “Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut bodoh karena ketahuan berbohong. Matanya mengejeku seolah aku adalah alien jelek yang bodoh karwna mudah sekali dibaca. Mulutnya sedikit melongo beberapa detik sebelum kemudian menutupi bibir bergincu merah itu dengan punggung tangan dan mulai terkekeh. Entah mengapa aku merasakan firasat buruk akan datang. ”Oh, atau yang kau maksud ‘Bapak’ di sini itu Pak Lurah, ya?” ia menampilkan wajah kaget yang dibuat-buat. Aku meremas sweater rajut yang kupakai kuat-kuat. Memutar otak mencari alasan yang tepat untuk membantah semua ucapan sang janda. Namun melihat rautnya yang begitu percaya diri seolah ia dewa yang tahu segalanya membuatku malah semakin ciut. “Ba-Bapak su-sudah belajar sepeda motor, kok,” tukasku dengan terbata. Masih mencoba untuk tidak terintimidasi. “Oh, ya?” Sungguh, aku sangat membenci nada suaranya. Inikah wanita yang tempo lalu menangis tersedu meminta pinjaman uang padaku? Inikah balasannya setelah aku berbuat baik menolongnya? Aku terus bertanya tanya tak percaya. Beruntung sebelum mbak Retno semakin memojokkan ku, bus jurusan kota yang lama kutunggu akhirnya datang. Aku segera beranjak berdiri meninggalkan mbak Retno yang memang berbeda bus tujuan. “Aku duluan, Mbak.” sebagai orang yang lebih muda aku masih menghormatinya dengan berpamitan meski tanpa menoleh. “Tunggu!” Aku yang hampir mencapai pintu bus harus tertahan begitu mbak Retno berseru. Aku yang masih kesal tak mau repot repot membalikan badan. Tapi aku tau mbak Retno tengah berjalan mendekat. Tanpa sadar tiap langkah yang ia ambil membuat tubuhku bergetar. Segera kualihkan ketakutan ku dengan mencengkeram tali tote bag yang tersampir di pundak erat-erat. ”Kenapa buru-buru banget sih, Fi? Busnya kan masih nunggu penumpangnya penuh,” celotehnya. “Takut enggak kebagian tempat duduk , Mbak,” aku menggertakan gigi sebentar sebelum menolehkan wajah dan tersenyum kecut. ”Enggak lucu kan harus berdiri selama berjam jam sampai ke kota? Nanti malah enggak bisa maksimal waktu kerja terus dimarahi bos.” “Enggak mungkin lah dimarahi,” mbak Retno menepuk bahuku sambil tertawa. Aku bingung apanya yang lucu.”Koh Ari kan saudara jauhnya Pak Lurah…” “Maksudnya?” “Enggak usah pura-pura bodoh, Fi...” Mbak Retno memandangku sembari geleng- geleng kepala. ”Kamu sama Pak Suryo masih menjalin hubungan, kan?” wanita itu tersenyum miring. Aku merasakan keringat dingin langsung bercucuran begitu mendengar tuduhannya. Jantungku berdetak hebat, menghantam tulang rusuk sampai terasa menyakitkan. Tidak mungkin mbak Retno tau. Tidak mungkin! Bagaimana bisa kami ketahuan dua kali? “Tidak! Itu tidak benar!” aku masih mencoba menyangkal. Menatap wanita itu nanar, jelas sekali tengah ketakutan. Seharusnya aku bisa lebih baik dalam mengontrol diri. “Ya ampun , Fi. Enggak perlu mengelak lagi, aku bukan orang bodoh,” nafasku berhembus cepat, seolah mendadak terkena penyakit asma. ”Aku melihat kalian tadi, asal kamu tau. Berboncengan mesra sambil tertawa-tawa. Kalau aku bukan penduduk Desa Ijo royo , aku bakal nyangka kalian sepasang kekasih yang lagi dimabuk asmara…” Sepasang mataku panas. Aku berharap ini mimpi, seseorang tolong bangunkan aku. “Tapi apa kenyataannya? Kamu hanya seorang selingkuhan...” Kakiku lemas saat mbak Retno berbisik di telingaku. Aku harus berpegangan pada tiang atap ruko untuk menjaga tubuhku tetap berdiri meski jelas sekali sempoyongan. “Miris sekali melihat wanita muda sepertimu memacari pria beristri. Yah, meski Pak Lurah memiliki wajah yang sangat tampan tapi sebagai gadis berpendidikan seharusnya kamu tau apa itu norma-norma yang berlaku di masyarakat.” “Cukup, Mbak!” aku membentak, tak peduli dengan pandangan orang yang lewat. “Kenapa? Hati nuranimu tercubit atau harga dirimu yang tercoreng?” Sungguh! Tanpa orang lain menjelaskannya dengan gambalang pun aku lah yang paling tau bagaimana perasaanku selama ini yang menjadi selingkuhan. Rasa bersalahku pada keluarga yang suatu saat mungkin akan menanggung malu dan kecewa, perasaan berdosa kepada istri sah sang kekasih, ketakutan akan terbongkarnya hubungan gelap ini, semuanya selalu menghantuiku setiap waktu. Menekanku bahkan sebelum semua orang mengetahui kebenarannya. Aku berkali- kali ingin berhenti, tapi cinta kami ternyata lebih kuat menumbangkan logika dan norma. “Sebenarnya apa mau mu, Mbak?” meskipun sudah berkaca-kaca tapi sekuat tenaga aku bertahan untuk tak menangis. Aku harus tegar, aku sudah berpikir banyak tentang resiko hubungan ini yang sangat rentan ketahuan. Kami saling memandang lama, mencoba menyelami kesenduan di sorot mata masing- masing. Aku tau mbak Retno pasti memiliki tujuan dengan memojokanku seperti ini. Wanita ini pintar cenderung licik, itulah sebabnya mengapa ia masih mampu bertahan sampai sekarang meski kesialan sering menimpa hidupnya. “Beri aku uang, maka aku akan tutup mulut” “Apa?” Apakah wanita ini mencoba memerasku? Memeras seorang yang hanya bekerja sebagai karyawan toko yang gajinya tak seberapa? Apa ia sudah tak waras? “Aku tak punya uang, Mbak!” “Minta pada pacarmu, bodoh!” ia menoyor dahiku yang tertutupi poni. Ya Tuhan! Mana mungkin aku meminta pada mas Suryo? Meskipun selama ini ia kerap kali ingin memberi uang jajan yang berjumlah lumayan banyak, aku selalu menolaknya dengan cepat. Karena aku merasa aku tak berhak. Aku tidak mau semakin menyakiti istri sahnya karena kewajiban menafkahi sang suami diberikan kepada wanita lain yang hanya selingkuhannya. “Tidak! Aku tak mau melakukannya” Mbak Retno mendengus. Mencondongkan wajahnya kearahku kemudian mengucapkan kalimat yang membuat dadaku mencelos. “Jika kau terus keras kepala maka kejadian beberapa bulan lalu akan terulang kembali,” senyum menakutkannya terpampang lebar membuatku menggigil. ”Asal kamu tau, aku mengoleksi banyak foto kencan kalian….” Berjalan mundur, mbak Retno menunjukkanku ponselnya dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri, jelas sekali mempermainkanku. Sembari duduk di tempat semula ia terus menatapku yang dilanda kegelisahan hebat. Ia terlihat begitu senang memporak porandakan ketenangan seseorang. Sekarang aku sadar mengapa ibu sangat membenci wanita itu. Orang yang tidak tau terimakasih. Bukannya membalas budi ia malah menjebakku dengan cara kotor seperti ini. Segalanya menjadi jelas, selama ini aku terus bertanya-tanya siapa orang yang dulu tega menyebarkan gosip tentang hubungan kami. Aku terus mencari cari akunnya di media social namun akun itu telah menghilang. Aku pikir orang itu hanya iseng, berpikir mungkin mempermainkan penduduk dengan merusak kedamaian mereka dengan gosip tentang tokoh yang berpengaruh di desa mungkin akan seru, akan menghilangkan sedikit kebosanannya. Aku pikir orang itu hanya main-main. Aku pikir kami bisa tenang kembali dan menjalani hubungan diam diam ini tanpa ketahuan untuk waktu yang lebih lama. Tapi aku tidak berpikir orang yang melakukannya adalah orang yang begitu dekat, Mbak Retno, tetanggaku sendiri.Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat
Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yaki
Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend
Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da
“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu
Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage
Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa ditenangkan oleh orang yang tak disangka-sangka. Anak yang biasanya pecicilan, ceroboh, usil, manja tapi dari tadi malah terus memberiku perhatian yang hangat. Sebenarnya aku merasa haru, anak ini sangat mengingatkanku pada adikku di kampung. Membuatku senang memeluknya. Tapi tentu saja aku tak bisa lama-lama karena bagaimanapun juga dia itu adiknya koh Ari, bosku. Pukul sembilan malam, tokopun tutup. Aku mengambil tas selempangku yang berada di loker dan berpamitan dengan para karyawan lain. Keluar lewat pintu samping dan di sana sudah berdiri sosok Adrian dengan motor matiknya yang berwarna kuning terang. Meskipun terlihat agak norak karena sangat mencolok tapi itu adalah warna kesukaannya. Itu mengingatkannya pada rambut tokoh kartun Jepang favoritnya, Naruto. Aku selalu geli saat Adrian menceritakan salah satu anime terkenal itu dengan menggebu-gebu. Dia terlihat seperti pemuda kebanyakan yang penuh dengan semangat juga kekonyolan. Meski