Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit.
Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu dan melihat siapa pengirim pesan di pagi yang cerah begini. Namun setelah aku mengetahuinya, aku segera melempar kembali ponsel malang itu dan beranjak tanpa membaca ataupun membalasnya. Aku sedang tak ingin merusak pagiku dengan mood yang turun karena sosok lurah yang entah sedang apa di sana. Mengibaskan tangan dengan heboh seolah mengusir aura negative, aku kemudian menepuk pipi agar tetap semangat. Rambut yang tergerai kuraih dan kukuncir tinggi, membiarkan beberapa anak rambut menjuntai agar terlihat lebih natural. Karena kemarin sudah bolos, maka hari ini aku harus bersiap untuk di ceramahi, atau yang terburuk mendapat hukuman lembur di akhir pekan membersihkan gudang. Memikirkan betapa berantakan dan kotornya ruangan besar yang telah lama tak terjamah itu membuatku langsung bergidik. Semoga koh Ari memberiku sedikit kemurahan hati. Melirik jam yang terpasang di pergelangan tangan, mataku melebar saat kulihat sudah hampir pukul setengah delapan lebih. Dengan terburu buru kuraih semua keperluanku kedalam tas selempang dan kupakai sambil berlari setelah berhasil mengunci pintu. Tuhan, jangan sampai hari ini aku terlambat. Si pria Cina bisa mencekiku! *** Gedung berlantai dua dengan desain modern yang terletak tepat di jalan besar sudah di depan mata. Untung masih sepi, padahal aku sudah panik dan harus berlari sepanjang perjalanan dari kost. Dadaku sesak bukan main , maklum, karena jarang olahraga jadi cepat ngos-ngosan. Keringat pun bercucuran membasahi dahi. Aku berjalan pelan menaiki tangga depan toko dan berhenti sebentar di depan pintu kaca. Sekedar membenahi penampilan dan menyiapkan nyali bertemu bos. Mengelap telapak tangan yang basah pada celana jeans, kudorong pintu terbuka. Dan sosok dewasa berkacamata langsung menyambutku. Koh Ari sudah berdiri tegap di depan area kasir. Menatapku datar namun menekan. Aku langsung berjalan kearahnya sembari nyengir tak enak. “Jadi?” “Maaf, Koh… kemarin enggak enak badan. Jadi enggak bisa masuk.” “Engak enak badan?” aku mengangguk pelan. ”Tapi bisa mantai, ya? Hebat, lho!” mataku melebar. Bagaimana mungkin koh Ari bisa tau? Jangan-jangan… "Suryo bahkan mengirim gambar selfi kalian waktu pakai baju pasangan. Bikin panas hati saja!” pria Cina itu sedikit menggeram. Tentu saja kesal setengah mati karena iri. Maklum, dia baru saja bercerai dua bulan lalu. Duda yang masih segar, ditinggal istri selingkuh karena terlalu sibuk mengelola toko bukunya ini. “Maaf, Koh,” aku mengatupkan kedua tangan di depan dada. “saya janji enggak akan bolos dan bohong lagi.” Meskipun mas Suryo dan koh Ari adalah saudara jauh sekaligus teman dekat sejak kuliah, aku benar-benar tak menyangka mas Suryo akan menumbalkan foto kami hanya untuk membuat pemilik toko ini iri. Mereka memang jahil satu sama lain, koh Ari pun sudah tau hubungan kami sedari awal, meskipun tak banyak berkomentar karena memang mas Suryo sepertinya sering curhat sehingga tahu keadaannya. Tapi tentu saja pria itu tetap atasanku. Aku tidak bisa memperlakukannya seolah kami akrab layaknya seperti aku memperlalukan mas Suryo, dan rasanya sangat canggung ketika pria cina itu bahkan tahu kegiatan kami kemarin. Apa mas Suryo tak tahu apa itu privasi? aku tak habis pikir. Tapi ya sudahlah, sudah terjadi. “Kamu saya maafkan,” jawab koh Ari membuat mataku berbinar. “Terimakasih, koh-“ belum selesai aku berbicara , koh Ari sudah mengangkat sebelah tangannya untuk menginterupsi. “Saya enggak perduli kamu pacar temen saya atau bukan, tapi kamu tetep saya hukum, ya,” ucapnya sembari membenarkan kacamatanya yang melorot. Aku langsung lemas. ”Weekend enggak usah pulang. Jadi anak rajin bersihin gudang.” Rasanya aku ingin menangis. Minggu ini benar-benar kacau. *** Memang bukan rahasia lagi jika bolos di hari senin akan mendapat hukuman. Karena memang saat hari senin toko selalu paling banyak diserbu pengunjung. Pembeli yang datang biasanya sangat ramai dan membuat karyawan kewalahan, karena kebanyakan stok alat-alat tulis dan buku baru memang datang di hari itu. Meski memiliki empat orang pekerja, rasanya mereka masih membutuhkan yang lain, tapi koh Ari tak pernah mau mendengar usulan kami, dan santai saja ketika melihat kami harus kesana kemari melayani pembeli. Malah ia terlihat bahagia melihat karyawannya menderita. ‘Buang-buang uang’ begitu katanya. ’Dan bukankah malah sehat jika semua orang terus bergerak sepanjang hari? kalian akan mengeluarkan banyak keringat. Tanpa kalian sadari saya membuat kalian sehat. Jadi ayo makin semangat semuanya!’ aku yakin sih, bukan hanya aku yang ingin mencekiknya saat koh ari mengatakannya dengan lantang saat itu.“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu
Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage
Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa ditenangkan oleh orang yang tak disangka-sangka. Anak yang biasanya pecicilan, ceroboh, usil, manja tapi dari tadi malah terus memberiku perhatian yang hangat. Sebenarnya aku merasa haru, anak ini sangat mengingatkanku pada adikku di kampung. Membuatku senang memeluknya. Tapi tentu saja aku tak bisa lama-lama karena bagaimanapun juga dia itu adiknya koh Ari, bosku. Pukul sembilan malam, tokopun tutup. Aku mengambil tas selempangku yang berada di loker dan berpamitan dengan para karyawan lain. Keluar lewat pintu samping dan di sana sudah berdiri sosok Adrian dengan motor matiknya yang berwarna kuning terang. Meskipun terlihat agak norak karena sangat mencolok tapi itu adalah warna kesukaannya. Itu mengingatkannya pada rambut tokoh kartun Jepang favoritnya, Naruto. Aku selalu geli saat Adrian menceritakan salah satu anime terkenal itu dengan menggebu-gebu. Dia terlihat seperti pemuda kebanyakan yang penuh dengan semangat juga kekonyolan. Meski
Malam itu hujan turun lagi dan kali ini sangat deras. Membuat pengunjung yang semula menempati area luar dengan heboh berlari terbirit memasuki area dalam yang lebih aman dari terjangan air. Dan akibatnya, tempat duduk yang semula tak terlalu penuh kini terpaksa saling menerima mejanya harus berbagi dengan yang lain. Begitu juga yang dialami aku dan Adrian, kami yang semula asik ngobrol ini itu sambil mengganyang gurame bakar dan beberapa lalapan yang hampir memenuhi meja, harus cepat-cepat bergeser mempersilahkan sepasang sejoli yang meminta dua kursi yang tersedia di samping kami untuk dijadikan tempatnya duduk. Aku dan Adrian saling berpandangan sekaligus diam-diam meringis sembari mengambil dengan tergesa piring piring berisi nasi juga sambal untuk diletakan lebih ke pinggir agar dua orang pria wanita itu bisa menempati separuh meja. Setelah semuanya tertata rapi, aku dan Adrian yang kini duduk di hadapanku pun kembali menghempaskan bokong pada kursi. Meskipun tak terlalu nyam
Aku marah. Kesal. Emosiku hampir meledak sampai ubun-ubun! Adrian menjerit saat aku dengan ganasnya menarik telinganya kencang. Biar saja ia kesakitan, aku tidak peduli. Yang penting rasa kesalku bisa sedikit tersalurkan dengan melakukan kekerasan pada bocah bongsor itu. Jikapun nanti ia mengadu pada kakaknya aku cukup memiliki alasan untuk mendebatnya. Meskipun aku tau, Adrian bukan tipe anak yang suka mengadu. Ya, siapa yang tak akan marah coba jika bocah ingusan sepertinya melakukan hal yang tak sopan kepadaku. Tanpa permisi pula! Seharusnya sebagai orang yang lebih muda, Adrian lebih menghormatiku layaknya kakaknya sendiri. Bukannya malah menempelkan mulutnya di pipiku dengan sembarangan. Apalagi bibirnya itu belepotan minyak dan sambal!! Kalau nanti aku jerawatan bagaimana? Oh, sungguh aku kesal sekali mengingatnya. Jika sudah sampai kosan nanti aku harus cuci muka tujuh kali sampai bersih. Dan jika nanti tumbuh jerawat! pokoknya, aku tak mau tau, anak itu harus bertang
Pagi itu aku terbangun lebih awal dikarenakan getar ponsel yang terus berdering tiada henti. Kedua mata yang terasa sangat lengket masih enggan terbuka, namun suara berisik nada panggilan telepon tentu saja sangat mengganggu jika aku ingin melanjutkan tidur. Kedua tanganku meraba raba permukaan kasur berseprai merah marun, mencari-cari ponselku yang ternyata ada di bawah bantal. Segera saja kugeser icon hijau tanpa melihat siapa gerangan si penelepon di pagi buta yang amat sangat mengganggu tidurku. "Halo... " Aku bersuara malas mendengar suara gemeresak telepon yang tersambung. Namun beberapa saat tak ada sahutan. Aku pun sekali lagi mengucapkan halo, kali ini terpaksa membuka mata untuk melirik siapa penelepon tersebut. Dan ternyata mas Suryo. Kedua mataku membelalak. "Fi, ini Mas." Mendengar suaranya aku langsung bangkit dalam keadaan terduduk. Rasa kantukku mendadak hilang entah kemana. Sekali lagi ku lihat layar ponsel, dan benar itu mas Suryo. Benar itu memang su
Tok, tok... Aku sedang menggosok rambutku yang setengah kering dengan handuk saat suara pintu kosku diketuk. Jam dinding menunjukan pukul setengah tujuh, tentunya waktu yang masih sangat pagi untuk orang berkunjung. Dengan kedua alis mengernyit aku melangkahkan kaki yang terbalut jeans abu mendekati pintu, bertanya tanya siapa yang bertamu di luar sana. Saat pintu terbuka, aku terpaku sebentar dan hampir menanyakan tanya sebelum kemudian teringat bahwa aku memiliki janji dengan tetangga kosku satu itu. Mas jeremy tentu saja. Lelaki tampan yang sekarang sudah rapi dengan kaus panjang bergaris horizontal warna dongker. Kakinya yang panjang dibalut jeans senada, dan jangan lupakan sepatu convers hitam menyempurnakan penampilannya yang kasual. Melihatnya yang sangat menarik membuatku malu setengah mati. Bagaimana mungkin aku baru sadar dan berani beraninya membukakan pintu pada pria seganteng itu hanya dengan kaus kumal warna hitam pudar yang sebenarnya sudah tak layak pakai ini. Ap