Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa ditenangkan oleh orang yang tak disangka-sangka. Anak yang biasanya pecicilan, ceroboh, usil, manja tapi dari tadi malah terus memberiku perhatian yang hangat. Sebenarnya aku merasa haru, anak ini sangat mengingatkanku pada adikku di kampung. Membuatku senang memeluknya. Tapi tentu saja aku tak bisa lama-lama karena bagaimanapun juga dia itu adiknya koh Ari, bosku. Pukul sembilan malam, tokopun tutup. Aku mengambil tas selempangku yang berada di loker dan berpamitan dengan para karyawan lain. Keluar lewat pintu samping dan di sana sudah berdiri sosok Adrian dengan motor matiknya yang berwarna kuning terang. Meskipun terlihat agak norak karena sangat mencolok tapi itu adalah warna kesukaannya. Itu mengingatkannya pada rambut tokoh kartun Jepang favoritnya, Naruto. Aku selalu geli saat Adrian menceritakan salah satu anime terkenal itu dengan menggebu-gebu. Dia terlihat seperti pemuda kebanyakan yang penuh dengan semangat juga kekonyolan. Meski
Malam itu hujan turun lagi dan kali ini sangat deras. Membuat pengunjung yang semula menempati area luar dengan heboh berlari terbirit memasuki area dalam yang lebih aman dari terjangan air. Dan akibatnya, tempat duduk yang semula tak terlalu penuh kini terpaksa saling menerima mejanya harus berbagi dengan yang lain. Begitu juga yang dialami aku dan Adrian, kami yang semula asik ngobrol ini itu sambil mengganyang gurame bakar dan beberapa lalapan yang hampir memenuhi meja, harus cepat-cepat bergeser mempersilahkan sepasang sejoli yang meminta dua kursi yang tersedia di samping kami untuk dijadikan tempatnya duduk. Aku dan Adrian saling berpandangan sekaligus diam-diam meringis sembari mengambil dengan tergesa piring piring berisi nasi juga sambal untuk diletakan lebih ke pinggir agar dua orang pria wanita itu bisa menempati separuh meja. Setelah semuanya tertata rapi, aku dan Adrian yang kini duduk di hadapanku pun kembali menghempaskan bokong pada kursi. Meskipun tak terlalu nyam
Aku marah. Kesal. Emosiku hampir meledak sampai ubun-ubun! Adrian menjerit saat aku dengan ganasnya menarik telinganya kencang. Biar saja ia kesakitan, aku tidak peduli. Yang penting rasa kesalku bisa sedikit tersalurkan dengan melakukan kekerasan pada bocah bongsor itu. Jikapun nanti ia mengadu pada kakaknya aku cukup memiliki alasan untuk mendebatnya. Meskipun aku tau, Adrian bukan tipe anak yang suka mengadu. Ya, siapa yang tak akan marah coba jika bocah ingusan sepertinya melakukan hal yang tak sopan kepadaku. Tanpa permisi pula! Seharusnya sebagai orang yang lebih muda, Adrian lebih menghormatiku layaknya kakaknya sendiri. Bukannya malah menempelkan mulutnya di pipiku dengan sembarangan. Apalagi bibirnya itu belepotan minyak dan sambal!! Kalau nanti aku jerawatan bagaimana? Oh, sungguh aku kesal sekali mengingatnya. Jika sudah sampai kosan nanti aku harus cuci muka tujuh kali sampai bersih. Dan jika nanti tumbuh jerawat! pokoknya, aku tak mau tau, anak itu harus bertang
Pagi itu aku terbangun lebih awal dikarenakan getar ponsel yang terus berdering tiada henti. Kedua mata yang terasa sangat lengket masih enggan terbuka, namun suara berisik nada panggilan telepon tentu saja sangat mengganggu jika aku ingin melanjutkan tidur. Kedua tanganku meraba raba permukaan kasur berseprai merah marun, mencari-cari ponselku yang ternyata ada di bawah bantal. Segera saja kugeser icon hijau tanpa melihat siapa gerangan si penelepon di pagi buta yang amat sangat mengganggu tidurku. "Halo... " Aku bersuara malas mendengar suara gemeresak telepon yang tersambung. Namun beberapa saat tak ada sahutan. Aku pun sekali lagi mengucapkan halo, kali ini terpaksa membuka mata untuk melirik siapa penelepon tersebut. Dan ternyata mas Suryo. Kedua mataku membelalak. "Fi, ini Mas." Mendengar suaranya aku langsung bangkit dalam keadaan terduduk. Rasa kantukku mendadak hilang entah kemana. Sekali lagi ku lihat layar ponsel, dan benar itu mas Suryo. Benar itu memang su
Tok, tok... Aku sedang menggosok rambutku yang setengah kering dengan handuk saat suara pintu kosku diketuk. Jam dinding menunjukan pukul setengah tujuh, tentunya waktu yang masih sangat pagi untuk orang berkunjung. Dengan kedua alis mengernyit aku melangkahkan kaki yang terbalut jeans abu mendekati pintu, bertanya tanya siapa yang bertamu di luar sana. Saat pintu terbuka, aku terpaku sebentar dan hampir menanyakan tanya sebelum kemudian teringat bahwa aku memiliki janji dengan tetangga kosku satu itu. Mas jeremy tentu saja. Lelaki tampan yang sekarang sudah rapi dengan kaus panjang bergaris horizontal warna dongker. Kakinya yang panjang dibalut jeans senada, dan jangan lupakan sepatu convers hitam menyempurnakan penampilannya yang kasual. Melihatnya yang sangat menarik membuatku malu setengah mati. Bagaimana mungkin aku baru sadar dan berani beraninya membukakan pintu pada pria seganteng itu hanya dengan kaus kumal warna hitam pudar yang sebenarnya sudah tak layak pakai ini. Ap
"Kemarin aku lihat kamu pelukan sama Adrian didapur... " Aroma bubur ayam yang nikmat menggelitik hidung. Sajian nasi lembek penuh cita rasa dengan banyak suwiran daging ayam dan kacang itu sudah melambai di depan mata. Aku pun sudah meneguk liur sejak tadi karena lapar. Tapi tentu saja ucapan mas Jeremy tadi membuat acara menyendok sarapanku menjadi tertunda. Sorot mata itu begitu serius, meminta dengan tegas agar aku cepat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kemarin sore. Tapi bagaimana caranya aku menjelaskannya? Tidak mungkin aku berterus terang tentang aku yang menangis karena merindukan kekasih selingkuhanku dan kemudian dipeluk oleh bocah SMA yang kebetulan ada di sana. Aku juga tak mungkin menjelaskan kejadian di tempat makan, di mana Adrian berlaku tak sopan padaku. Itu memalukan sekali. Aku bahkan ingin menghapusnya dari otakku. "Kamu enggak ada hubungan sama anak itu kan, Fi? " tanya mas Jeremy kemudian. Aku pun melotot. "Ya, enggak lah, Mas. Bisa dimarahin k
Setelah kami selesai sarapan, mas Jeremy mengajakku sedikit berkeliling dengan berjalan kaki. Hitung hitung agar bubur yang barusan kami santap bisa cepat turun sehingga pencernaan pun akan lancar. Lagi pula kami masih memiliki sekitar tiga puluh menit sampai toko buka. Itu menyenangkan ternyata, berjalan pelan menyusuri trotoar yang tak terlalu ramai. Memperhatikan anak anak kecil berseragam taman kanak kanak yang digandeng orang tuanya menuju sekolah. Terlihat begitu riang gembira, kaki kaki mungil melompat lucu, sangat bersemangat memulai hari. Atau para pasangan lansia yang tengah berjalan pelan, bergandengan tangan penuh hangat. Senyuman lebar merekah , duduk di kursi panjang yang tersedia di depan taman kecil yang menghadap jalan raya. Aku berpikir, mungkinkah aku bisa merasakan kehangatan itu saat tua nanti. Mungkinkah aku akan memiliki seseorang yang bisa kupeluk dan memberikan senyuman lembut seperti itu nanti. Mungkinkah, mas Suryo bisa memberikan itu semua... Mung
Harus kuakui, dari pada menaiki motor besar milik mas Jeremy, membonceng motor matik milik Adrian jauh lebih nyaman bagiku. Meskipun tentu saja di sepanjang perjalanan bocah cerewet itu terus berceloteh tanpa henti, bercerita dan bertanya banyak hal, juga terkadang mencuri kesempatan mengelus lenganku yang melingkar di perutnya. Dia baru akan berhenti setelah kucubit, padahal sudah berkali kali kuperingatkan agar tak nakal, tapi tetap saja diulangi tanpa ada kapoknya. Teringat kejadian tadi, aku kembali melamun. Tanpa sadar mengeratkan pelukan dan menyenderkan kepala pada punggung Adrian. Aku masih tak percaya mas Jeremy menyukaiku. Dan aku meninggalkannya begitu saja setelah pernyataannya. Saat itu aku sangat terkejut. Aku kebingungan. Aku tak bisa berpikir jernih dan tau tau sudah berlari menuju motor Adrian dan berakhir memboncengnya. Apakah aku jahat? Aku pergi dengan mas Jeremy tapi malah meninggalkan pria itu dan memilih bersama orang lain. Aku pusing sekali memikirkan