Beberapa hari berlalu begitu saja setelah kejadian memusingkan yang ku alami bertubi-tubi. Keadaan tak ada yang membaik, aku dan mas Jeremy masih begitu canggung saat bertatap muka. Pria itu jarang memberiku senyuman setelah aku mengembalikan cincin pemberiannya yang sempat hilang--untung saja hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk menemukannya yang ternyata terselip di semak semak. Itu pun juga dibantu Adrian setelah aku memaksanya untuk ikut mencari. Meski pemuda itu terus menggerutu dan berkata biarkan saja hilang karena ia akan membelikannya nanti yang jauh lebih bagus dan mahal--aku langsung menggeplak kepalanya setelah itu. Bocah ini tak pernah di ajari cara menghargai pemberian orang sepertinya. Pengembalian cincin itupun secara tak langsung berarti aku menolak perasaan mas Jeremy padaku. Aku berkali kali meminta maaf saat mas Jeremy meminta sebuah kesempatan, namun aku sudah mengambil keputusan bulat. Pria itu adalah orang yang baik. Tak pantas mendapatkan orang sepertik
Air kotor yang tadi berada di dalam ember tumpah. Tongkat pel terlempar begitu saja di lantai, membentur beberapa kaleng kosong hingga menimbulkan bunyi kelontang nyaring. Aku menarik nafas dengan cepat saat Adrian mendorongku ke dinding dan mengukungku dengan kedua lengannya. Aku tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Tadi kami masih berdebat, aku berkali kali mengeluarkan penolakan saat Adrian terus merayu, memintaku pergi kencan. Setelah lelah meladeninya yang tak juga kehabisan kosa kata untuk membujuku pergi, aku pun berinisiatif untuk mengabaikannya. Tak memperdulikan setiap rengekannya dan hanya melanjutkan pekerjaanku mengepel lantai yang hampir selesai. Setelah beberapa waktu Adrian pun akhirnya diam. Mungkin ia pun lelah terus mengoceh. Aku pun kembali merasa damai. Berpikir mungkin mengabaikannya memang adalah cara terbaik agar Adrian menyerah dan akhirnya memilih pergi. Tapi tidak. Anak itu malah menendang ember berisi air kotor bekas pel dengan kencang. Memb
Langit seperti terbakar, berwarna jingga yang begitu kontras dengan warna hijau gelap pepohonan pinus di bawahnya yang luas membentang layaknya lautan. Aku meletakan kedua tanganku di atas pagar pembatas balkon yang terbuat dari baja. Menatapi pemandangan sore yang begitu memanjakan mata dengan penuh ketakjuban. Semilir angin membuai pipiku yang memerah oleh udara dingin pegunungan. Langkah kaki mendekat, aku terhenyak saat sepasang lengan merengkuhku dari belakang bersama dagu yang menancap di pundak. Aku mencoba untuk tak memberontak pelukan Adrian, karena tubuhnya terasa hangat. Pelukannya selalu membuat nyaman. "Suka? " Bisiknya sembari mengendusi rambutku yang terurai. Untung saja aku sudah keramas tadi pagi, jadi aku percaya baunya masih lumayan wangi. Setelah itu aku memberinya sebuah anggukan. "Rumah ini punya keluarga kamu? " Tanyaku berbasa basi. "Iya, dulunya punya kakek. Tapi udah diwarisin buat aku dua tahun lalu waktu beliau meninggal. " Penjelasan itu membuatk
Air shower yang deras membasahi tubuhku yang letih. Suhunya yang hangat sangat membantu melemaskan otot ototku yang tegang. Aku mendesah kesenangan, jarang jarang aku memiliki kesempatan memakai kamar mandi dengan fasilitas bagus dan mewah seperti ini. Tentunya sangat berbeda dengan kamar mandi yang berada di kamar kosku yang sempit dan seadanya. Shower box yang terbuat dari bahan kaca tebal transparan perlahan memburam oleh uap air hangat yang sedang mengucur deras. Aku mengusap cermin di hadapanku, menepuk nepuk pipi kemudian berbalik. Membiarkan punggungku yang kini dibasahi. Tetesannya yang menyentuh kulit memberikan sensasi seperti sedang di pijat. Enak sekali. Mataku kemudian bergulir memperhatikan satu persatu barang barang mewah yang ada di ruangan yang memiliki luas hampir sama dengan luas seluruh bagian kamar kosku ini. Mulanya aku juga keheranan dan bertanya tanya, mengapa orang kaya membutuhkan ruangan begitu besar hanya untuk di jadikan tempat mandi. Meskipun memang n
Suara tembakan membahana. Hantaman hantaman keras tercipta oleh dua kepalan tangan yang terus menyerang tak mau ada yang kalah. Bunyi pecahan kaca membuat siapa saja yang mendengar mengernyit ngeri. Raungan sirine mobil polisi yang kian mendekat tak dihiraukan. Malah makin membuat tegang. Apalagi tetesan merah yang bercecer di mana mana menambah kelam suasana perkelahian dua orang yang tengah berlangsung begitu seru. Tayangan film yang diputar di layar televisi sedang berada di bagian klimaksnya. Adrian sedari tadi sudah heboh berteriak kencang menyemangati aktor utama yang sedang berlaga. Keripik singkong di dalam toples dirauk ganas, remahannya jatuh berantakan--di permukaan sofa, di lantai juga sekitar mulutnya yang belepotan. Namun pemuda itu tak ambil peduli, matanya tetap fokus menonton ke layar televisi. Duduk dengan jarak setengah meter dari Adrian, aku merebahkan kepala pada punggung sofa. Dari tadi aku hanya diam, aku marah, moodku sedang buruk buruknya. Aku ingin pula
Sekarang kami sedang sarapan. Hanya sajian nasi goreng sederhana hasil dari tanganku sendiri. Mungkin tak seenak buatan mbok Siti, tapi anak itu untungnya tak banyak berkomentar malah terlihat lahap sekali. Entah doyan atau memang kelaparan. Oh ya, tentang mbok Siti, Adrian bilang biasanya beliau datang agak siang. Makanya aku inisiatif memasak sendiri karena aku berhasil membujuk Adrian untuk pulang kekota lebih cepat dari rencana. Anak itu terlihat enggan pada awalnya, sepertinya masih betah menghabiskan waktu di tempat yang sepi ini. Tapi aku beralasan ingin menghubungi keluargaku di kampung, minggu kemarin aku berkata akan pulang ke rumah, tapi karena kena hukuman rencanaku pun gagal. Dan aku malah lupa tak memberi kabar sama sekali dari kemarin untuk keluargaku, Sayangnya, aku juga tak bisa melakukannya disini karena sama sekali tak ada sinyal. Dan syukurlah, Adrian akhirnya menurut dan mau pulang lebih awal. Sebelum memutuskan untuk berkemas dan pulang, anak itu mengajakku ber
'Cepat kirim uang 10 juta, atau kabar peselingkuhanmu dengan pak lurah akan kembali tersebar.' Aku menatap nanar sebuah pesan singkat yang terpampang di layar ponsel. Tanpa sadar tubuhku gemetaran dengan hebat. Perasaan takut dan terancam mencuat begitu saja ke permukaan. Kenangan akan kejadian beberapa bulan lalu yang masih begitu jelas di ingatan berputar bagai kaset rusak. Setelah susah payah meredam, dalam sekali sentil mimpi buruk ku kembali muncul tanpa bisa kucegah. Tangan terkepal menahan amarah saat sedetik kemudian satu pesan kembali muncul. Dan kali ini bukan lagi berbentuk tulisan melainkan foto. Foto yang memperlihatkan pemandangan dimana aku dipeluk mesra oleh mas Suryo. Tubuhku langsung terasa lemas saat itu juga. Suasana toilet sedang sepi. Hanya ada satu wanita yang baru saja memasuki bilik untuk buang air kecil. Aku menahan dengan segenap kekuatan yang kupunya untuk tak menangis. Tangan mencengkram kuat pinggiran wastafel. Cermin nya yang bersih tanpa noda m
Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan dan menar