Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan d
"Tadi itu adiknya Ari, kan? " Mas Suryo masih mengelusi rambutku saat aku mengangguk membenarkan pertanyaannya. Rasanya nyaman sekali berada di pelukannya, apalagi aku baru saja meminum obat penurun panas. Efek sampingnya yang biasanya membuat ngantuk mulai terasa. "Namanya Adrian... " "Oh." "Cuma oh? " Aku mendongak, menemukan wajah mas Suryo yang sepat. Aku tertawa melihatnya. "Mukanya jelek banget kamu, Mas. " Pipinya ku tepuk tepuk kecil agar otot wajahnya bisa santai seperti semula. "Bisa bisanya dia panggil kamu bebeb sih? " "Kami pacaran, " "HAH!? " Dadanya ku elus elus agar lebih tenang. "Cuma pura-pura, Mas. " "Aku lihatnya dia naksir kamu beneran, Yang! " "Cinta monyet itu, mah. " Mas Suryo bangkit untuk duduk. Raut wajahnya makin keruh, dahi dan alisnya berkerut kerut. Pria ini sedang menahan kesal sampai kedua tangannya mengepal. Aku mendesah, ikut duduk di sampingnya. "Aku enggak punya perasaan apapun buat dia, kamu harus percaya aku cuma cinta sama kam
Malam ini sangat cerah. Langit yang hitam pekat dihiasi bulan sabit yang indah. Bintang pun bertaburan begitu banyaknya. Berlomba memamerkan kecantikannya yang paripurna. Menikmati waktu sore menjelang malam, kami memilih sebuah angkringan yang berada di pinggir jalan dekat alun alun kota. Tikar lebar telah digelar di bawah pohon beringin, aku dan mas Suryo duduk berdampingan di atasnya. Sembari menunggu menu yang sudah kami pesan, kami pun mulai berbincang serius. Aku sadar bukan hal mudah bagi mas Suryo menyempatkan waktu datang mengunjungiku. Aku bertanya tanya apakah sesuatu telah terjadi. Apakah rumah tangganya baik baik saja? Apakah mertuanya memperlakukan pria itu dengan baik? Memikirkan keadaan sesungguhnya tentang lelaki itu membuatku sampai lupa dengan masalahku sendiri. Sebuah pesan yang aku terima siang tadi, tentu saja masih melekat dan menghantuiku setiap saat. "Mbak Melinda sehat, Mas? " Pria itu mengangguk tanpa menoleh. Meraih tanganku dan mengelusi jari jema
Enam buah buntalan nasi kucing terhidang di hadapan kami. Empat untuk mas Suryo—porsi makannya memang banyak, ngomong ngomong—dan sisa dua untukku. Ada juga sepiring mendoan, seporsi sate kambing, beberapa lauk sederhana serta tak lupa lalapan untuk melengkapi santap malam kami hari ini. Mas Suryo terlihat makan dengan lahap, maklum katanya pria itu tak sempat makan dari siang. Jadi aku pun membiarkan saja ia makan seperti orang kesetanan, meskipun tentu saja jika ada orang yang melihatnya akan sangat memalukan. Aku bersyukur kami tak berada di dekat desa Ijo royo, jika iya kemungkinan besar akan ada orang dari desa kami yang mengenalinya. Dan itu pasti akan meruntuhkan reputasi seorang lurah muda yang seharinya terlihat berwibawa nyatanya malah memiliki kebiasaaan makan yang bar-bar. Yah memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Pria yang di luarnya dikaruniai berbagai kelebihan nyatanya juga memiliki banyak kekurangan. Entah itu dari sisi sifat, kepribadian, materi atau
Tak teras aku dan mas Suryo telah dua jam berada di wisata danau ini. Perlahan pengunjung mulai berkurang dan kami pun memutuskan untuk pulang karena malam semakin larut. Kami juga sudah puas menjelajahi tempat indah itu, sampai kakiku rasanya pegal karena mas Suryo sangat bersemangat menyeretku kesana kemari. Di tengah jalan aku tiba tiba merasa lapar, perut berbunyi keras dengan memalukan. Mas Suryo tertawa terbahak bahak membuat wajahku merah seperti tomat. Kami pun akhirnya mampir di sebuah tempat yang menjadi central jajanan di kota ini. Menyusuri warung kali lima dan gerobak para pedagang yang menjajakan jajanan lokal, tak membutuhkan waktu lama aku telah mendapatkan beberapa kantong keresek berisi batagor, cireng, sempol dan juga piscok. Mas Suryo sendiri hanya membeli sebungkus kebab dan juga satu cup es cincau. Pria itu sempat menertawaiku karena aku banyak sekali membeli jajan, tapi aku beralasan tenagaku habis karena diajak jalan terus tadi waktu di danau. Lagi pula belak
Esoknya aku terbangun seperti biasa. Mandi air dingin, sarapan nasi dengan selembar telur dadar juga kecap manis. Menu yang sangat sederhana memang tapi aku tetap bersyukur bisa mengisi perut di pagi ini sebagai penambah energy untuk berkerja. Bersiap selama sepuluh menit, aku baru saja selesai mengepang rambutku saat pintu kamar diketuk. Saat aku membukanya ada mas Jeremy yang tengah berdiri sembari memamerkan senyum berkilau. Satu tangannya terangkat saat pria itu mengucapkan kalimat ‘selamat pagi’ untuk menyapa. Aku hanya mengangguk kecil karena masih sedikit canggung. Sebenarnya aku agak bingung mengapa mas Jeremy pagi pagi sekali sudah datang, tapi sebelum sempat aku bertanya pria itu menjelaskan bahwa ia ingin mengajak untuk berangkat bersama. Aku melongok ke arah belakang tubuhnya, mencari motornya yang biasa ia bawa saat bekerja. Tapi benda besi itu tak ada disana. Aku langsung mengernyit bingung. “Aku enggak bawa motor.” Ucap pria itu seolah bisa membaca pikiranku. “K
Menjelang siang pengujung toko tak terlalu ramai. Lima menit lalu mas Jeremy pamit untuk makan siang lebih dulu dan jadilah aku menjaga lantai atas seorang diri. Sementara lantai bawah ada ms Rian dan juga mbak Shanty yang sepertinya tengah sibuk melayani beberapa anak SMP yang mencari reverensi buku kumpulan cerpen cerita rakyat. Di lantai dua ini pun aku lumayan sibuk kesana kemari karena pengunjung kali ini adalah dua orang anak sekolah dasar. Meskipun bersama orang tuanya dan aku sudah memberi arahan dimana tempat barang yang mereka perlukan namun tetap saja mereka terus menanyai tentang ini itu. Memang bukan hal baru pengunjung meminta pendapatku tentang pemilihan warna atau gambar pada sampul buku. Tapi biasanya jika aku sudah memberikan pendapatku mereka malah cenderung memilih yang sebaliknya. Kan aku jadi lumayan kesal. Tapi untunglah untuk kali ini anak anak kecil itu tak banyak menguras emosiku. Hanya terkadang malah berdebat kecil dengan ibunya yang memiliki tipe kesukaa
Setelah kejadian kemarin Adrian tak pernah datang lagi ke toko. Ia juga tak membalas pesanku apalagi mengangkat telepon. Dia seperti menghilang, ditelan bumi. Aku tak pernah menyangka ia akan menjauhiku seperti ini. Aku tau ia marah, mungkin juga sangat kecewa dengan sikaplu kemarin. Dan aku pun menyesal, sangat menyesal sampai rasanya ingin menangis. Aku tau aku sudah keterlaluan. Aku tau Adrian berhak mengabaikanku. Tapi aku ternyata tak sanggup untuk menanggung rasa bersalahku lebih lama. Ini tak sama seperti saat aku merasa bersalah pada mas Jeremy, kali ini beban yang mengganjal di dalam dada lebih besar dan jauh lebih berat. Mungkin karena aku memang pada dasarnya sadar bahwa disini akulah yang paling bersalah, meskipun sikap Adrian sangat menjengkelkan tapi tak seharusnya aku memperlakukan anak itu dengan kasar. Aku melempar barang pemberiannya tepat di depan matanya. Membuangnya tanpa perasaan. Aku tak mengerti mengapa kemarin aku sampai melakukan itu. Aku tak pernah se