"Tadi itu adiknya Ari, kan? " Mas Suryo masih mengelusi rambutku saat aku mengangguk membenarkan pertanyaannya. Rasanya nyaman sekali berada di pelukannya, apalagi aku baru saja meminum obat penurun panas. Efek sampingnya yang biasanya membuat ngantuk mulai terasa. "Namanya Adrian... " "Oh." "Cuma oh? " Aku mendongak, menemukan wajah mas Suryo yang sepat. Aku tertawa melihatnya. "Mukanya jelek banget kamu, Mas. " Pipinya ku tepuk tepuk kecil agar otot wajahnya bisa santai seperti semula. "Bisa bisanya dia panggil kamu bebeb sih? " "Kami pacaran, " "HAH!? " Dadanya ku elus elus agar lebih tenang. "Cuma pura-pura, Mas. " "Aku lihatnya dia naksir kamu beneran, Yang! " "Cinta monyet itu, mah. " Mas Suryo bangkit untuk duduk. Raut wajahnya makin keruh, dahi dan alisnya berkerut kerut. Pria ini sedang menahan kesal sampai kedua tangannya mengepal. Aku mendesah, ikut duduk di sampingnya. "Aku enggak punya perasaan apapun buat dia, kamu harus percaya aku cuma cinta sama kam
Malam ini sangat cerah. Langit yang hitam pekat dihiasi bulan sabit yang indah. Bintang pun bertaburan begitu banyaknya. Berlomba memamerkan kecantikannya yang paripurna. Menikmati waktu sore menjelang malam, kami memilih sebuah angkringan yang berada di pinggir jalan dekat alun alun kota. Tikar lebar telah digelar di bawah pohon beringin, aku dan mas Suryo duduk berdampingan di atasnya. Sembari menunggu menu yang sudah kami pesan, kami pun mulai berbincang serius. Aku sadar bukan hal mudah bagi mas Suryo menyempatkan waktu datang mengunjungiku. Aku bertanya tanya apakah sesuatu telah terjadi. Apakah rumah tangganya baik baik saja? Apakah mertuanya memperlakukan pria itu dengan baik? Memikirkan keadaan sesungguhnya tentang lelaki itu membuatku sampai lupa dengan masalahku sendiri. Sebuah pesan yang aku terima siang tadi, tentu saja masih melekat dan menghantuiku setiap saat. "Mbak Melinda sehat, Mas? " Pria itu mengangguk tanpa menoleh. Meraih tanganku dan mengelusi jari jema
Enam buah buntalan nasi kucing terhidang di hadapan kami. Empat untuk mas Suryo—porsi makannya memang banyak, ngomong ngomong—dan sisa dua untukku. Ada juga sepiring mendoan, seporsi sate kambing, beberapa lauk sederhana serta tak lupa lalapan untuk melengkapi santap malam kami hari ini. Mas Suryo terlihat makan dengan lahap, maklum katanya pria itu tak sempat makan dari siang. Jadi aku pun membiarkan saja ia makan seperti orang kesetanan, meskipun tentu saja jika ada orang yang melihatnya akan sangat memalukan. Aku bersyukur kami tak berada di dekat desa Ijo royo, jika iya kemungkinan besar akan ada orang dari desa kami yang mengenalinya. Dan itu pasti akan meruntuhkan reputasi seorang lurah muda yang seharinya terlihat berwibawa nyatanya malah memiliki kebiasaaan makan yang bar-bar. Yah memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Pria yang di luarnya dikaruniai berbagai kelebihan nyatanya juga memiliki banyak kekurangan. Entah itu dari sisi sifat, kepribadian, materi atau
Tak teras aku dan mas Suryo telah dua jam berada di wisata danau ini. Perlahan pengunjung mulai berkurang dan kami pun memutuskan untuk pulang karena malam semakin larut. Kami juga sudah puas menjelajahi tempat indah itu, sampai kakiku rasanya pegal karena mas Suryo sangat bersemangat menyeretku kesana kemari. Di tengah jalan aku tiba tiba merasa lapar, perut berbunyi keras dengan memalukan. Mas Suryo tertawa terbahak bahak membuat wajahku merah seperti tomat. Kami pun akhirnya mampir di sebuah tempat yang menjadi central jajanan di kota ini. Menyusuri warung kali lima dan gerobak para pedagang yang menjajakan jajanan lokal, tak membutuhkan waktu lama aku telah mendapatkan beberapa kantong keresek berisi batagor, cireng, sempol dan juga piscok. Mas Suryo sendiri hanya membeli sebungkus kebab dan juga satu cup es cincau. Pria itu sempat menertawaiku karena aku banyak sekali membeli jajan, tapi aku beralasan tenagaku habis karena diajak jalan terus tadi waktu di danau. Lagi pula belak
Esoknya aku terbangun seperti biasa. Mandi air dingin, sarapan nasi dengan selembar telur dadar juga kecap manis. Menu yang sangat sederhana memang tapi aku tetap bersyukur bisa mengisi perut di pagi ini sebagai penambah energy untuk berkerja. Bersiap selama sepuluh menit, aku baru saja selesai mengepang rambutku saat pintu kamar diketuk. Saat aku membukanya ada mas Jeremy yang tengah berdiri sembari memamerkan senyum berkilau. Satu tangannya terangkat saat pria itu mengucapkan kalimat ‘selamat pagi’ untuk menyapa. Aku hanya mengangguk kecil karena masih sedikit canggung. Sebenarnya aku agak bingung mengapa mas Jeremy pagi pagi sekali sudah datang, tapi sebelum sempat aku bertanya pria itu menjelaskan bahwa ia ingin mengajak untuk berangkat bersama. Aku melongok ke arah belakang tubuhnya, mencari motornya yang biasa ia bawa saat bekerja. Tapi benda besi itu tak ada disana. Aku langsung mengernyit bingung. “Aku enggak bawa motor.” Ucap pria itu seolah bisa membaca pikiranku. “K
Menjelang siang pengujung toko tak terlalu ramai. Lima menit lalu mas Jeremy pamit untuk makan siang lebih dulu dan jadilah aku menjaga lantai atas seorang diri. Sementara lantai bawah ada ms Rian dan juga mbak Shanty yang sepertinya tengah sibuk melayani beberapa anak SMP yang mencari reverensi buku kumpulan cerpen cerita rakyat. Di lantai dua ini pun aku lumayan sibuk kesana kemari karena pengunjung kali ini adalah dua orang anak sekolah dasar. Meskipun bersama orang tuanya dan aku sudah memberi arahan dimana tempat barang yang mereka perlukan namun tetap saja mereka terus menanyai tentang ini itu. Memang bukan hal baru pengunjung meminta pendapatku tentang pemilihan warna atau gambar pada sampul buku. Tapi biasanya jika aku sudah memberikan pendapatku mereka malah cenderung memilih yang sebaliknya. Kan aku jadi lumayan kesal. Tapi untunglah untuk kali ini anak anak kecil itu tak banyak menguras emosiku. Hanya terkadang malah berdebat kecil dengan ibunya yang memiliki tipe kesukaa
Setelah kejadian kemarin Adrian tak pernah datang lagi ke toko. Ia juga tak membalas pesanku apalagi mengangkat telepon. Dia seperti menghilang, ditelan bumi. Aku tak pernah menyangka ia akan menjauhiku seperti ini. Aku tau ia marah, mungkin juga sangat kecewa dengan sikaplu kemarin. Dan aku pun menyesal, sangat menyesal sampai rasanya ingin menangis. Aku tau aku sudah keterlaluan. Aku tau Adrian berhak mengabaikanku. Tapi aku ternyata tak sanggup untuk menanggung rasa bersalahku lebih lama. Ini tak sama seperti saat aku merasa bersalah pada mas Jeremy, kali ini beban yang mengganjal di dalam dada lebih besar dan jauh lebih berat. Mungkin karena aku memang pada dasarnya sadar bahwa disini akulah yang paling bersalah, meskipun sikap Adrian sangat menjengkelkan tapi tak seharusnya aku memperlakukan anak itu dengan kasar. Aku melempar barang pemberiannya tepat di depan matanya. Membuangnya tanpa perasaan. Aku tak mengerti mengapa kemarin aku sampai melakukan itu. Aku tak pernah se
Perut sudah kenyang dan hubungan aku dan Adrian pun sudah kembali membaik. Anak itu sudah kembali banyak berceloteh. Sifatnya yang manjapun keluar dengan alami. Meminta ini itu dengan matanya yang terus bersinar memohon karena terkadang aku malas meladeninya. Tapi kali ini ia sudah mulai bisa menjaga sikap. Mulai menegerti untuk mengendalikan diri. Aku juga berkata bahwsa tak semua keinginannya bisa kuturuti. Jika menginginkan sesuatu berjalan dengan kemauannya ia juga harus berlatih untuk bersabar, ia tak boleh terus memelihara sifat pemaksanya. Aku juga memintanya agar berhenti mengumumkan tentang hubungan kami pada orang lain. Mulanya ia tak setuju tapi ketika aku memberinya pilihan untuk menurutiku atau putus akhirnya anak itu mau mengalah. “Jadi mbak maunya kita backstreet, gitu?” Adrian menatapku dengan alisnya yang berkerut hampir menyatu. Aku memasukan kentang goreng kedalam mulut sebelum mengangguk. “Kenapa sih, harus sembunyi-sembunyi segala? Aku kan pengen pamerin pa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su
Tak mendapatkan respon positif seperti yang aku bayangkan sebelumnya--bahwa Mas Suryo akan senang melihatku berpakaian minim--aku yang cukup kecewa akhirnya hanya bisa menunduk setelah mencelupkan diri pada air kolam. Kepulan uap hangat terangkat ke udara, menciptakan kabut tipis di antara udara pegunungan yang dingin. Aku duduk di samping suamiku yang terus terdiam. Di antara kami ada jarak, tak terlalu lebar memang, namun tetap saja aku merasa sedih karena Mas Suryo benar-benar tak menanggapi dengan antusias usahaku untuk menyenangkannya. Apa sekarang ia berpikir aku norak? Apa kain kurang bahan yang kupakai ini sangat jelek sehingga dia bahkan tak berniat melirikku? Apa aku terlihat murahan? Tapi dia suamiku. Bukankah hal yang wajar memakai pakaian seksi di depan suami? Apakah sebenarnya ia tak suka jika pasangannya berlaku agresif seperti ini? Apa aku sudah berlebihan? "Mas? " Aku memanggil dengan lirih. Menautkan jemari dan meliriknya yang sekarang seolah menjelma jadi patu
Aku menatap takjub sekelilingku yang menampilkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini aku bisa melihat rumah-rumah di bawah sana terlihat begitu kecil. Di bawah payung lebay yang menaungi kami dari terik matahari, aku dan Mas Suryo rehat sejenak setelah menempuh perjalanan panjang. Ia bilang penginapan yang kami tuju masih setengah jam lagi sampai. Karena hari sudah siang dan kami merasa lapar, kami pun akhirnya mampir dan memesan satu set nasi rames di warung pinggir jalan. Jalanan cukup ramai karena ini memang sedang masanya libur panjang. Banyak orang dari berbagai kota yang datang ke daerah pegunungan ini untuk melepas penat. Pemandangan serba hijau ini tentunya sangat tepat untuk dijadikan penyegar mata. Menyeruput teh hangat, aku menyendok menu makan siangku dengan riang. Di hadapanku Mas Suryo sedang mengunyah setusuk sate kambing, nasi ramesnya sudah lebih dulu ia habiskan sejak tadi. Seperti biasa, perutnya yang seperti karet itu tak akan kenyang sebelum dijejali seti
Aku menggeliat kecil dan membuka mata. Meraba bawah bantal dan menemukan ponsekku berada. Sudah hampir pukul setengah lima pagi. Menoleh ke samping, aku menemukan Mas Suryo yang masih terlelap. Ia tidur dalam posisi tengkurap hingga punggungnya yang lebar dan polos terpampang nyata pada dunia. Mengguncang bahunya beberapa kali, aku kemudian berbisik lirih di dekat telinganya. "Mas, bangun. Udah mau subuh. Mandi yuk. "Pria itu hanya menggeliat. Matanya enggan terbuka. Aku terkekeh kecil dan dengan sabar memberikan beberapa kecupan di pipinya. "Mas... Ayo bangun.""Ngantuk, Yang.... Hngggg. " Kini pria itu bergerak telentang. Aku menunggu hingga akhirnya matanya perlahan terbuka sebelum beringsut dan memberinya satu kecupan lagi tepat di rahangnya yang tegas. "Yuk, mandi sekarang. Mumpung masih sepi. "Ia menolehkan kepala padaku sebentar sebelum mengangguk. Tapi sebelum benar-benar bangkit, tangannya lebih dulu terulur meraih pinggangku mendekat hingga tubuh kami yang masih polos d
"Mas? " Bagaimana bisa suamiku ada di sini sekarang? Apakah ia tahu bahwa aku pergi dan langsung menyusul kesini? "Yang! " serunya sembari mencopot helm dengan tergesa. "Kamu kenapa ninggalin aku?! " Aku tak tau mengapa ia kesal karena seharusnya aku lebih kesal sekarang. Memang siapa yang tak akan kesal jika disuruh membiarkan suaminya menginap dengan wanita lain? Meskipun Mbak Melinda masih berstatus istrinya tapi tetap saja aku sakit hati. Apalagi setelah itu aku juga diusir begitu saja tanpa perasaan. Hewan pun juga bakalan menangis jika diperlakukan dengan begitu tega! Apalagi manusia biasa sepertiku? "Kenapa? Bukannya ibumu menyuruh Mas buat nginep sama Mbak Melinda? " Aku menatapnya memicing. Aku tau Mas Suryo tidak salah karena ia tak tau dengan rencana ibu mertua, tapi entah mengapa aku ingin melampiaskan kekesalanku padanya. "Kenapa Mas malah nyusul kesini? Sana tidur sama menantu kesayangan ibumu itu. Dia pingin kalian rujuk kan! " "Kok kamu marah-marah sih, Yang?
"Suryo, kamu mau menginap kan bersama istrimu? "Makan malah telah usai setengah jam yang lalu. Kini keluarga itu sedang mengobrol ringan di ruang tengah yang tak begitu jauh dari dapur, tempatku yang sedang menyelesaikan pekerjaan mencuci piring. Menajamkan telinga, samar-samar aku bisa mendengar Bu Dewi menanyakan pada Mas Suryo tentang acara menginap. Malam memang sudah larut, wajar jika sang ibu meminta anaknya menghabiskan malam di rumahnya yang terasa kosong. Apa lagi setelah menikah Mas Suryo sangat jarang datang ke sini. Mau berapapun usia sang anak, seorang ibu pasti akan merindukan anaknya untuk sesekali pulang jika berada jauh dari pandangan. "Rumah Suryo kan dekat, Ma. Ngapain pakai nginap segala. ""Kan sudah lama kamu enggak nginap di sini, lho. Enggak kangen apa sama keluarga? ""Bukan gitu ... "Aku tau Mas Suryo pasti memikirkan posisiku yang masih belum merasa nyaman ketika berbaur dengan anggota keluarga ini. Pak Purwoko memang cukup ramah, tapi istrinya tidaklah