Perut sudah kenyang dan hubungan aku dan Adrian pun sudah kembali membaik. Anak itu sudah kembali banyak berceloteh. Sifatnya yang manjapun keluar dengan alami. Meminta ini itu dengan matanya yang terus bersinar memohon karena terkadang aku malas meladeninya. Tapi kali ini ia sudah mulai bisa menjaga sikap. Mulai menegerti untuk mengendalikan diri. Aku juga berkata bahwsa tak semua keinginannya bisa kuturuti. Jika menginginkan sesuatu berjalan dengan kemauannya ia juga harus berlatih untuk bersabar, ia tak boleh terus memelihara sifat pemaksanya. Aku juga memintanya agar berhenti mengumumkan tentang hubungan kami pada orang lain. Mulanya ia tak setuju tapi ketika aku memberinya pilihan untuk menurutiku atau putus akhirnya anak itu mau mengalah. “Jadi mbak maunya kita backstreet, gitu?” Adrian menatapku dengan alisnya yang berkerut hampir menyatu. Aku memasukan kentang goreng kedalam mulut sebelum mengangguk. “Kenapa sih, harus sembunyi-sembunyi segala? Aku kan pengen pamerin pa
Setelah susah payah mencari keberadaan kuci kamar mas Jeremy yang semula entah berada dimana—kami sudah mengobrak abrik di semua tempat baik itu bawah karpet, pot bunga, kusen pintu, kolong meja bahkan sampai saluran got di depan kamar. Tapi tak ada. Aku bahkan hampir mengusulkan untuk membawa mas Jeremy ke dalam kosanku saja tapi Adrian langsung menolaknya keras. Ia tidak terima ada lelaki lain yang memasuki kamarku selain dirinya. Tidak tau saja bahwa kemarin mas suryo sudah lebih dulu melakukannya. Sebagai jalan terakhir, Adrian pun berinisiatif mendekat pada mas Jeremy yang kami dudukan di kursi depan kamar. Aku sempat bertanya karena penasaran apa yang akan ia lakukan, apalagi setelah itu Adrian terlihat meraba raba tubuh pria yang lebih tua. Baru saja aku akan memarahinya karena ia bersikap tak sopan lagi, tangannya sudah terangkat dengan sebuah benda mungil dari besi berada di genggaman. Anak itu tersenyum lebar. Senang karena merasa dirinya jenius dapat menemukan kunci yang
Semalam aku bergadang entah sanpai jam berapa. Bolak balik mengganti kompres dan mengecek suhu mas Jeremy yang tak juga turun. Aku sangat khawatir dengan kondisinya. Wajah pucat namun dahinya banyak mengeluarkan keringat. Mas Jeremy juga sering mengigau kedinginan di dalam tidurnya. Membuatku harus kembali pulang ke kamar kosku untuk mengambil selimut tambahan. Sempat berfikir untuk membawanya ke rumah sakit karena takut sakitnya semakin parah, namun segera kuurungkan begitu kurasakan suhu badannya berangsur turun beberapa saat kemudian. Mungkin efek obat penurun panasnya mulai bekerja. Cukup lega karena kondisi mas Jeremy yang mulai membaik, aku malah jatuh ketiduran. Dan baru terbangun di saat matahari sudah meninggi. Aku menggaruk leher sesaat setelah aku membuka mata. Kupandangi plafon putih yng berada tepat di atas kepala dengan pikiran yang masih linglung. Rasanya ada yang aneh, aku merasa tubuhku dalam keadaan baik baik saja, tak merasakan pegal sama sekali padahal semalam j
Sampai di kosanku aku langsung mencuci beras untuk kumasak di rice cooker. Sambil menunggu nasinya matang, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baju baju kotor ku rendam lebih dulu di dalam ember, aku berencana mencucinya siang nanti saja. Lima belas menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan sepotong handuk yang membalut tubuh. Aku berjalan kea rah lemari dan memilih pakain apa yang akan ku kenakan. Kaus tanpa lengan dengan celana training menjadi pilihanku pada akhirnya. Segera ku kenakan tanpa membuang waktu lagi. Nasi belum matang karena tadi aku memang memasak dalam jumlah yang lebih banyak. Aku kemudian melangkah kea rah meja dimana kompor kecilku berada. Dan aku cukup terkejut karena ternyata aku masih memiliki dua buah terong berukuran cukup besar. Dan seperti dugaanku, aku juga memilik beberapa butir telur yang aku beli beberapa hari kemarin. Terong kuambil dan kubawa menuju kamar mandi untuk mencucinya. Setelah itu kupotong potong dan di goreng. Sepert
Aku membanting pintu dengan sekuat tenaga. Tangis bercucuran saat akhirnya aku bisa keluar dari ruangan penuh rasa sakit itu dan dilanjutkan berlari kecang. Jantungku berdebar dengan begitu kencang. Meski tubuh lemas dan kaki gemetaran aku tetap mengaynkan langkah untuk segera pergi dari sini. Aku takut seseorang yang sedang meringkuk di dalam sana bisa mengejarku dan menyereretku kembali. Aku tak mau. Aku takut. Tiba di belokan jalan, kakiku tersandung batu kerikil dan menyebabkan aku jatuh terguling. Rasa perih yang menyengat terasa di bagian siku. Aku yakin ada luka lecet yang cukup lebar disana. Namun semua itu kutepis begitu aku menoleh kebelakang. Meskipun taka da orang tetap saja rasa takut it uterus menhantuiku. Membuatku harus segera bangkit dan mengabaikan setiap luka yang mendera. Aku berlari dengan terpincang pincang. Tangisku pun masih sesenggukan. Saat sampai di depan kamar kosku, aku bisa melihat sebuah mobil hitam sudah terparkir di sana. Ketika pintunya terbu
Pintu sudah diketuk sejak tadi. Sementara aku dan mas Suryo hanya bisa beradu tatapan karena terserang panik. Jika sedang dalam keadaan kacau seperti ini biasanya otak akan macet dan susah diajak berkerja sama. Sementara kekasihku juga tak banyak membantu, malah makin membuatku pusing karena terus bergerak abstrak, mondar mandir, meremas remas tangan, kadang juga kejang leher. Yah, ada kalanya kelakuan pria itu memang aneh bin menggelikan. Aku hampir saja menjambak rambutku karena frustasi sebelum sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala. Aku langsung menarik lengan mas Suryo dan berbisik di telinganya. Setelah mendengar apa yang aku ucapkan tadi, pria itu langsung melesat menuju lemari. Mengobrak abrik isinya dengan brutal. Jika sedang dalam keadaan biasa aku pasti akan meneriakinya karena berani beraninya memberantaki lipatan bajuku. Tapi karena saat ini sedang gawat darurat, aku pun hanya bisa mendesah dengan pasrah sembari menepuk kening. Setelah menemukan satu kain yang dicari
Matahari sudah sangat tinggi, menandakan hari mulai beranjak siang. Layar ponsel milik Adrian yang ditinggal di atas bangku menunjukan pukul sebelas. Panttas saja aku sudah kelaparan. Dari pagi aku belum sempat meemasukan satu suapun makanan ke dalam perut. Waktu membawakan sarapan untuk orang itu pun aku sama sekali tak sempat untuk mencicipinya. Untung saja tadi ada tukang batagor yang lewat di depan kamar kos. Adrian yang tak sengaja mendengar bunyi perutku yang keroncongan pun langsung menertawaiku—aku yang malu langsung menempeleng kepalanya—tapi setelah itu si bocah puber lantas bangkit untuk memesankan dua porsi pada bapak yang menjual batagor tadi. Aku menerima satu piring penuh jajanan itu saat Adrian datang dan mengucapkan terimakasih paling tulus yang pernah aku ucapkan pada lelaki itu. Adria hanya berdecak, tapi kemudian tertawa juga melihatku yang makan dengan lahap. Cacingku benar benar tak sabaran sih. Hanya membutuhkan beberapa menit sampai akhirnya jajanan itu lud
“Suara apa itu Mbak?” “Uh, enggak tau…” aku meneguk ludah. “Ayo samperin. Taktnya ada maling masuk kamar.” Aku langsung panik. Adrian yang sudah semangat meringkus pelaku pembuat keributan di dalam sana segera kutahan lengannya. “Enggak usah, Dri. Palingan itu kucing.” “Tapi mbak kayaknya taddu aku kayak denger suara orang bilang aduh. Enggak mungkin ada kucing bisa ngomong kayak gitu.” Aku menggeleng keras. “Kamu pasti salah denger!” “Enggak, Mbak. Aku yakin itu—“ suara dering telepon menginterupsi. Aku langsung mengucap syukur di dalam hati dan bisa bernafas lega begitu Adrian merogoh kantungnya dimana ponsel miliknya bergetar getar. “Ini ngapain sih kokoh pake telepon segala? Ck” anak itu menggerutu. Ingin mengabaikan telepon itu dengan mengusap icon merah namun aku langsung mencegahnya. Masa telepon kakak sendiri di rijek begitu. Enggak sopan sama orang tua nih anak. “Jawab aja, Dri. Siapa tau penting.” Mengehembuskan nafas dengan kasar Adrian akhirnya menuru