Sampai di kosanku aku langsung mencuci beras untuk kumasak di rice cooker. Sambil menunggu nasinya matang, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baju baju kotor ku rendam lebih dulu di dalam ember, aku berencana mencucinya siang nanti saja. Lima belas menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan sepotong handuk yang membalut tubuh. Aku berjalan kea rah lemari dan memilih pakain apa yang akan ku kenakan. Kaus tanpa lengan dengan celana training menjadi pilihanku pada akhirnya. Segera ku kenakan tanpa membuang waktu lagi. Nasi belum matang karena tadi aku memang memasak dalam jumlah yang lebih banyak. Aku kemudian melangkah kea rah meja dimana kompor kecilku berada. Dan aku cukup terkejut karena ternyata aku masih memiliki dua buah terong berukuran cukup besar. Dan seperti dugaanku, aku juga memilik beberapa butir telur yang aku beli beberapa hari kemarin. Terong kuambil dan kubawa menuju kamar mandi untuk mencucinya. Setelah itu kupotong potong dan di goreng. Sepert
Aku membanting pintu dengan sekuat tenaga. Tangis bercucuran saat akhirnya aku bisa keluar dari ruangan penuh rasa sakit itu dan dilanjutkan berlari kecang. Jantungku berdebar dengan begitu kencang. Meski tubuh lemas dan kaki gemetaran aku tetap mengaynkan langkah untuk segera pergi dari sini. Aku takut seseorang yang sedang meringkuk di dalam sana bisa mengejarku dan menyereretku kembali. Aku tak mau. Aku takut. Tiba di belokan jalan, kakiku tersandung batu kerikil dan menyebabkan aku jatuh terguling. Rasa perih yang menyengat terasa di bagian siku. Aku yakin ada luka lecet yang cukup lebar disana. Namun semua itu kutepis begitu aku menoleh kebelakang. Meskipun taka da orang tetap saja rasa takut it uterus menhantuiku. Membuatku harus segera bangkit dan mengabaikan setiap luka yang mendera. Aku berlari dengan terpincang pincang. Tangisku pun masih sesenggukan. Saat sampai di depan kamar kosku, aku bisa melihat sebuah mobil hitam sudah terparkir di sana. Ketika pintunya terbu
Pintu sudah diketuk sejak tadi. Sementara aku dan mas Suryo hanya bisa beradu tatapan karena terserang panik. Jika sedang dalam keadaan kacau seperti ini biasanya otak akan macet dan susah diajak berkerja sama. Sementara kekasihku juga tak banyak membantu, malah makin membuatku pusing karena terus bergerak abstrak, mondar mandir, meremas remas tangan, kadang juga kejang leher. Yah, ada kalanya kelakuan pria itu memang aneh bin menggelikan. Aku hampir saja menjambak rambutku karena frustasi sebelum sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala. Aku langsung menarik lengan mas Suryo dan berbisik di telinganya. Setelah mendengar apa yang aku ucapkan tadi, pria itu langsung melesat menuju lemari. Mengobrak abrik isinya dengan brutal. Jika sedang dalam keadaan biasa aku pasti akan meneriakinya karena berani beraninya memberantaki lipatan bajuku. Tapi karena saat ini sedang gawat darurat, aku pun hanya bisa mendesah dengan pasrah sembari menepuk kening. Setelah menemukan satu kain yang dicari
Matahari sudah sangat tinggi, menandakan hari mulai beranjak siang. Layar ponsel milik Adrian yang ditinggal di atas bangku menunjukan pukul sebelas. Panttas saja aku sudah kelaparan. Dari pagi aku belum sempat meemasukan satu suapun makanan ke dalam perut. Waktu membawakan sarapan untuk orang itu pun aku sama sekali tak sempat untuk mencicipinya. Untung saja tadi ada tukang batagor yang lewat di depan kamar kos. Adrian yang tak sengaja mendengar bunyi perutku yang keroncongan pun langsung menertawaiku—aku yang malu langsung menempeleng kepalanya—tapi setelah itu si bocah puber lantas bangkit untuk memesankan dua porsi pada bapak yang menjual batagor tadi. Aku menerima satu piring penuh jajanan itu saat Adrian datang dan mengucapkan terimakasih paling tulus yang pernah aku ucapkan pada lelaki itu. Adria hanya berdecak, tapi kemudian tertawa juga melihatku yang makan dengan lahap. Cacingku benar benar tak sabaran sih. Hanya membutuhkan beberapa menit sampai akhirnya jajanan itu lud
“Suara apa itu Mbak?” “Uh, enggak tau…” aku meneguk ludah. “Ayo samperin. Taktnya ada maling masuk kamar.” Aku langsung panik. Adrian yang sudah semangat meringkus pelaku pembuat keributan di dalam sana segera kutahan lengannya. “Enggak usah, Dri. Palingan itu kucing.” “Tapi mbak kayaknya taddu aku kayak denger suara orang bilang aduh. Enggak mungkin ada kucing bisa ngomong kayak gitu.” Aku menggeleng keras. “Kamu pasti salah denger!” “Enggak, Mbak. Aku yakin itu—“ suara dering telepon menginterupsi. Aku langsung mengucap syukur di dalam hati dan bisa bernafas lega begitu Adrian merogoh kantungnya dimana ponsel miliknya bergetar getar. “Ini ngapain sih kokoh pake telepon segala? Ck” anak itu menggerutu. Ingin mengabaikan telepon itu dengan mengusap icon merah namun aku langsung mencegahnya. Masa telepon kakak sendiri di rijek begitu. Enggak sopan sama orang tua nih anak. “Jawab aja, Dri. Siapa tau penting.” Mengehembuskan nafas dengan kasar Adrian akhirnya menuru
Aku meringkuk di atas pangkuan mas Suryo yang terus menggumamkan kata maaf. Wajah sembab terbenam di lehernya yang kini sudah basah oleh air mataku. Isakan isakan lirih keluar bersamaan nafas yang terhembus dengan tersendat. Dadaku rasanya sesak sekali, sepeti ditidihi batu besar. Bayangan orang itu masih belum sepenuhnya hilang. Meskipun aku dipeluk erat oleh kekasihku sendiri tapi rasa takut itu tak juga mau pergi. Ia seperti hantu yang bergentayangan mengganggu pikiranku. Membuat hatiku terus dilanda gelisah karena pikiran buruk selalu datang sewaktu waktu. Aku merasa buruk karena aku tak bisa mencegah otaku untuk mememutar kembali kejadian tadi pagi. Bagaimana orang itu menciumku. Bagaimana tangannya berlari kesana kemari merabaku. Bagamana tatapannya yang menakutkan, sentuhannya yang membuatku gemetaran. Ia bukanlah lagi pria baik yang selama ini kukenal. Ia adalah monster yang ingin mencabikku menjadi serpihan. Ia menyakitiku. Ia mengecewakanku dengan sangat buruk. Aku sung
Aku terduduk sendirian sembari menatap jendela yang tak tertutup tirai. Mas suryo bilang sekarang kami berada di sebuah penginapan milik temannya yang terletak tak jauh dari tepi pantai. Dan aku baru menyadarinya bahwa samar samar aku bisa mendengar debuaran ombak. Itu membuatku sangat antusias karena ingin cepat cepat bisa bermain pasir. Memijakkan kakiku pada butiran halus itu dan tertawa menhindari terjangan air yang mencoba menjilati telapak kaki. Tapi tentu saja aku tak bisa melakukannya sekarang. Bukan hanya karena keadaan sudah malam, tapi juga karena kondisi tubuhku sendiri yang masih penuh dengan beberapa luka. Sebenarnya bengkak di kakiku yang terkilir sudah tak terlalu parah seperti tadi siang. Itu karena mas Suryo sudah memijitnya tadi. Ia mengoleskan banyak minyak urut dan juga membalurkan salep di tiap lukaku yang mulai membaik. Semoga saja bisa cepat sembuh agar aku bisa bersenang senang di pantai besok tanpa perlu merepotkan orang lain untuk membantuku bergerak. Aku
Pagi harinya aku terbangun seorang diri. Kasur di sampingku kosong dan terasa dingin, sepertinya mas Suryo sudah lama terbangun dan pergi. Aku mendesah kecil, merasa sedikit kecewa karena pria itu pergi begitu saja tanpa membangunkanku. Padahal ini pertama kalinya kami menginap dan tertidur dalam satu ranjang semalaman. Aku menyibakan selimut, meneliti pergelangan kakiku yang ternyata sudah tak membengkak. Luka di lututku pun sudah mulai mongering. Aku kemudian mencoba menapak di lantai, dan saat aku mulai berdiri aku merasa kakiku sudah jauh lebih baik dari kemarin. Sepertinya aku sudah bisa berjalan tanpa bantuan orang lain meskipun masih sedikit pincang. Beranjak turun dari hangatnya ranjang aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Berniat untuk mencari mas suryo yang entah ada di mana. Tangan meraih gagang pintu dan membukanya. Pemandangan dari luar kamar yang langsung menghadap pada pekarangan hijau membuatku lumayan terpesona. Di depanku itu ada sebuah lahan luas yang b