Aku terduduk sendirian sembari menatap jendela yang tak tertutup tirai. Mas suryo bilang sekarang kami berada di sebuah penginapan milik temannya yang terletak tak jauh dari tepi pantai. Dan aku baru menyadarinya bahwa samar samar aku bisa mendengar debuaran ombak. Itu membuatku sangat antusias karena ingin cepat cepat bisa bermain pasir. Memijakkan kakiku pada butiran halus itu dan tertawa menhindari terjangan air yang mencoba menjilati telapak kaki. Tapi tentu saja aku tak bisa melakukannya sekarang. Bukan hanya karena keadaan sudah malam, tapi juga karena kondisi tubuhku sendiri yang masih penuh dengan beberapa luka. Sebenarnya bengkak di kakiku yang terkilir sudah tak terlalu parah seperti tadi siang. Itu karena mas Suryo sudah memijitnya tadi. Ia mengoleskan banyak minyak urut dan juga membalurkan salep di tiap lukaku yang mulai membaik. Semoga saja bisa cepat sembuh agar aku bisa bersenang senang di pantai besok tanpa perlu merepotkan orang lain untuk membantuku bergerak. Aku
Pagi harinya aku terbangun seorang diri. Kasur di sampingku kosong dan terasa dingin, sepertinya mas Suryo sudah lama terbangun dan pergi. Aku mendesah kecil, merasa sedikit kecewa karena pria itu pergi begitu saja tanpa membangunkanku. Padahal ini pertama kalinya kami menginap dan tertidur dalam satu ranjang semalaman. Aku menyibakan selimut, meneliti pergelangan kakiku yang ternyata sudah tak membengkak. Luka di lututku pun sudah mulai mongering. Aku kemudian mencoba menapak di lantai, dan saat aku mulai berdiri aku merasa kakiku sudah jauh lebih baik dari kemarin. Sepertinya aku sudah bisa berjalan tanpa bantuan orang lain meskipun masih sedikit pincang. Beranjak turun dari hangatnya ranjang aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Berniat untuk mencari mas suryo yang entah ada di mana. Tangan meraih gagang pintu dan membukanya. Pemandangan dari luar kamar yang langsung menghadap pada pekarangan hijau membuatku lumayan terpesona. Di depanku itu ada sebuah lahan luas yang b
Aku menggeser icon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga. Suara Adrian yang lumayan berat khas lelaki puber langsung terdengar menyapa. Sepertinya suasana pemuda itu sedang tak begitu baik karena nada suaranya sedikit lesu. Mungkinkah kondisi neneknya memburuk? “Nenek kamu gimana keadaanya sekarang, Dri?” aku menanyakan apa yang dari tadi mengganjal di pikiran. Kudengar di seberang sana Adrian mendesah pelan. Sepertnya kondisi neneknya memang buruk. “Sekarang masih kritis, Mbak,” jawabnya setengah lemas. “Semua anggota keluarga udah pada kumpul dari kemarin, dokter bilang nenek udah enggak punya banyak waktu.” jantungku rasanya ikut teremas mendengar kabar sedih itu. “Kamu yang sabar ya, Dri. Mungkin ini yang terbaik buat nenek kamu.” Andai ia ada di dekatku sekarang pasti sudah kupeluk agar pemuda itu bisa lebih kuat menghadapi cobaan ini. Bagaimanapun kehilangan salah satu anggota keluarga pasti akan terasa sangat berat dan menyedihkan. Adrian menggumam pelan,”Doain ya, Mbak
Aku baru saja selesai membersihkan diri dan keluar dari balik pintu kamar mandi saat kulihat mas suryo berjalan dan duduk di atas ranjang. Di tangannya ada sebungkus siomay yang sudah terbuka ujungnya. Itu adalah miliku dan aku membiarkannya memakannya. Aku tak marah karena aku yakin jajanan itu pasti sudah dingin. Melangkah perlahan dan ikut mendudukan diri disampingnya, aku tak tau mengapa sekarang aku merasa begitu canggung. Aku tau mas suryo sempat melirikku tapi bibirnya tetap diam. Hanya terus menggerakan giginya untuk mengunyah makanan dari adonan aci tersebut. Kecapan lidahnya yang berisik membuatku mengernyit. Ia sedang berusaha membuatku jijik atau bagaimana? Kenapa harus makan seperti itu, tolonglah itu hanya sebuah siomay, bukan daging steak yang sudah jelas mahal dan super duper lezat. “Mas,” panggilku saat pria it uterus mengunyah dengan lebaynya. Mas suryo hanya berdeham, mata tak pernah lepas dari layar tv yang menyala. Sebuah kartun kambing lucu sedang ditayangkan
Aku setuju. Ada banyak keraguan dan rasa takut di hati namun aku mencoba menepikannya dan lebih memprioritaskan kebahagiaan mas Suryo. Kami telah membahas tentang sebuah pernikahan sejak lama. Sebelumnya aku selalu menolak, aku merasa kami masih bisa menunggu sebentar lagi untuk ia bisa menceraikan istrinya. Tapi tidak, ternyata waktu yang terus bergulir tidaklah sebentar. Kami harus menunggu selama berbulan bulan namun sama sekali tak ada kemajuan. Mbak Melinda masih kekeuh untuk tak mau berpisah. Dan mas suryo juga tak bisa mengajukan gugatan. Keluarganya akan menghakiminya jika ia menceraikan wanita itu tanpa sebab. Memiliki istri mandul belum cukup untuknya menjatuhkan talak. Melinda memiliki semua dukungan dari kedua orang tuanya. Ia sangat disayangi oleh sang ibu. Mungkin melebihi rasa sayang kepada anak kandungnya sendiri malah. Entah apa yang sudah ia lakukan sampai mendapatkan cinta sebanyak itu dari orang tuanya. Oleh sebab itulah mas suryo hanya bisa menunggu untuk mbak
Setelah berterima kasih dan memberikan beberapa bingkisan untuk keluarga sang kyai yang telah begitu baiknya bersedia menjad penghulu di pernikahan kami, aku dan mas Suryo pun pamit. Mengajak mas Irfan turut serta untuk sekedar merayakan secara kecil kecilan sebagai wujud syukur dilancarkannya hajat kami hari ini. Beriringan mengendarai mobil menuju sebuah restoran yang cukup mewah, mas Suryo membawa kami menuju sebuah meja yang sudah ia pesan beberapa jam sebelumnya. Sepanjang acara makan malam itu aku tak pernah melepaskan genggaman tanganku padanya. Takut jika sedetik saja terlepas aku akan terbangun dan menganggap ini hanyal mmp. Aku berkali kali menampar diri dalam hati bahwa ini adalah kenyataan. Bahwa aku dan mas suryo sudah benar benar menikah. Kami sudah sah secara agama. Dia sudah menjadi suamku, dan aku telah menjadi istrinya. Mengingat status menakjubkan itu membuatku selalu merasa ingin menangis karena haru. Kami telah melewati banyak hal untuk sampa ditahap ini. Dan
Kami sampai di kosan saat malam sudah sangat larut. Dan nyatanya kami tak jadi melanjutkan apa yang telah kami lakukan di dalam mobil beberapa saat lalu di area parkir restoran. Mas suryo pun tak memintanya, ia hanya terus menggelendot manja di pundakku dan menciumiku bertubi tubi sebelum akhirnya jatuh tertidur. Mungkin ia kelelahan karena seharian ini kami sangat sibuk mempersiapkan pernikahan kami yang begitu mendadak. Aku menatapi wajahnya yang terlelap dalam damai. Menyusuri tiap garis yang membentuk sebuah pahatan maha karya ciptaan tuhan yang begitu rupawan. Aku terus dibuat terpesona dengan struktur tulang yang terbentuk dengan indah pada wajah itu. Bagaimana alisnya yang tebal menaungi sepasang matanya yang lebar dan memikat saat terbuka. Bagaimana hidungnya yang tinggi seperti menara, bagaimana rahangnya yang tajam, bibirnya yang tebal dan berwarna merah layaknya kelopak mawar, begitu lembut saat kusentuh dengan bibirku. Bagaimana jakunnya…ooh, akhirnya aku bisa menyent
Aku baru saja selesai berganti baju dengan seragam di ruang loker saat tiba tiba sosok yang paling ingin aku hindari datang menghadang. Dadaku masih diliputi begitu banyak amarah bila melihat wajahya, apalagi jika mengingat apa yang telah ia lakukan padaku tempo hari. Aku tak pernah merasa sebenci ini pada seseorang di dalam hidupku. Sangat benci sampai rasanya aku ingin memukulnya, atau mencakarnya, atau bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tapi tentu saja aku tak akan melakukan perbuatan keji itu. Setidaknya aku masih memiliki hati. “Fi,” Aku mundur dua langkah saat mas Jeremy maju untuk mendekat. Tangannya yang terulur dan mencoba menggapaiku terhenti di udara begitu aku menggeleng keras. “Pergi.” Aku berpaling. Demi tuhan, aku benar benar tak ingin melihat orang ini lagi. Tidak sekarang saat aku masih diliputi ketakutan dan juga kebencian yang hampir membuatku gila. “Fi, aku Cuma mau minta maaf …” Suaranya terdengar memohon. Begitu memelas. Aku tak bisa melihat eksp