Aku setuju. Ada banyak keraguan dan rasa takut di hati namun aku mencoba menepikannya dan lebih memprioritaskan kebahagiaan mas Suryo. Kami telah membahas tentang sebuah pernikahan sejak lama. Sebelumnya aku selalu menolak, aku merasa kami masih bisa menunggu sebentar lagi untuk ia bisa menceraikan istrinya. Tapi tidak, ternyata waktu yang terus bergulir tidaklah sebentar. Kami harus menunggu selama berbulan bulan namun sama sekali tak ada kemajuan. Mbak Melinda masih kekeuh untuk tak mau berpisah. Dan mas suryo juga tak bisa mengajukan gugatan. Keluarganya akan menghakiminya jika ia menceraikan wanita itu tanpa sebab. Memiliki istri mandul belum cukup untuknya menjatuhkan talak. Melinda memiliki semua dukungan dari kedua orang tuanya. Ia sangat disayangi oleh sang ibu. Mungkin melebihi rasa sayang kepada anak kandungnya sendiri malah. Entah apa yang sudah ia lakukan sampai mendapatkan cinta sebanyak itu dari orang tuanya. Oleh sebab itulah mas suryo hanya bisa menunggu untuk mbak
Setelah berterima kasih dan memberikan beberapa bingkisan untuk keluarga sang kyai yang telah begitu baiknya bersedia menjad penghulu di pernikahan kami, aku dan mas Suryo pun pamit. Mengajak mas Irfan turut serta untuk sekedar merayakan secara kecil kecilan sebagai wujud syukur dilancarkannya hajat kami hari ini. Beriringan mengendarai mobil menuju sebuah restoran yang cukup mewah, mas Suryo membawa kami menuju sebuah meja yang sudah ia pesan beberapa jam sebelumnya. Sepanjang acara makan malam itu aku tak pernah melepaskan genggaman tanganku padanya. Takut jika sedetik saja terlepas aku akan terbangun dan menganggap ini hanyal mmp. Aku berkali kali menampar diri dalam hati bahwa ini adalah kenyataan. Bahwa aku dan mas suryo sudah benar benar menikah. Kami sudah sah secara agama. Dia sudah menjadi suamku, dan aku telah menjadi istrinya. Mengingat status menakjubkan itu membuatku selalu merasa ingin menangis karena haru. Kami telah melewati banyak hal untuk sampa ditahap ini. Dan
Kami sampai di kosan saat malam sudah sangat larut. Dan nyatanya kami tak jadi melanjutkan apa yang telah kami lakukan di dalam mobil beberapa saat lalu di area parkir restoran. Mas suryo pun tak memintanya, ia hanya terus menggelendot manja di pundakku dan menciumiku bertubi tubi sebelum akhirnya jatuh tertidur. Mungkin ia kelelahan karena seharian ini kami sangat sibuk mempersiapkan pernikahan kami yang begitu mendadak. Aku menatapi wajahnya yang terlelap dalam damai. Menyusuri tiap garis yang membentuk sebuah pahatan maha karya ciptaan tuhan yang begitu rupawan. Aku terus dibuat terpesona dengan struktur tulang yang terbentuk dengan indah pada wajah itu. Bagaimana alisnya yang tebal menaungi sepasang matanya yang lebar dan memikat saat terbuka. Bagaimana hidungnya yang tinggi seperti menara, bagaimana rahangnya yang tajam, bibirnya yang tebal dan berwarna merah layaknya kelopak mawar, begitu lembut saat kusentuh dengan bibirku. Bagaimana jakunnya…ooh, akhirnya aku bisa menyent
Aku baru saja selesai berganti baju dengan seragam di ruang loker saat tiba tiba sosok yang paling ingin aku hindari datang menghadang. Dadaku masih diliputi begitu banyak amarah bila melihat wajahya, apalagi jika mengingat apa yang telah ia lakukan padaku tempo hari. Aku tak pernah merasa sebenci ini pada seseorang di dalam hidupku. Sangat benci sampai rasanya aku ingin memukulnya, atau mencakarnya, atau bahkan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tapi tentu saja aku tak akan melakukan perbuatan keji itu. Setidaknya aku masih memiliki hati. “Fi,” Aku mundur dua langkah saat mas Jeremy maju untuk mendekat. Tangannya yang terulur dan mencoba menggapaiku terhenti di udara begitu aku menggeleng keras. “Pergi.” Aku berpaling. Demi tuhan, aku benar benar tak ingin melihat orang ini lagi. Tidak sekarang saat aku masih diliputi ketakutan dan juga kebencian yang hampir membuatku gila. “Fi, aku Cuma mau minta maaf …” Suaranya terdengar memohon. Begitu memelas. Aku tak bisa melihat eksp
Ada jemari yang mencoba menggantikan tanganku yang sedang bekerja melepaskan pengait bra. Dan tubuhku tersentak begitu kudapati ternyata mas Suryo pelakunya. Pria itu entah sejak kapan ikut masuk kedalam kamar mandi, tau tau sudah berdiri tepat di belakangku. Tubuhnya bahkan tak terbalut apapaun, celana yang semula dipakainya telah tanggal dan terlihat sudah teronggok di keranjang pakaian kotor. Ternyata dari tadi aku melamun. “Mas ngapain?” tanyaku saat kurasakan tangannya mulai memelorotkan tali bra dari pundak. Aku langsung menahan cup bagian depan yang menggantung longgar agar tetap melindungi dadaku dari sepasang mata sang suami yang membakar. “Mau ikut, seharian belum mandi.” Satu kecupan mendarat di bahu bersamaan dengan lengannya yang melingkari perut. Aku langsung menggeliat karena merasakan tubuhnya menempel dengan sempurna di belakangku. Strukstur otonya yang padat menggesek punggungku, menyalurkan kehangatan yang perlahan berubah menjadi panas. “Kan bisa gantian, Ma
Melepaskan pagutan dari bibirnya aku menatap mas Suryo dengan tekad bulat untuk membuka rahasia yang telah beberapa hari ini kupendam sendirian. Aku mencoba mengeluarkan segenap keberanian yang kupunya meski sebenarnya tak seberapa. Tentu saja ketakutan akan bagaimana akhirnya masih menghantuiku. Namun melihatnya yang terus menyalahkan diri sendiri itu lebih menyakitkan bagiku. “Sebenarnya … a-aku—aku hampir diperkosa,” Meski mengucapkannya dengan mantap namun aku bisa merasakan bahwa tanganku yang berada di pipinya gemetaran. Saat aku mencoba menarik lenganku untuk kusembunyan di atas pangkuan mas Suryo lebih dahulu meraihnya. Jemariku yang terkepal erat ia buka dengan perlahan sebelum ia genggam dengan lembut. “Siapa?” tanyanya sembari membawa punggung tanganku menuju bibirnya untuk diberi kecupan yang lama dan dalam. Menghilangkan rasa gigilku oleh kehangatan sentuhannya. ”Siapa yang berani melakukan itu?” Aku menangis dengan kencang. Menghambur ke dalam pelukannya dan menyemb
Aku sadar bahwa jika hanya saling memakan bibir seperti ini bukanlah sentuhan yang membuatku takut. Aku masih bisa menikmati dan membalasnya meski tak begitu bisa mengimbangi kelihaian mas Suryo dalam mencium. Tentu saja pria berpengalaman sepertinya memiliki tinggi level yang berbeda denganku yang bahkan baru kali ini menjalin hubungan sampai sejauh ini. Pria ini adalah orang pertama yang benar benar aku cintai dan membiarkan menyentuhku dengn bibirnya sampai aku terbuai seperti ini. Pria pertama yang mendapatkan kecupan pertamaku, pria pertama yang memperoleh pelukanku seerat ini, pria pertama yang menguasai semua bagian otakku hingga hanya ada namanya yang terukir indah di sana. Dia benar benar pertama dan aku berharap selalu menjadi yang pertama. Cukup lama kami saling mencium satu sama lain sebelum tiba tiba pria itu bangkit untuk duduk. Aku terhenyak saat kedua tangannya dengan mudahnya mengangkat tubuhku untuk dibawa ke atas pangkuannya. Tanpa sadar aku melepaskan tautan bib
Mas Suryo sudah pergi sejak sejam yang lalu. Dan aku masih diliputi kebahagiaan yang membuncah di dalam dada jika mengingat apa yang sudah kami lakukan tadi. Kenyataan bahwa aku tak ketakutan, bahwa kenangan buruk itu sama sekali tak melintas di pikiranku, bahwa sekarang aku baik baik saja dengan sentuhan yang mas Suryo berikan. Sungguh itu semua membuat aku sangat bahagia. Oh tuhan, betapa bersyukurnya aku. Tinggal selangkah lagi dan kami bisa menyempurnakan pernikahan kami. Mengingat itu membuatku terus berdebar debar. Bibirku pun menjadi sulit sekali kucegah agar tak tersenyum. Untung saja di dalam kamar ini aku sendirian, jika ada yang melihat kondisiku sekarang mungkin aku akan dikira sudah gila. Mas Suryo bilang selesai dari melayat nenek Adrian yang meninggal tadi sore itu ia akan langsung pulang kemari. Ia juga berpesan padaku agar tak usah menunggunya karena mungkin ia akan lama. Kabarnya nenek dari koh Ari itu akan langsung dimakamkan pada malam ini juga. Jadi bisa dipasti