Sekarang kami sedang sarapan. Hanya sajian nasi goreng sederhana hasil dari tanganku sendiri. Mungkin tak seenak buatan mbok Siti, tapi anak itu untungnya tak banyak berkomentar malah terlihat lahap sekali. Entah doyan atau memang kelaparan. Oh ya, tentang mbok Siti, Adrian bilang biasanya beliau datang agak siang. Makanya aku inisiatif memasak sendiri karena aku berhasil membujuk Adrian untuk pulang kekota lebih cepat dari rencana. Anak itu terlihat enggan pada awalnya, sepertinya masih betah menghabiskan waktu di tempat yang sepi ini. Tapi aku beralasan ingin menghubungi keluargaku di kampung, minggu kemarin aku berkata akan pulang ke rumah, tapi karena kena hukuman rencanaku pun gagal. Dan aku malah lupa tak memberi kabar sama sekali dari kemarin untuk keluargaku, Sayangnya, aku juga tak bisa melakukannya disini karena sama sekali tak ada sinyal. Dan syukurlah, Adrian akhirnya menurut dan mau pulang lebih awal. Sebelum memutuskan untuk berkemas dan pulang, anak itu mengajakku ber
'Cepat kirim uang 10 juta, atau kabar peselingkuhanmu dengan pak lurah akan kembali tersebar.' Aku menatap nanar sebuah pesan singkat yang terpampang di layar ponsel. Tanpa sadar tubuhku gemetaran dengan hebat. Perasaan takut dan terancam mencuat begitu saja ke permukaan. Kenangan akan kejadian beberapa bulan lalu yang masih begitu jelas di ingatan berputar bagai kaset rusak. Setelah susah payah meredam, dalam sekali sentil mimpi buruk ku kembali muncul tanpa bisa kucegah. Tangan terkepal menahan amarah saat sedetik kemudian satu pesan kembali muncul. Dan kali ini bukan lagi berbentuk tulisan melainkan foto. Foto yang memperlihatkan pemandangan dimana aku dipeluk mesra oleh mas Suryo. Tubuhku langsung terasa lemas saat itu juga. Suasana toilet sedang sepi. Hanya ada satu wanita yang baru saja memasuki bilik untuk buang air kecil. Aku menahan dengan segenap kekuatan yang kupunya untuk tak menangis. Tangan mencengkram kuat pinggiran wastafel. Cermin nya yang bersih tanpa noda m
Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan dan menar
Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan d
Jam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu.Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri.Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah.
Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya. Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras. “Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayu
Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut
Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat