Suara tembakan membahana. Hantaman hantaman keras tercipta oleh dua kepalan tangan yang terus menyerang tak mau ada yang kalah. Bunyi pecahan kaca membuat siapa saja yang mendengar mengernyit ngeri. Raungan sirine mobil polisi yang kian mendekat tak dihiraukan. Malah makin membuat tegang. Apalagi tetesan merah yang bercecer di mana mana menambah kelam suasana perkelahian dua orang yang tengah berlangsung begitu seru. Tayangan film yang diputar di layar televisi sedang berada di bagian klimaksnya. Adrian sedari tadi sudah heboh berteriak kencang menyemangati aktor utama yang sedang berlaga. Keripik singkong di dalam toples dirauk ganas, remahannya jatuh berantakan--di permukaan sofa, di lantai juga sekitar mulutnya yang belepotan. Namun pemuda itu tak ambil peduli, matanya tetap fokus menonton ke layar televisi. Duduk dengan jarak setengah meter dari Adrian, aku merebahkan kepala pada punggung sofa. Dari tadi aku hanya diam, aku marah, moodku sedang buruk buruknya. Aku ingin pula
Sekarang kami sedang sarapan. Hanya sajian nasi goreng sederhana hasil dari tanganku sendiri. Mungkin tak seenak buatan mbok Siti, tapi anak itu untungnya tak banyak berkomentar malah terlihat lahap sekali. Entah doyan atau memang kelaparan. Oh ya, tentang mbok Siti, Adrian bilang biasanya beliau datang agak siang. Makanya aku inisiatif memasak sendiri karena aku berhasil membujuk Adrian untuk pulang kekota lebih cepat dari rencana. Anak itu terlihat enggan pada awalnya, sepertinya masih betah menghabiskan waktu di tempat yang sepi ini. Tapi aku beralasan ingin menghubungi keluargaku di kampung, minggu kemarin aku berkata akan pulang ke rumah, tapi karena kena hukuman rencanaku pun gagal. Dan aku malah lupa tak memberi kabar sama sekali dari kemarin untuk keluargaku, Sayangnya, aku juga tak bisa melakukannya disini karena sama sekali tak ada sinyal. Dan syukurlah, Adrian akhirnya menurut dan mau pulang lebih awal. Sebelum memutuskan untuk berkemas dan pulang, anak itu mengajakku ber
'Cepat kirim uang 10 juta, atau kabar peselingkuhanmu dengan pak lurah akan kembali tersebar.' Aku menatap nanar sebuah pesan singkat yang terpampang di layar ponsel. Tanpa sadar tubuhku gemetaran dengan hebat. Perasaan takut dan terancam mencuat begitu saja ke permukaan. Kenangan akan kejadian beberapa bulan lalu yang masih begitu jelas di ingatan berputar bagai kaset rusak. Setelah susah payah meredam, dalam sekali sentil mimpi buruk ku kembali muncul tanpa bisa kucegah. Tangan terkepal menahan amarah saat sedetik kemudian satu pesan kembali muncul. Dan kali ini bukan lagi berbentuk tulisan melainkan foto. Foto yang memperlihatkan pemandangan dimana aku dipeluk mesra oleh mas Suryo. Tubuhku langsung terasa lemas saat itu juga. Suasana toilet sedang sepi. Hanya ada satu wanita yang baru saja memasuki bilik untuk buang air kecil. Aku menahan dengan segenap kekuatan yang kupunya untuk tak menangis. Tangan mencengkram kuat pinggiran wastafel. Cermin nya yang bersih tanpa noda m
Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan dan menar
Aku membeku, sesaat otakku benar-benar blank. Mas Suryo. Mas Suryo... Mas Suryo! Laki laki berperawakan tinggi besar dengan rambut tebal berkilau. Dikaruniai dahi cemerlang, sepasang alis rapi juga bola mata sewarna langit malam, menyorot teduh ke arahku yang terpaku. Ini seperti mimpi, melihat pria yang aku cintai, yang tak memberikan kabar berhari hari dan membuat perasaanku galau tak menentu kini tengah berdiri di depan mata. Sesungguhnya aku ingin menghambur untuk memeluknya. Menumpahkan kerinduan yang meluap, yang seminggu ini kutahan dan ku bendung sekuat tenaga. Sudah sewajarnya aku mendapatkan hadiah karena sudah bersikap menjadi kekasih gelap yang baik, menahan diri untuk tak mengganggunya meskipun hati meronta menginginkan perhatian. "Fi, " "Mbak Sufi! " Aku sudah hampir berlari menuju mas Suryo yang sudah mengulurkan tangan, namun suara pintu mobil yang tertutup juga panggilan dari Adrian yang datang menghampiri membuatku cepat cepat mengganti haluan d
"Tadi itu adiknya Ari, kan? " Mas Suryo masih mengelusi rambutku saat aku mengangguk membenarkan pertanyaannya. Rasanya nyaman sekali berada di pelukannya, apalagi aku baru saja meminum obat penurun panas. Efek sampingnya yang biasanya membuat ngantuk mulai terasa. "Namanya Adrian... " "Oh." "Cuma oh? " Aku mendongak, menemukan wajah mas Suryo yang sepat. Aku tertawa melihatnya. "Mukanya jelek banget kamu, Mas. " Pipinya ku tepuk tepuk kecil agar otot wajahnya bisa santai seperti semula. "Bisa bisanya dia panggil kamu bebeb sih? " "Kami pacaran, " "HAH!? " Dadanya ku elus elus agar lebih tenang. "Cuma pura-pura, Mas. " "Aku lihatnya dia naksir kamu beneran, Yang! " "Cinta monyet itu, mah. " Mas Suryo bangkit untuk duduk. Raut wajahnya makin keruh, dahi dan alisnya berkerut kerut. Pria ini sedang menahan kesal sampai kedua tangannya mengepal. Aku mendesah, ikut duduk di sampingnya. "Aku enggak punya perasaan apapun buat dia, kamu harus percaya aku cuma cinta sama kam
Malam ini sangat cerah. Langit yang hitam pekat dihiasi bulan sabit yang indah. Bintang pun bertaburan begitu banyaknya. Berlomba memamerkan kecantikannya yang paripurna. Menikmati waktu sore menjelang malam, kami memilih sebuah angkringan yang berada di pinggir jalan dekat alun alun kota. Tikar lebar telah digelar di bawah pohon beringin, aku dan mas Suryo duduk berdampingan di atasnya. Sembari menunggu menu yang sudah kami pesan, kami pun mulai berbincang serius. Aku sadar bukan hal mudah bagi mas Suryo menyempatkan waktu datang mengunjungiku. Aku bertanya tanya apakah sesuatu telah terjadi. Apakah rumah tangganya baik baik saja? Apakah mertuanya memperlakukan pria itu dengan baik? Memikirkan keadaan sesungguhnya tentang lelaki itu membuatku sampai lupa dengan masalahku sendiri. Sebuah pesan yang aku terima siang tadi, tentu saja masih melekat dan menghantuiku setiap saat. "Mbak Melinda sehat, Mas? " Pria itu mengangguk tanpa menoleh. Meraih tanganku dan mengelusi jari jema
Enam buah buntalan nasi kucing terhidang di hadapan kami. Empat untuk mas Suryo—porsi makannya memang banyak, ngomong ngomong—dan sisa dua untukku. Ada juga sepiring mendoan, seporsi sate kambing, beberapa lauk sederhana serta tak lupa lalapan untuk melengkapi santap malam kami hari ini. Mas Suryo terlihat makan dengan lahap, maklum katanya pria itu tak sempat makan dari siang. Jadi aku pun membiarkan saja ia makan seperti orang kesetanan, meskipun tentu saja jika ada orang yang melihatnya akan sangat memalukan. Aku bersyukur kami tak berada di dekat desa Ijo royo, jika iya kemungkinan besar akan ada orang dari desa kami yang mengenalinya. Dan itu pasti akan meruntuhkan reputasi seorang lurah muda yang seharinya terlihat berwibawa nyatanya malah memiliki kebiasaaan makan yang bar-bar. Yah memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Pria yang di luarnya dikaruniai berbagai kelebihan nyatanya juga memiliki banyak kekurangan. Entah itu dari sisi sifat, kepribadian, materi atau