Tok, tok... Aku sedang menggosok rambutku yang setengah kering dengan handuk saat suara pintu kosku diketuk. Jam dinding menunjukan pukul setengah tujuh, tentunya waktu yang masih sangat pagi untuk orang berkunjung. Dengan kedua alis mengernyit aku melangkahkan kaki yang terbalut jeans abu mendekati pintu, bertanya tanya siapa yang bertamu di luar sana. Saat pintu terbuka, aku terpaku sebentar dan hampir menanyakan tanya sebelum kemudian teringat bahwa aku memiliki janji dengan tetangga kosku satu itu. Mas jeremy tentu saja. Lelaki tampan yang sekarang sudah rapi dengan kaus panjang bergaris horizontal warna dongker. Kakinya yang panjang dibalut jeans senada, dan jangan lupakan sepatu convers hitam menyempurnakan penampilannya yang kasual. Melihatnya yang sangat menarik membuatku malu setengah mati. Bagaimana mungkin aku baru sadar dan berani beraninya membukakan pintu pada pria seganteng itu hanya dengan kaus kumal warna hitam pudar yang sebenarnya sudah tak layak pakai ini. Ap
"Kemarin aku lihat kamu pelukan sama Adrian didapur... " Aroma bubur ayam yang nikmat menggelitik hidung. Sajian nasi lembek penuh cita rasa dengan banyak suwiran daging ayam dan kacang itu sudah melambai di depan mata. Aku pun sudah meneguk liur sejak tadi karena lapar. Tapi tentu saja ucapan mas Jeremy tadi membuat acara menyendok sarapanku menjadi tertunda. Sorot mata itu begitu serius, meminta dengan tegas agar aku cepat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kemarin sore. Tapi bagaimana caranya aku menjelaskannya? Tidak mungkin aku berterus terang tentang aku yang menangis karena merindukan kekasih selingkuhanku dan kemudian dipeluk oleh bocah SMA yang kebetulan ada di sana. Aku juga tak mungkin menjelaskan kejadian di tempat makan, di mana Adrian berlaku tak sopan padaku. Itu memalukan sekali. Aku bahkan ingin menghapusnya dari otakku. "Kamu enggak ada hubungan sama anak itu kan, Fi? " tanya mas Jeremy kemudian. Aku pun melotot. "Ya, enggak lah, Mas. Bisa dimarahin k
Setelah kami selesai sarapan, mas Jeremy mengajakku sedikit berkeliling dengan berjalan kaki. Hitung hitung agar bubur yang barusan kami santap bisa cepat turun sehingga pencernaan pun akan lancar. Lagi pula kami masih memiliki sekitar tiga puluh menit sampai toko buka. Itu menyenangkan ternyata, berjalan pelan menyusuri trotoar yang tak terlalu ramai. Memperhatikan anak anak kecil berseragam taman kanak kanak yang digandeng orang tuanya menuju sekolah. Terlihat begitu riang gembira, kaki kaki mungil melompat lucu, sangat bersemangat memulai hari. Atau para pasangan lansia yang tengah berjalan pelan, bergandengan tangan penuh hangat. Senyuman lebar merekah , duduk di kursi panjang yang tersedia di depan taman kecil yang menghadap jalan raya. Aku berpikir, mungkinkah aku bisa merasakan kehangatan itu saat tua nanti. Mungkinkah aku akan memiliki seseorang yang bisa kupeluk dan memberikan senyuman lembut seperti itu nanti. Mungkinkah, mas Suryo bisa memberikan itu semua... Mung
Harus kuakui, dari pada menaiki motor besar milik mas Jeremy, membonceng motor matik milik Adrian jauh lebih nyaman bagiku. Meskipun tentu saja di sepanjang perjalanan bocah cerewet itu terus berceloteh tanpa henti, bercerita dan bertanya banyak hal, juga terkadang mencuri kesempatan mengelus lenganku yang melingkar di perutnya. Dia baru akan berhenti setelah kucubit, padahal sudah berkali kali kuperingatkan agar tak nakal, tapi tetap saja diulangi tanpa ada kapoknya. Teringat kejadian tadi, aku kembali melamun. Tanpa sadar mengeratkan pelukan dan menyenderkan kepala pada punggung Adrian. Aku masih tak percaya mas Jeremy menyukaiku. Dan aku meninggalkannya begitu saja setelah pernyataannya. Saat itu aku sangat terkejut. Aku kebingungan. Aku tak bisa berpikir jernih dan tau tau sudah berlari menuju motor Adrian dan berakhir memboncengnya. Apakah aku jahat? Aku pergi dengan mas Jeremy tapi malah meninggalkan pria itu dan memilih bersama orang lain. Aku pusing sekali memikirkan
Beberapa hari berlalu begitu saja setelah kejadian memusingkan yang ku alami bertubi-tubi. Keadaan tak ada yang membaik, aku dan mas Jeremy masih begitu canggung saat bertatap muka. Pria itu jarang memberiku senyuman setelah aku mengembalikan cincin pemberiannya yang sempat hilang--untung saja hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk menemukannya yang ternyata terselip di semak semak. Itu pun juga dibantu Adrian setelah aku memaksanya untuk ikut mencari. Meski pemuda itu terus menggerutu dan berkata biarkan saja hilang karena ia akan membelikannya nanti yang jauh lebih bagus dan mahal--aku langsung menggeplak kepalanya setelah itu. Bocah ini tak pernah di ajari cara menghargai pemberian orang sepertinya. Pengembalian cincin itupun secara tak langsung berarti aku menolak perasaan mas Jeremy padaku. Aku berkali kali meminta maaf saat mas Jeremy meminta sebuah kesempatan, namun aku sudah mengambil keputusan bulat. Pria itu adalah orang yang baik. Tak pantas mendapatkan orang sepertik
Air kotor yang tadi berada di dalam ember tumpah. Tongkat pel terlempar begitu saja di lantai, membentur beberapa kaleng kosong hingga menimbulkan bunyi kelontang nyaring. Aku menarik nafas dengan cepat saat Adrian mendorongku ke dinding dan mengukungku dengan kedua lengannya. Aku tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Tadi kami masih berdebat, aku berkali kali mengeluarkan penolakan saat Adrian terus merayu, memintaku pergi kencan. Setelah lelah meladeninya yang tak juga kehabisan kosa kata untuk membujuku pergi, aku pun berinisiatif untuk mengabaikannya. Tak memperdulikan setiap rengekannya dan hanya melanjutkan pekerjaanku mengepel lantai yang hampir selesai. Setelah beberapa waktu Adrian pun akhirnya diam. Mungkin ia pun lelah terus mengoceh. Aku pun kembali merasa damai. Berpikir mungkin mengabaikannya memang adalah cara terbaik agar Adrian menyerah dan akhirnya memilih pergi. Tapi tidak. Anak itu malah menendang ember berisi air kotor bekas pel dengan kencang. Memb
Langit seperti terbakar, berwarna jingga yang begitu kontras dengan warna hijau gelap pepohonan pinus di bawahnya yang luas membentang layaknya lautan. Aku meletakan kedua tanganku di atas pagar pembatas balkon yang terbuat dari baja. Menatapi pemandangan sore yang begitu memanjakan mata dengan penuh ketakjuban. Semilir angin membuai pipiku yang memerah oleh udara dingin pegunungan. Langkah kaki mendekat, aku terhenyak saat sepasang lengan merengkuhku dari belakang bersama dagu yang menancap di pundak. Aku mencoba untuk tak memberontak pelukan Adrian, karena tubuhnya terasa hangat. Pelukannya selalu membuat nyaman. "Suka? " Bisiknya sembari mengendusi rambutku yang terurai. Untung saja aku sudah keramas tadi pagi, jadi aku percaya baunya masih lumayan wangi. Setelah itu aku memberinya sebuah anggukan. "Rumah ini punya keluarga kamu? " Tanyaku berbasa basi. "Iya, dulunya punya kakek. Tapi udah diwarisin buat aku dua tahun lalu waktu beliau meninggal. " Penjelasan itu membuatk
Air shower yang deras membasahi tubuhku yang letih. Suhunya yang hangat sangat membantu melemaskan otot ototku yang tegang. Aku mendesah kesenangan, jarang jarang aku memiliki kesempatan memakai kamar mandi dengan fasilitas bagus dan mewah seperti ini. Tentunya sangat berbeda dengan kamar mandi yang berada di kamar kosku yang sempit dan seadanya. Shower box yang terbuat dari bahan kaca tebal transparan perlahan memburam oleh uap air hangat yang sedang mengucur deras. Aku mengusap cermin di hadapanku, menepuk nepuk pipi kemudian berbalik. Membiarkan punggungku yang kini dibasahi. Tetesannya yang menyentuh kulit memberikan sensasi seperti sedang di pijat. Enak sekali. Mataku kemudian bergulir memperhatikan satu persatu barang barang mewah yang ada di ruangan yang memiliki luas hampir sama dengan luas seluruh bagian kamar kosku ini. Mulanya aku juga keheranan dan bertanya tanya, mengapa orang kaya membutuhkan ruangan begitu besar hanya untuk di jadikan tempat mandi. Meskipun memang n