Setelah kami selesai sarapan, mas Jeremy mengajakku sedikit berkeliling dengan berjalan kaki. Hitung hitung agar bubur yang barusan kami santap bisa cepat turun sehingga pencernaan pun akan lancar. Lagi pula kami masih memiliki sekitar tiga puluh menit sampai toko buka. Itu menyenangkan ternyata, berjalan pelan menyusuri trotoar yang tak terlalu ramai. Memperhatikan anak anak kecil berseragam taman kanak kanak yang digandeng orang tuanya menuju sekolah. Terlihat begitu riang gembira, kaki kaki mungil melompat lucu, sangat bersemangat memulai hari. Atau para pasangan lansia yang tengah berjalan pelan, bergandengan tangan penuh hangat. Senyuman lebar merekah , duduk di kursi panjang yang tersedia di depan taman kecil yang menghadap jalan raya. Aku berpikir, mungkinkah aku bisa merasakan kehangatan itu saat tua nanti. Mungkinkah aku akan memiliki seseorang yang bisa kupeluk dan memberikan senyuman lembut seperti itu nanti. Mungkinkah, mas Suryo bisa memberikan itu semua... Mung
Harus kuakui, dari pada menaiki motor besar milik mas Jeremy, membonceng motor matik milik Adrian jauh lebih nyaman bagiku. Meskipun tentu saja di sepanjang perjalanan bocah cerewet itu terus berceloteh tanpa henti, bercerita dan bertanya banyak hal, juga terkadang mencuri kesempatan mengelus lenganku yang melingkar di perutnya. Dia baru akan berhenti setelah kucubit, padahal sudah berkali kali kuperingatkan agar tak nakal, tapi tetap saja diulangi tanpa ada kapoknya. Teringat kejadian tadi, aku kembali melamun. Tanpa sadar mengeratkan pelukan dan menyenderkan kepala pada punggung Adrian. Aku masih tak percaya mas Jeremy menyukaiku. Dan aku meninggalkannya begitu saja setelah pernyataannya. Saat itu aku sangat terkejut. Aku kebingungan. Aku tak bisa berpikir jernih dan tau tau sudah berlari menuju motor Adrian dan berakhir memboncengnya. Apakah aku jahat? Aku pergi dengan mas Jeremy tapi malah meninggalkan pria itu dan memilih bersama orang lain. Aku pusing sekali memikirkan
Beberapa hari berlalu begitu saja setelah kejadian memusingkan yang ku alami bertubi-tubi. Keadaan tak ada yang membaik, aku dan mas Jeremy masih begitu canggung saat bertatap muka. Pria itu jarang memberiku senyuman setelah aku mengembalikan cincin pemberiannya yang sempat hilang--untung saja hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk menemukannya yang ternyata terselip di semak semak. Itu pun juga dibantu Adrian setelah aku memaksanya untuk ikut mencari. Meski pemuda itu terus menggerutu dan berkata biarkan saja hilang karena ia akan membelikannya nanti yang jauh lebih bagus dan mahal--aku langsung menggeplak kepalanya setelah itu. Bocah ini tak pernah di ajari cara menghargai pemberian orang sepertinya. Pengembalian cincin itupun secara tak langsung berarti aku menolak perasaan mas Jeremy padaku. Aku berkali kali meminta maaf saat mas Jeremy meminta sebuah kesempatan, namun aku sudah mengambil keputusan bulat. Pria itu adalah orang yang baik. Tak pantas mendapatkan orang sepertik
Air kotor yang tadi berada di dalam ember tumpah. Tongkat pel terlempar begitu saja di lantai, membentur beberapa kaleng kosong hingga menimbulkan bunyi kelontang nyaring. Aku menarik nafas dengan cepat saat Adrian mendorongku ke dinding dan mengukungku dengan kedua lengannya. Aku tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Tadi kami masih berdebat, aku berkali kali mengeluarkan penolakan saat Adrian terus merayu, memintaku pergi kencan. Setelah lelah meladeninya yang tak juga kehabisan kosa kata untuk membujuku pergi, aku pun berinisiatif untuk mengabaikannya. Tak memperdulikan setiap rengekannya dan hanya melanjutkan pekerjaanku mengepel lantai yang hampir selesai. Setelah beberapa waktu Adrian pun akhirnya diam. Mungkin ia pun lelah terus mengoceh. Aku pun kembali merasa damai. Berpikir mungkin mengabaikannya memang adalah cara terbaik agar Adrian menyerah dan akhirnya memilih pergi. Tapi tidak. Anak itu malah menendang ember berisi air kotor bekas pel dengan kencang. Memb
Langit seperti terbakar, berwarna jingga yang begitu kontras dengan warna hijau gelap pepohonan pinus di bawahnya yang luas membentang layaknya lautan. Aku meletakan kedua tanganku di atas pagar pembatas balkon yang terbuat dari baja. Menatapi pemandangan sore yang begitu memanjakan mata dengan penuh ketakjuban. Semilir angin membuai pipiku yang memerah oleh udara dingin pegunungan. Langkah kaki mendekat, aku terhenyak saat sepasang lengan merengkuhku dari belakang bersama dagu yang menancap di pundak. Aku mencoba untuk tak memberontak pelukan Adrian, karena tubuhnya terasa hangat. Pelukannya selalu membuat nyaman. "Suka? " Bisiknya sembari mengendusi rambutku yang terurai. Untung saja aku sudah keramas tadi pagi, jadi aku percaya baunya masih lumayan wangi. Setelah itu aku memberinya sebuah anggukan. "Rumah ini punya keluarga kamu? " Tanyaku berbasa basi. "Iya, dulunya punya kakek. Tapi udah diwarisin buat aku dua tahun lalu waktu beliau meninggal. " Penjelasan itu membuatk
Air shower yang deras membasahi tubuhku yang letih. Suhunya yang hangat sangat membantu melemaskan otot ototku yang tegang. Aku mendesah kesenangan, jarang jarang aku memiliki kesempatan memakai kamar mandi dengan fasilitas bagus dan mewah seperti ini. Tentunya sangat berbeda dengan kamar mandi yang berada di kamar kosku yang sempit dan seadanya. Shower box yang terbuat dari bahan kaca tebal transparan perlahan memburam oleh uap air hangat yang sedang mengucur deras. Aku mengusap cermin di hadapanku, menepuk nepuk pipi kemudian berbalik. Membiarkan punggungku yang kini dibasahi. Tetesannya yang menyentuh kulit memberikan sensasi seperti sedang di pijat. Enak sekali. Mataku kemudian bergulir memperhatikan satu persatu barang barang mewah yang ada di ruangan yang memiliki luas hampir sama dengan luas seluruh bagian kamar kosku ini. Mulanya aku juga keheranan dan bertanya tanya, mengapa orang kaya membutuhkan ruangan begitu besar hanya untuk di jadikan tempat mandi. Meskipun memang n
Suara tembakan membahana. Hantaman hantaman keras tercipta oleh dua kepalan tangan yang terus menyerang tak mau ada yang kalah. Bunyi pecahan kaca membuat siapa saja yang mendengar mengernyit ngeri. Raungan sirine mobil polisi yang kian mendekat tak dihiraukan. Malah makin membuat tegang. Apalagi tetesan merah yang bercecer di mana mana menambah kelam suasana perkelahian dua orang yang tengah berlangsung begitu seru. Tayangan film yang diputar di layar televisi sedang berada di bagian klimaksnya. Adrian sedari tadi sudah heboh berteriak kencang menyemangati aktor utama yang sedang berlaga. Keripik singkong di dalam toples dirauk ganas, remahannya jatuh berantakan--di permukaan sofa, di lantai juga sekitar mulutnya yang belepotan. Namun pemuda itu tak ambil peduli, matanya tetap fokus menonton ke layar televisi. Duduk dengan jarak setengah meter dari Adrian, aku merebahkan kepala pada punggung sofa. Dari tadi aku hanya diam, aku marah, moodku sedang buruk buruknya. Aku ingin pula
Sekarang kami sedang sarapan. Hanya sajian nasi goreng sederhana hasil dari tanganku sendiri. Mungkin tak seenak buatan mbok Siti, tapi anak itu untungnya tak banyak berkomentar malah terlihat lahap sekali. Entah doyan atau memang kelaparan. Oh ya, tentang mbok Siti, Adrian bilang biasanya beliau datang agak siang. Makanya aku inisiatif memasak sendiri karena aku berhasil membujuk Adrian untuk pulang kekota lebih cepat dari rencana. Anak itu terlihat enggan pada awalnya, sepertinya masih betah menghabiskan waktu di tempat yang sepi ini. Tapi aku beralasan ingin menghubungi keluargaku di kampung, minggu kemarin aku berkata akan pulang ke rumah, tapi karena kena hukuman rencanaku pun gagal. Dan aku malah lupa tak memberi kabar sama sekali dari kemarin untuk keluargaku, Sayangnya, aku juga tak bisa melakukannya disini karena sama sekali tak ada sinyal. Dan syukurlah, Adrian akhirnya menurut dan mau pulang lebih awal. Sebelum memutuskan untuk berkemas dan pulang, anak itu mengajakku ber
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su
Tak mendapatkan respon positif seperti yang aku bayangkan sebelumnya--bahwa Mas Suryo akan senang melihatku berpakaian minim--aku yang cukup kecewa akhirnya hanya bisa menunduk setelah mencelupkan diri pada air kolam. Kepulan uap hangat terangkat ke udara, menciptakan kabut tipis di antara udara pegunungan yang dingin. Aku duduk di samping suamiku yang terus terdiam. Di antara kami ada jarak, tak terlalu lebar memang, namun tetap saja aku merasa sedih karena Mas Suryo benar-benar tak menanggapi dengan antusias usahaku untuk menyenangkannya. Apa sekarang ia berpikir aku norak? Apa kain kurang bahan yang kupakai ini sangat jelek sehingga dia bahkan tak berniat melirikku? Apa aku terlihat murahan? Tapi dia suamiku. Bukankah hal yang wajar memakai pakaian seksi di depan suami? Apakah sebenarnya ia tak suka jika pasangannya berlaku agresif seperti ini? Apa aku sudah berlebihan? "Mas? " Aku memanggil dengan lirih. Menautkan jemari dan meliriknya yang sekarang seolah menjelma jadi patu
Aku menatap takjub sekelilingku yang menampilkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini aku bisa melihat rumah-rumah di bawah sana terlihat begitu kecil. Di bawah payung lebay yang menaungi kami dari terik matahari, aku dan Mas Suryo rehat sejenak setelah menempuh perjalanan panjang. Ia bilang penginapan yang kami tuju masih setengah jam lagi sampai. Karena hari sudah siang dan kami merasa lapar, kami pun akhirnya mampir dan memesan satu set nasi rames di warung pinggir jalan. Jalanan cukup ramai karena ini memang sedang masanya libur panjang. Banyak orang dari berbagai kota yang datang ke daerah pegunungan ini untuk melepas penat. Pemandangan serba hijau ini tentunya sangat tepat untuk dijadikan penyegar mata. Menyeruput teh hangat, aku menyendok menu makan siangku dengan riang. Di hadapanku Mas Suryo sedang mengunyah setusuk sate kambing, nasi ramesnya sudah lebih dulu ia habiskan sejak tadi. Seperti biasa, perutnya yang seperti karet itu tak akan kenyang sebelum dijejali seti
Aku menggeliat kecil dan membuka mata. Meraba bawah bantal dan menemukan ponsekku berada. Sudah hampir pukul setengah lima pagi. Menoleh ke samping, aku menemukan Mas Suryo yang masih terlelap. Ia tidur dalam posisi tengkurap hingga punggungnya yang lebar dan polos terpampang nyata pada dunia. Mengguncang bahunya beberapa kali, aku kemudian berbisik lirih di dekat telinganya. "Mas, bangun. Udah mau subuh. Mandi yuk. "Pria itu hanya menggeliat. Matanya enggan terbuka. Aku terkekeh kecil dan dengan sabar memberikan beberapa kecupan di pipinya. "Mas... Ayo bangun.""Ngantuk, Yang.... Hngggg. " Kini pria itu bergerak telentang. Aku menunggu hingga akhirnya matanya perlahan terbuka sebelum beringsut dan memberinya satu kecupan lagi tepat di rahangnya yang tegas. "Yuk, mandi sekarang. Mumpung masih sepi. "Ia menolehkan kepala padaku sebentar sebelum mengangguk. Tapi sebelum benar-benar bangkit, tangannya lebih dulu terulur meraih pinggangku mendekat hingga tubuh kami yang masih polos d
"Mas? " Bagaimana bisa suamiku ada di sini sekarang? Apakah ia tahu bahwa aku pergi dan langsung menyusul kesini? "Yang! " serunya sembari mencopot helm dengan tergesa. "Kamu kenapa ninggalin aku?! " Aku tak tau mengapa ia kesal karena seharusnya aku lebih kesal sekarang. Memang siapa yang tak akan kesal jika disuruh membiarkan suaminya menginap dengan wanita lain? Meskipun Mbak Melinda masih berstatus istrinya tapi tetap saja aku sakit hati. Apalagi setelah itu aku juga diusir begitu saja tanpa perasaan. Hewan pun juga bakalan menangis jika diperlakukan dengan begitu tega! Apalagi manusia biasa sepertiku? "Kenapa? Bukannya ibumu menyuruh Mas buat nginep sama Mbak Melinda? " Aku menatapnya memicing. Aku tau Mas Suryo tidak salah karena ia tak tau dengan rencana ibu mertua, tapi entah mengapa aku ingin melampiaskan kekesalanku padanya. "Kenapa Mas malah nyusul kesini? Sana tidur sama menantu kesayangan ibumu itu. Dia pingin kalian rujuk kan! " "Kok kamu marah-marah sih, Yang?
"Suryo, kamu mau menginap kan bersama istrimu? "Makan malah telah usai setengah jam yang lalu. Kini keluarga itu sedang mengobrol ringan di ruang tengah yang tak begitu jauh dari dapur, tempatku yang sedang menyelesaikan pekerjaan mencuci piring. Menajamkan telinga, samar-samar aku bisa mendengar Bu Dewi menanyakan pada Mas Suryo tentang acara menginap. Malam memang sudah larut, wajar jika sang ibu meminta anaknya menghabiskan malam di rumahnya yang terasa kosong. Apa lagi setelah menikah Mas Suryo sangat jarang datang ke sini. Mau berapapun usia sang anak, seorang ibu pasti akan merindukan anaknya untuk sesekali pulang jika berada jauh dari pandangan. "Rumah Suryo kan dekat, Ma. Ngapain pakai nginap segala. ""Kan sudah lama kamu enggak nginap di sini, lho. Enggak kangen apa sama keluarga? ""Bukan gitu ... "Aku tau Mas Suryo pasti memikirkan posisiku yang masih belum merasa nyaman ketika berbaur dengan anggota keluarga ini. Pak Purwoko memang cukup ramah, tapi istrinya tidaklah