Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati.
Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mendapatkan rasa sakit ketika kamu harus terduduk sendirian. Menatap punggungnya yang membungkuk frustasi di kejauhan, aku tau bukan hanya aku yang tersiksa. Aku tau mas Suryo juga tak mau meninggalkanku. Kami juga masih belum selesai berdiskusi tentang masalah mbak Retno. Tapi kami bisa apa? Aku pun tak berhak mencegahnya untuk tetap tinggal. Aku sadar diri aku ini siapa. Saat datang kembali kedalam tenda setelah menyelesaikan panggilan dengan istrinya, mas Suryo langsung memelukku sembari membisikan ribuan kata maaf. Dia bilang harus pergi sekarang, keluarga mertuanya tiba-tiba datang dan ingin menginap. Akan sangat tak patut jika seorang Lurah yang menjadi suami dari anaknya tak terlihat batang hidungnya di rumah padahal malam telah larut. Mereka pasti akan curiga dan bertanya macam-macam. Semuanya akan semakin rumit jika ayah mertua yang menjadi pemilik perkebunan kelapa itu tau bahwa anaknya tak bahagia selama menjalani pernikahan dengannya, pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu pasti tak akan tinggal diam. “Aku baik-baik saja, Mas. Enggak apa-apa, pergilah,” ucapku lirih sembari menepuk pelan punggungnya. “Maaf, ya…” “Iya.” “Aku janji enggak akan kayak gini lagi. Aku janji enggak bakal ninggalin kamu lagi.” Bohong. Janji itu hanya dibuat untuk menenangkanku. Aku tentu lebih tau itu tak akan terpenuhi karena bukan kali ini saja pria itu mengucap janji. “Iya, Mas.” Tapi aku hanya memberinya anggukan, juga berusaha menyunggingkan senyum yang semoga tak terlihat dipaksakan untuk mengurangi rasa bersalahnya. Aku tak apa, batinku berkata pada diri sendiri. Mencoba untuk lebih kuat dan kuat lagi menanggung resiko memiliki kekasih yang telah beristri. Meskipun di satu sisi, perasaan terbuang dan tak dijadikan prioritas pertama selalu mengiris hati. Mengikis percaya diri. Namun aku mencoba sekali lagi untuk bertahan. “Kamu enggak marah kan, Fi?” namun mendengar suaranya yang lirih diliputi ketakutan terang saja langsung membuatku luluh. Sekarang ia seolah menjelma menjadi seorang anak kecil yang ketakutan dimarahi ibunya karena menghilangkan mainan. Langsung saja aku mengurai pelukan dan segera meraih wajahnya yang sendu. “Aku ngertiin kok, Mas,” kataku dengan senyuman. Mengelus wajahnya yang penuh kekhawatiran. “Masih banyak waktu, kita bisa kencan lagi kapan-kapan.” “Makasih ya.” “Iya.” “Aku pergi sekarang.” “Oke.” Aku mengikuti mas Suryo keluar dari warung. Ia masih menggandeng tanganku erat. Tak mau melepaskan. “Aku udah pesanin taksi online buat nganter kamu ke kota…,” ucap mas Suryo sembari mengotak atik layar ponsel saat kami telah sampai di tempat motor pria dewasa itu terparkir. “Makasih,” sekali lagi aku memberinya senyuman. Melepaskan tangannya yang mencengkeram lenganku perlahan meskipun dalam hati tak rela. ”Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Kalo udah sampai kabarin , ya.” Ia hanya memberikan anggukan . Mau tak mau mulai menaiki motor dan memakai helm. selama bersiap mengendarai motor matanya tak pernah lepas menatap ku yang terus menyunggingkan senyum simpul. “I love you.” Ia berkata tiba-tiba, membuatku cukup kaget sebelum kemudian terkekeh. “Love you more, Mamas,” jawabku sembari berjalan mendekatinya yang sudah merentangkan kedua lengan meminta dipeluk. Terkadang sikapnya benar-benar bisa melebihi bocah, manja banget. Untung gemes, untung sayang. ”Udah gih, pulang. Pasti ditungguin sama istri.” Aku menepuk nepuk pinggangnya agar bergegas. Ia menurut walau terlihat begitu enggan. “Kamu enggak mau aku tungguin sampai taksinya datang?” “Enggak usah. Paling bentar lagi datang.” “Ya udah, aku pamit ya.” “ Iya, Mas. Hati-hati, ya.” Kemudian motor matiknya pun meluncur mulus di jalan. Aku terus menatap punggung mas Suryo dan sesekali melambaikan tangan saat kepalanya menoleh. Ya ampun, padahal itu berbahaya, untung saja lalu lintas sedang sepi. Aku tertawa saat ia balik melambai tapi motornya malah sedikit oleng karena melewati jalan berlubang sebelum sosoknya hilang di belokan. Lalu semuanya lenyap. Kosong. Aku seperti ditinggalkan sendiri dalam kegelapan. Ya tuhan, padahal bukan pertama kali, tapi hatiku rasanya masih sakit sekali. Lampu jalanan menyala terang benderang, langit begitu banyak ditaburi bintang- bintang, angin yang bertiup pun sejuk. Semua orang akan berkata bahwa malam ini sangat indah, semua orang pasti sepakat malam ini adalah waktu yang tepat untuk keluar dan bersenang- senang. Tapi aku ingin egois sekali saja, ingin mendung datang dan segera turun hujan. Aku ingin bukan hanya aku yang merasakan kedinginan. Hei angin, bisakah kau membawa awan mendung yang entah berada di mana itu untuk cepat datang? Agar rintiknya jatuh membasahi bumi. Agar air mataku yang kini berlinang menyamarkanku dari perhatian orang yang berlalu lalang. Agar aku, sedikit saja , sejenak saja, berhenti merasa hidupku begitu menyedihkan. Satu yang selalu membuatku bertanya, mengapa sampai saat ini, dengan semua rasa sakit yang aku terima, tidak sekalipun membuatku berpikir untuk berhenti? Aku tak pernah tahu, cinta bisa membuatku kuat begini. *** Malam telah sangat larut saat taksi yang kunaiki sampai di depan gang rumah kosku. Aku mengucapkan terima kasih ketika akan turun dan pak sopir hanya menanggapi dengan senyum dan anggukan. Menyusuri gang sempit yang sepi, pikiranku yang lelah menerawang. Kepala terlempar kebelakang, mendongak dan menatapi langit yang kelam. Bintang-bintang yang semula berkelap kelip telah tiada, tersembunyi oleh bayangan awan yang kelabu. Rupanya tuhan sepertinya mengabulkan doaku, karna mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku tertegun ketika didetik selanjutnya kurasakan satu tetes gerimis mengenai permukaan pipi. Tanpa sadar aku tersenyum sebelum berlari karena tetesannya mulai jatuh dengan deras. Kesedihanku pun entah mengapa terkikis sedikit demi sedikit bersama air asin dari langit yang berjatuhan. Tiba di kompleks kos sederhana tempatku selama ini tinggal , aku langsung mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Ruangan gelap gulita, segera kucari saklar dengan meraba dinding, setelah menemukannya kutekan langsung dan lampu pun menyala. Kamar kosku hanyalah berupa ruangan sempit tanpa sekat. Meskipun begitu aku bersyukur karena disini terdapat kamar mandi dalam, ranjang dengan kasur yang lumayan empuk, juga almari kayu berukuran sedang. Meski tidak luas, tapi lumayan nyaman ditempati. Merasakan dingin karena bajuku sedikit basah, segera saja aku beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun cermin besar yang tertempel di atas bak mandi membuatku tertegun. Aku menatapi diriku di dalam sana, dengan rambut terurai setengah basah dan wajah kusut. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatianku, melainkan kaus yang kupakai. Kaus couple yang kami beli siang tadi. Kaus pasangan pertama kami, saksi bisu dimana aku ditinggalkan lagi dan lagi. Mengingat itu mood ku yang semula mulai membaik kembali buruk. Dengan kesal segera saja kulepas kaus yang kupakai dan melemparnya ke keranjang kotor dengan kasar.Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da
“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu
Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage
Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa ditenangkan oleh orang yang tak disangka-sangka. Anak yang biasanya pecicilan, ceroboh, usil, manja tapi dari tadi malah terus memberiku perhatian yang hangat. Sebenarnya aku merasa haru, anak ini sangat mengingatkanku pada adikku di kampung. Membuatku senang memeluknya. Tapi tentu saja aku tak bisa lama-lama karena bagaimanapun juga dia itu adiknya koh Ari, bosku. Pukul sembilan malam, tokopun tutup. Aku mengambil tas selempangku yang berada di loker dan berpamitan dengan para karyawan lain. Keluar lewat pintu samping dan di sana sudah berdiri sosok Adrian dengan motor matiknya yang berwarna kuning terang. Meskipun terlihat agak norak karena sangat mencolok tapi itu adalah warna kesukaannya. Itu mengingatkannya pada rambut tokoh kartun Jepang favoritnya, Naruto. Aku selalu geli saat Adrian menceritakan salah satu anime terkenal itu dengan menggebu-gebu. Dia terlihat seperti pemuda kebanyakan yang penuh dengan semangat juga kekonyolan. Meski
Malam itu hujan turun lagi dan kali ini sangat deras. Membuat pengunjung yang semula menempati area luar dengan heboh berlari terbirit memasuki area dalam yang lebih aman dari terjangan air. Dan akibatnya, tempat duduk yang semula tak terlalu penuh kini terpaksa saling menerima mejanya harus berbagi dengan yang lain. Begitu juga yang dialami aku dan Adrian, kami yang semula asik ngobrol ini itu sambil mengganyang gurame bakar dan beberapa lalapan yang hampir memenuhi meja, harus cepat-cepat bergeser mempersilahkan sepasang sejoli yang meminta dua kursi yang tersedia di samping kami untuk dijadikan tempatnya duduk. Aku dan Adrian saling berpandangan sekaligus diam-diam meringis sembari mengambil dengan tergesa piring piring berisi nasi juga sambal untuk diletakan lebih ke pinggir agar dua orang pria wanita itu bisa menempati separuh meja. Setelah semuanya tertata rapi, aku dan Adrian yang kini duduk di hadapanku pun kembali menghempaskan bokong pada kursi. Meskipun tak terlalu nyam
Aku marah. Kesal. Emosiku hampir meledak sampai ubun-ubun! Adrian menjerit saat aku dengan ganasnya menarik telinganya kencang. Biar saja ia kesakitan, aku tidak peduli. Yang penting rasa kesalku bisa sedikit tersalurkan dengan melakukan kekerasan pada bocah bongsor itu. Jikapun nanti ia mengadu pada kakaknya aku cukup memiliki alasan untuk mendebatnya. Meskipun aku tau, Adrian bukan tipe anak yang suka mengadu. Ya, siapa yang tak akan marah coba jika bocah ingusan sepertinya melakukan hal yang tak sopan kepadaku. Tanpa permisi pula! Seharusnya sebagai orang yang lebih muda, Adrian lebih menghormatiku layaknya kakaknya sendiri. Bukannya malah menempelkan mulutnya di pipiku dengan sembarangan. Apalagi bibirnya itu belepotan minyak dan sambal!! Kalau nanti aku jerawatan bagaimana? Oh, sungguh aku kesal sekali mengingatnya. Jika sudah sampai kosan nanti aku harus cuci muka tujuh kali sampai bersih. Dan jika nanti tumbuh jerawat! pokoknya, aku tak mau tau, anak itu harus bertang
Pagi itu aku terbangun lebih awal dikarenakan getar ponsel yang terus berdering tiada henti. Kedua mata yang terasa sangat lengket masih enggan terbuka, namun suara berisik nada panggilan telepon tentu saja sangat mengganggu jika aku ingin melanjutkan tidur. Kedua tanganku meraba raba permukaan kasur berseprai merah marun, mencari-cari ponselku yang ternyata ada di bawah bantal. Segera saja kugeser icon hijau tanpa melihat siapa gerangan si penelepon di pagi buta yang amat sangat mengganggu tidurku. "Halo... " Aku bersuara malas mendengar suara gemeresak telepon yang tersambung. Namun beberapa saat tak ada sahutan. Aku pun sekali lagi mengucapkan halo, kali ini terpaksa membuka mata untuk melirik siapa penelepon tersebut. Dan ternyata mas Suryo. Kedua mataku membelalak. "Fi, ini Mas." Mendengar suaranya aku langsung bangkit dalam keadaan terduduk. Rasa kantukku mendadak hilang entah kemana. Sekali lagi ku lihat layar ponsel, dan benar itu mas Suryo. Benar itu memang su
Aku hanya menatap datar pria yang sedang nyengir lebar dihadapanku. Mau mengeluh tapi memang seperti itulah sikapnya. Tidak sabaran. Ini bahkan masih pukul enam pagi. Aku belum mandi dan hanya sempat mencuci muka. Hari minggu seharusnya untuk beres beres rumah dan aku bahkan belum melakukannya, bahkan belum memulainya. Adikku, Ratna bahkan masih ngorok di kamarnya. Tapi pria ini, Mas Suryo sudah berdiri di depan pintu rumah orang tuaku dengan dandanan rapi. "Mas, Ngapain? ""Mau jemput kamu lah, Yang. ""Ini masih jam berapa? " tanyaku menahan gemas. Pria itu hanya menggedikan bahu dengan santai, "lebih cepat, lebih baik. "Aku menghela nafas sembari mengusap wajahku dengan kedua tangan. Merasa sangat lelah padahal ini masih sangat pagi untuk merasakan itu. Apa ia tak takut dipukul lagi oleh bapak? Karena tak tega mengusirnya seperti semalam, akhirnya aku pun membukakan pintu lebih lebar dan mempersilahkannya masuk. Mas Suryo sempat akan memelukku namun aku segera mendorongnya
"Jangan cemberut, " Ucapku sembari mengecup bibirnya yang manyun. Belum cukup untuk membuatnya tersenyum, aku menambah satu kecupan lagi. "Nanti gantengnya ilang, lho. ""Udah seminggu, Yang. " Aku tersenyum saat Mas Suryo mulai melarikan tangannya untuk meraih punggungku mendekat. "Enggak bakal cukup kalau cuma dikasih dua kecupan kecil. "Aku terkekeh. Menggosokan hidungku yang mungil pada hidungnya yang mancung seperti milik para pria eropa. "Puasa dulu, ya, " bisikku mendayu. "Kita masih ada di rumah bapak. ""Ya udah, ayo pulang sekarang. "Tapi sayangnya aku harus menggelengkan kepala. Bukannya tak mau--tentu saja aku mau, aku pun sangat sangat merindukannya--namun kondisi keluargaku masih kacau. Aku harus tetap ada di sini setidaknya sampai mereka lebih tenang. "Aku enggak bisa pulang sekarang, Mas, " Ucapku memulai dengan tenang. "Tapi aku janji aku bakal tetep pulang secepatnya buat kamu. Sabar sebentar lagi ya? "Mas Suryo menghela nafas. "Kapan? "Aku menggedikan bahu. "E
Aku masih terisak dalam pelukan Mas Suryo saat bapak menyentak tanganku kuat untuk menjauh dari pria itu. "Enggak tau malu sekarang, ya? " Bapak mendesis sembari melotot. "Kalian itu bukan muhrim tapi sudah berani nempel kayak lem. Di depan orang tua pula! "Sekali lagi ia menyeretku, kali ini hingga aku berdiri dan meninggalkan Mas Suryo duduk di kursi sendirian. "Pak! " Aku mencoba melepaskan cengkraman bapak dari lenganku. "Sakit, Pak. Lepas! ""Masuk ke kamarmu sekarang! ""Enggak mau! ""Ngelawan kamu sama Bapak?! ""Tunggu dulu, Pak! " Akhirnya Mas Suryo berseru menghentikan perdebatan kami. Ia ikut beringsut berdiri dan melangkah pelan ke arahku. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak, " tuturnya saat telah saling berhadapan. Aku yang semula menatap wajahnya bingung langsung merasa was-was saat Mas Suryo balik menatapku sembari tersenyum tipis. Tanganku yang mulai gemetaran karena tahu apa maksud ucapannya kemudian pria itu genggam dengan erat. "Sebenarnya... ""Mas
Sudah sepuluh menit yang lalu bapak membukakan pintu. Meski tak ada suara pukulan atau perdebatan sengit seperti yang pikiran burukku bayangkan, namun tetap saja hatiku tak bisa tenang barang sedetik saja. Jantungku terus berdebar cepat, aku juga harus berkali-kali menarik nafas panjang agar tak bertambah panik. Aku sangat ketakutan sekarang, sampai telapak tanganku pun basah oleh keringat dingin. Aku sangat penasaran dengan apa yang bapak dan Mas Suryo bicarakan di ruang tamu. Tadi saat aku ingin membuka pintu, bapak langsung melarangku dan berkata untuk segera masuk kamar. Aku tentu saja langsung menyerukan ketidak-mauanku, namun bapak mempemperingatkanku bahwa ia akan mencincang tubuh Mas Suryo dengan parang miliknya jika aku tak menurut. Karena takut bapak benar-benar serius dengan ucapannya, tak ada yang bisa aku lakukan selain patuh. Namun tentu saja, itu hanya aku lakukan sebentar karena setelah bapak sudah duduk dan mengobrol dengan pria yang kucintai di depan sana, aku langs
Ponselku bergetar beberapa kali sejak lima belas menit terakhir. Ada banyak pesan dari Mas Suryo yang menanyakan perihal kepulanganku ini. Meskipun sebelumnya aku sudah pamit dan mendapatkan izinnya untuk bermalam di rumah orang tuaku, nyatanya, pria yang kini menjadi suamiku itu masih saja belum sepenuhnya rela aku menginap. Setelah kami pindah dan menghabiskan waktu berdua, Mas Suryo memang jadi makin rewel dan manja jika ditinggal sebentar saja. Dan aku yakin sikapnya akan makin menjadi karena sejak tadi aku sama sekali tak membalas pesan darinya. Pikiranku masih begitu penuh dengan peristiwa kedatangan Mbak Melinda tadi sore yang mengejutkan semua orang. Bagaimana wanita itu dengan berani membeberkan semuanya di depan keluargaku. Bagaimana aku terpaksa membuka rahasia terbesarku sebagai seorang selingkuhan. Bagaimana bapak yang memerintahkan agar aku mengakhiri hubunganku dengan Mas Suryo. Semuanya berjejalan di dalam otak. Sangat menyesakkan seperti akan meledak.Aku tidak tau
Tidak. Nyatanya bapak tak memberikan tamparan seperti apa yang aku pikirkan. Pria paruh baya itu hanya diam dan membiarkan hanya ibuk yang melemparkan tanya. Dan dengan terpaksa aku pun menceritakan semuanya pada kedua orang tuaku. Hal hal yang selama ini aku sembunyikan dengan rapat tak bisa kucegah untuk terkuak. Aku membenarkan bahwa aku memang memiliki hubungan dengan Pak Lurah. Itu bahkan sudah berlangsung lama. Dan aku sama sekali tak memiliki niatan untuk mengakhiri hubungan ini. Apalagi sekarang kami sudah menikah--aku masih menyimpan rahasia ini karena aku tak ingin membuat keluargaku semakin syok. Hari ini sudah sangat buruk, kenyataan bahwa aku adalah seorang selingkuhan pria beristri, yang ironisnya adalah seorang Lurah di kampung ku sendiri, tentunya itu sudah sangat mengguncang batin kedua orang tuaku. Aku tak mau menambahinya lagi dengan statusku yang kini sudah menjadi istri Mas Suryo. Apalagi, kami hanya menikah siri, bahkan tanpa restu dari orang tua. Ini adalah s
"Cukup! " Kali ini ibuk yang angkat bicara. Aku sampai terhenyak ketika ibuk berusaha bangkit meskipun aku tau beliau masih merasa lemas. Karena takut ibuku akan kembali tumbang seperti tadi, aku pun ikut berdiri di sisinya sembari menahan lengan ibuk. "Anda sudah keterlaluan! ""Kenapa? " Mbak Melinda tetap meninggikan nada suaranya meski yang ia hadapi kini adalah orang tua. Wanita itu bahkan tak segan untuk berkacak pinggang dengan angkuh. "Apa yang saya katakan tadi benar kan? Ibu kira dengan wajah anakmu yang tak seberapa cantik itu bisa memikat laki-laki kaya tanpa bantuan dukun? ""Saya membesarkan anak saya dengan tata krama dan juga agama yang kuat. Jadi Sufi tidak mungkin melakukan hal itu! Bu Melinda jangan sembarangan menuduh!""Jika memang seperti itu, lalu mengapa sekarang ia hidup sebagai perusak rumah tangga orang?! "Ibuk terdiam. Aku dan bapak pun tak mampu menjawab. Kami semua tergugu oleh pertanyaan itu. "Jika memang ia di ajari tata krama dan agama, mengapa ia se
Langit sore itu sudah berwarna merah yang artinya senja akan tiba. Tak ada firasat apapun yang aku rasakan selama menyusuri jalanan yang di penuhi daun-daun kering. Aku dan ibuk hanya sesekali mengobrol. Membicarakan hal random seperti apa yang aku lakukan di kota. Apakah aku makan dengan baik selama ini, apakah aku pernah sakit, apakah aku tidur dengan cukup. Meskipun agak judes, tapi percayalah ibuk itu adalah orang yang sebenarnya sangat perhatian pada keluarga. Karena sudah mendapatkan izin dari Mas Suryo, malam ini pun aku berniat untuk menginap. Pria itu pun sudah beberapa kali mengirim pesan, mengingatkan aku harus menepati janji bahwa aku hanya tinggal selama semalam saja. Benar benar semalam saja. Ia menulis itu berulang kali seolah takut aku akan menetap di sini selama sebulan. Dasar bucin. Sampai di depan rumah aku dan ibuk terherna heran karwna ada mobil yang terparkir angkuh di halaman. Aku tak begitu familiar dengan mobil itu jadi aku oun tak bisa menebak siapa pemil
"Kamu apain anak saya, HAH?! "Dengan wajah super galak ibu berdiri berhadapan dengan Mbak Retno yang langsung mengkeret. Kedua tangan terbentang membentengiku yang masih terduduk di tanah. Sementara suara bentakan keluar dengan lantang dari mulutnya. Jika sudah menyangkut soal anak, ibuk memang tak main main membela. Dari dulu beliau tak mau diam saja jika anaknya diperlakukan dengan semena-mena oleh orang lain. Apalagi jika itu dilakukan tepat di depan mata kepalanya sendiri, sudah pasti ibuk tak akan ada takut takutnya untuk balik membalas. "Kamu dorong Sufi? Beraninya kamu kasar kasar sama anak saya! " Satu jambakan mendarat di rambut mbak Retno yang langsung meronta-ronta. "Berani kamu ya! Mau mati hah?! " Mbak Retno melolong karena jambakan ibuk makin kencang. Aku yang merasa tak tega pada mbak Retno yang kesakitan, dan juga takut ibuk akan lebih kalap langsung berusaha berdiri untuk melerai. "Sudah, buk. ""Biarin, Ndok. Biar ibuk kasih pelajaran sama janda jahat ini. Biar