Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?
Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yakin hidup dalam keluarga yang hanya memikirkan tentang bisnis tentu membuatnya sangat tertekan. Ia dididik begitu keras sedari belia. Waktu kecilpun aku tak pernah melihatnya bermain di luar, ia seperti dikurung. Seperti burung dalam sangkar emas. Aku tak menyangka kehidupan seperti itu benar- benar ada di dunia ini. Dan kekasihku adalah salah satu korbannya. “Bagaimana?” ia terlihat mematut diri di cermin sebelah ruang ganti. Aku menatapnya memuja. Mengangguk dengan pipi yang merona. “cocok sekali. Kelihatan makin ganteng," tanpa sadar aku menyuarakan apa yang aku pikirkan. Mas Suryo menatapku terperangah, kemudian terkekeh kecil. Mungkin kaget karena aku memang jarang memuji ketampanannya yang luar biasa itu secara terang terangan, ya memang karena malu. Tapi seharusnya ia paham bahwa kedua mataku selalu menatapnya dengan penuh rasa kagum. Ia menarik lenganku mendekat, membawaku tepat berada di depannya kemudian merangkul bahuku dengan hangat dari belakang. Kini sosok kami berdua terpantul pada cermin. Aku memalu saat mas Suryo yang tengah menumpukan dagu di bahuku balas menatap di dalam kaca. Tatapannya terasa membakar. Membuatku berdebar tak karuan. "Kita serasi banget ya, Fi? " Ujarnya sambil tersenyum. Jantungku langsung cenat cenut mendengar suaranya yang berbisik di telinga. Aku langsung berdeham kecil untuk menyembunyikan rasa gugupku. “Ma-Mas laper, enggak? Cari makan yuk?”satu trik kuno mengalihkan topik kukeluarkan karena tak kuat dengan sorot mata hitam pekat yang menyorot penuh goda, aku pun berakhir mengalihkan pandangan. Membalikan badan mengahadap sang pujaan dan mengusakkan wajahku yang malu di dadanya yang bidang. “Oke. Ayo cari makan,” ia terkekeh kemudian menepuk nepuk punggungku pelan, seperti menenangkan seorang bayi. ”Sayangnya Mamas mau makan apa?” “Iih, 'sayang-sayang'. Geli tau!” aku mendongak menatapnya sambil cemberut. Ia terkekeh, tau benar aku tak terlalu menyukai panggilan seperti itu. Makanya ia sering mengucapkannya untuk sekedar menggodaku. Sebenarnya bukannya aku membenci sebutan itu, tapi ketika ia memanggilku sayang, rasanya sangat menggelitik. Aku jadi ingin menggelinjang geli. Juga membuatku malu setengah mati. “Lho, memang benar kan? Sufi kan memang sayangnya Mamas. Hahaha...” “Mas!” “Coba ayok sekali kali panggil Mamas 'sayang'.” “Enggak mau!” aku kembali membenamkan wajahku di dadanya. “Kenapa sih? Mamas pengen tau di panggil sayang sama kamu,” aku menggeleng cepat. “Enggak mau. Geli...” “Geli?” “Malu...” Tubuh mas Suryo berguncang dengan tawa membahana. Aku memukuli lengannya bertubi tubi, menyuruhnya berhenti. Karyawan toko pasti tengah memperhatikan kelakuan kami yang sangat berisik. Tapi sepertinya pria itu tak peduli. “Enggak usah malu dong, Sayang. Masa sama pacar sendiri malu?” sebelah tangannya meraih wajahku yang memerah matang untuk ditatapnya dalam. “Ayo panggil 'sayang' sekali aja. Nanti Mamas kasih hadiah, deh.” Aku ingin menolak, tapi tatapannya yang begitu memelas membuatku dilema. “Hadiahnya apa?” “Apa aja. Terserah kamu.” “Terserah aku?” mas Suryo mengangguk. Aku menimbang-nimbang. Sesekali melirik matanya yang terus menanti. “O-oke.” Raut wajah pria itu langsung cerah. Seolah baru saja menyedot seluruh cahaya matahari sehungga wajahnya berkilauan begitu terang. Aku memberanikan diri mengalungkan kedua lenganku di sekitar lehernya dan berjinjit. Demi tuhan, pria ini sangat tinggi. “Sa-sayang…” aku berbisik tepat di samping telinganya. Kemudian melepas kalungan lenganku dan berdiri menghadapnya kembali. Tapi aku harus kecewa karena raut mas Suryo sepertinya kurang puas dengan apa yang aku lakukan barusan. Reflek aku mengangkat kepalan tangan sebatas dagu sembari memiringkan kepala. Mencoba kembali dengan raut yang lebih imut. ”Mas Suryo, sayang?” berkedip beberapa kali menunggu respon, aku tertegun menatapnya yang hanya diam. Tapi aku tau aku berhasil karena telinga pria itu memerah. Namun sayangnya aku tak sadar seberapa besar dampak dari hal kecil yang kulakukan tadi bagi pria berumur dua puluh tujuh itu. Karena seper sekian detik selanjutnya tubuhku terseret masuk ke ruang ganti dengan mulut yang tersumpal bibirnya. Oke, mungkin ini pertama dan terakhir kalinya aku akan memanggilnya sayang. *** Langit sorre hari memang yang terbaik. Ada banyak campuran warna yang menakjubkan, meskipun tentu saja lebih didominasi oleh mega merah. Udaranya pun sejuk, tidak terik seperti siang tadi. Pokoknya nyaman sekali jika dihabiskan berjalan-jalan di luar rumah seperti yang kami sedang lakukan sekarang ini. Menyusuri trotoar sembari terus berbincang asik, telapak tangan tak pernah lepas digenggaman. Kami masih meributkan soal menu makan malam apa yang harus dipilih sembari meneliti jejeran warung tenda yang mulai ramai berdiri di pinggiran jalan. Jangan sampai kami kehabisan setok karena warung warung itu mulai diserbu pengunjung yang kelaparan. “Mau sate atau nasi goreng?” “Ah, bosan,” aku menggeleng. ”Bagaimana dengan bakso?” “Tidak, tidak. Nasi padang saja!” mas Suryo menarik lenganku namun aku menahannya. Aku sedang malas makan sesuatu yang bersantan. “Tunggu dulu. Mie ayam ceker?” kali ini ia yang menggeleng. “Gado-gado saja, oke?” aku cemberut tidak setuju. Sambal kacang akan membuat berat badanku bertambah banyak. itu adalah hal terakhir yang aku inginkan sekarang.”Hem, ya sudah, jadi katakan apa mau mu?” “Ayam bakar!” aku mengatakannya dengan mata berbinar. Mas Suryo tertawa, tangannya terangkat mengacak rambutku. “Baiklah. Kali ini kau menang sayangku…” ucapannya membuatku tersipu. Aku segera menarik tangannya menuju tenda yang menjual ayam bakar. Saat kami masuk bapak penjual yang berdagang bersama perempuan yang aku tebak adalah istrinya itu langsung menyambut kami dengan ramah. Kami memesan dua porsi ayam bersama nasi, es jeruk juga beberapa gorengan yang terlihat begitu lezat. Untung saja saat itu pembeli yang datang hanya kami berdua sehingga kami bisa memilih kursi dengan leluasa. Mungkin kami adalah pelanggan pertama yang datang karena memang ini masih sangat awal untuk makan malam dan aku mensyukuri itu. Satu yang membuatku sedikit jengah, meskipun tahu kursi yang tersedia masih banyak, kekasihku itu malah sengaja duduk mendempet di sampingku. Alasannya karena ia takut jika nanti banyak orang yang datang dan warung bisa saja penuh sesak. Ia tak ingin ada orang lain yang duduk di sampingku seperti saat ini. Diam- diam aku berpikir sifat posesifnya itu memang agak berlebihan. Ini memang aneh dan menggelikan tapi aku menyukainya. Tolong jangan menertawakanku! Tak lama berselang makanan kami siap di atas meja bersamaan dengan kedatangan beberapa muda mudi yang langsung membuat ramai warung tenda yang memang memiliki luas tak seberapa itu. Kami tak memperdulikan mereka dan asyik menyantap nasi dan ayam untuk memenuhi cacing di perut yang sudah sejak tadi meronta-ronta minta diberi makan. Kulihat mas Suryo menyuap dengan suapan besar-besar, sangat lahap. Ia terlihat seperti orang yang belum makan selama sepekan. Tapi itu membuatnya sangat lucu. Pada dasarnya ku memang suka melihat orang yang makannya antusias seperti itu dan tak memikirkan gengsi atau tata krama makan layaknya bangsawan. Namun sempat aku berpikir bagaimana mungkin Lurah yang biasanya penuh wibawa jika bersama pegawai desa menjelma menjadi anak muda bar-bar yang doyan makan begini? Meski begitu aku senang karna ia bisa melepaskan segala bebannya, topeng tenangnya yang sempurna atau pun rasa tertekannya yang selama ini ia sembunyikan sendirian. Walaupun hanya sebentar aku ingin ia merasa nyaman sekarang, bersamaku. Aku terkikik sembari mengangkat tangan untuk menghapus noda sambal di sekitar mulut sang pria yang sedang khusyuk melahap ayam bakar itu, membuatnya sedikit kaget namun kemudian tersenyum lebar. Sepertinya ia sangat senang sampai tak sadar ada potongan cabai yang terselip di giginya yang putih bersih. Aku tak kuat menahan tawa. Rasanya sampai ingin menitikan air mata melihat tampangnya yang sangat konyol itu. Namun seharusnya aku tau, seharusnya aku sadar bahwa semua ini, kebahagiaan ini benar-benar fana. Karena beberapa detik selanjutnya semua keceriaan itu sirna begitu getar hape yang tergeletak di meja menginterupsi. Tentu bukan miliku yang sudah kehabisan daya sejak siang tadi dan sekarang sudah kusimpan dalam tas. Layar lebarnya yang menyala menampilkan sederet nomor dengan nama besar yang mampu kubaca dengan jelas. Istrinya memanggil.Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend
Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da
“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu
Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage
Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa ditenangkan oleh orang yang tak disangka-sangka. Anak yang biasanya pecicilan, ceroboh, usil, manja tapi dari tadi malah terus memberiku perhatian yang hangat. Sebenarnya aku merasa haru, anak ini sangat mengingatkanku pada adikku di kampung. Membuatku senang memeluknya. Tapi tentu saja aku tak bisa lama-lama karena bagaimanapun juga dia itu adiknya koh Ari, bosku. Pukul sembilan malam, tokopun tutup. Aku mengambil tas selempangku yang berada di loker dan berpamitan dengan para karyawan lain. Keluar lewat pintu samping dan di sana sudah berdiri sosok Adrian dengan motor matiknya yang berwarna kuning terang. Meskipun terlihat agak norak karena sangat mencolok tapi itu adalah warna kesukaannya. Itu mengingatkannya pada rambut tokoh kartun Jepang favoritnya, Naruto. Aku selalu geli saat Adrian menceritakan salah satu anime terkenal itu dengan menggebu-gebu. Dia terlihat seperti pemuda kebanyakan yang penuh dengan semangat juga kekonyolan. Meski
Malam itu hujan turun lagi dan kali ini sangat deras. Membuat pengunjung yang semula menempati area luar dengan heboh berlari terbirit memasuki area dalam yang lebih aman dari terjangan air. Dan akibatnya, tempat duduk yang semula tak terlalu penuh kini terpaksa saling menerima mejanya harus berbagi dengan yang lain. Begitu juga yang dialami aku dan Adrian, kami yang semula asik ngobrol ini itu sambil mengganyang gurame bakar dan beberapa lalapan yang hampir memenuhi meja, harus cepat-cepat bergeser mempersilahkan sepasang sejoli yang meminta dua kursi yang tersedia di samping kami untuk dijadikan tempatnya duduk. Aku dan Adrian saling berpandangan sekaligus diam-diam meringis sembari mengambil dengan tergesa piring piring berisi nasi juga sambal untuk diletakan lebih ke pinggir agar dua orang pria wanita itu bisa menempati separuh meja. Setelah semuanya tertata rapi, aku dan Adrian yang kini duduk di hadapanku pun kembali menghempaskan bokong pada kursi. Meskipun tak terlalu nyam
Aku marah. Kesal. Emosiku hampir meledak sampai ubun-ubun! Adrian menjerit saat aku dengan ganasnya menarik telinganya kencang. Biar saja ia kesakitan, aku tidak peduli. Yang penting rasa kesalku bisa sedikit tersalurkan dengan melakukan kekerasan pada bocah bongsor itu. Jikapun nanti ia mengadu pada kakaknya aku cukup memiliki alasan untuk mendebatnya. Meskipun aku tau, Adrian bukan tipe anak yang suka mengadu. Ya, siapa yang tak akan marah coba jika bocah ingusan sepertinya melakukan hal yang tak sopan kepadaku. Tanpa permisi pula! Seharusnya sebagai orang yang lebih muda, Adrian lebih menghormatiku layaknya kakaknya sendiri. Bukannya malah menempelkan mulutnya di pipiku dengan sembarangan. Apalagi bibirnya itu belepotan minyak dan sambal!! Kalau nanti aku jerawatan bagaimana? Oh, sungguh aku kesal sekali mengingatnya. Jika sudah sampai kosan nanti aku harus cuci muka tujuh kali sampai bersih. Dan jika nanti tumbuh jerawat! pokoknya, aku tak mau tau, anak itu harus bertang