Share

5. Terlena Hingga Lupa

Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?

Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yakin hidup dalam keluarga yang hanya memikirkan tentang bisnis tentu membuatnya sangat tertekan. Ia dididik begitu keras sedari belia. Waktu kecilpun aku tak pernah melihatnya bermain di luar, ia seperti dikurung. Seperti burung dalam sangkar emas. Aku tak menyangka kehidupan seperti itu benar- benar ada di dunia ini. Dan kekasihku adalah salah satu korbannya.

“Bagaimana?” ia terlihat mematut diri di cermin sebelah ruang ganti. Aku menatapnya memuja. Mengangguk dengan pipi yang merona.

“cocok sekali. Kelihatan makin ganteng," tanpa sadar aku menyuarakan apa yang aku pikirkan. Mas Suryo menatapku terperangah, kemudian terkekeh kecil. Mungkin kaget karena aku memang jarang memuji ketampanannya yang luar biasa itu secara terang terangan, ya memang karena malu. Tapi seharusnya ia paham bahwa kedua mataku selalu menatapnya dengan penuh rasa kagum.

Ia menarik lenganku mendekat, membawaku tepat berada di depannya kemudian merangkul bahuku dengan hangat dari belakang. Kini sosok kami berdua terpantul pada cermin. Aku memalu saat mas Suryo yang tengah menumpukan dagu di bahuku balas menatap di dalam kaca. Tatapannya terasa membakar. Membuatku berdebar tak karuan.

"Kita serasi banget ya, Fi? " Ujarnya sambil tersenyum.

Jantungku langsung cenat cenut mendengar suaranya yang berbisik di telinga. Aku langsung berdeham kecil untuk menyembunyikan rasa gugupku.

“Ma-Mas laper, enggak? Cari makan yuk?”satu trik kuno mengalihkan topik kukeluarkan karena tak kuat dengan sorot mata hitam pekat yang menyorot penuh goda, aku pun berakhir mengalihkan pandangan. Membalikan badan mengahadap sang pujaan dan mengusakkan wajahku yang malu di dadanya yang bidang.

“Oke. Ayo cari makan,” ia terkekeh kemudian menepuk nepuk punggungku pelan, seperti menenangkan seorang bayi. ”Sayangnya Mamas mau makan apa?”

“Iih, 'sayang-sayang'. Geli tau!” aku mendongak menatapnya sambil cemberut. Ia terkekeh, tau benar aku tak terlalu menyukai panggilan seperti itu. Makanya ia sering mengucapkannya untuk sekedar menggodaku. Sebenarnya bukannya aku membenci sebutan itu, tapi ketika ia memanggilku sayang, rasanya sangat menggelitik. Aku jadi ingin menggelinjang geli. Juga membuatku malu setengah mati.

“Lho, memang benar kan? Sufi kan memang sayangnya Mamas. Hahaha...”

“Mas!”

“Coba ayok sekali kali panggil Mamas 'sayang'.”

“Enggak mau!” aku kembali membenamkan wajahku di dadanya.

“Kenapa sih? Mamas pengen tau di panggil sayang sama kamu,” aku menggeleng cepat.

“Enggak mau. Geli...”

“Geli?”

“Malu...”

Tubuh mas Suryo berguncang dengan tawa membahana. Aku memukuli lengannya bertubi tubi, menyuruhnya berhenti. Karyawan toko pasti tengah memperhatikan kelakuan kami yang sangat berisik. Tapi sepertinya pria itu tak peduli.

“Enggak usah malu dong, Sayang. Masa sama pacar sendiri malu?” sebelah tangannya meraih wajahku yang memerah matang untuk ditatapnya dalam. “Ayo panggil 'sayang' sekali aja. Nanti Mamas kasih hadiah, deh.” Aku ingin menolak, tapi tatapannya yang begitu memelas membuatku dilema.

“Hadiahnya apa?”

“Apa aja. Terserah kamu.”

“Terserah aku?” mas Suryo mengangguk. Aku menimbang-nimbang. Sesekali melirik matanya yang terus menanti.

“O-oke.”

Raut wajah pria itu langsung cerah. Seolah baru saja menyedot seluruh cahaya matahari sehungga wajahnya berkilauan begitu terang. Aku memberanikan diri mengalungkan kedua lenganku di sekitar lehernya dan berjinjit. Demi tuhan, pria ini sangat tinggi.

“Sa-sayang…” aku berbisik tepat di samping telinganya. Kemudian melepas kalungan lenganku dan berdiri menghadapnya kembali. Tapi aku harus kecewa karena raut mas Suryo sepertinya kurang puas dengan apa yang aku lakukan barusan. Reflek aku mengangkat kepalan tangan sebatas dagu sembari memiringkan kepala. Mencoba kembali dengan raut yang lebih imut. ”Mas Suryo, sayang?” berkedip beberapa kali menunggu respon, aku tertegun menatapnya yang hanya diam. Tapi aku tau aku berhasil karena telinga pria itu memerah. Namun sayangnya aku tak sadar seberapa besar dampak dari hal kecil yang kulakukan tadi bagi pria berumur dua puluh tujuh itu. Karena seper sekian detik selanjutnya tubuhku terseret masuk ke ruang ganti dengan mulut yang tersumpal bibirnya.

Oke, mungkin ini pertama dan terakhir kalinya aku akan memanggilnya sayang.

***

Langit sorre hari memang yang terbaik. Ada banyak campuran warna yang menakjubkan, meskipun tentu saja lebih didominasi oleh mega merah. Udaranya pun sejuk, tidak terik seperti siang tadi. Pokoknya nyaman sekali jika dihabiskan berjalan-jalan di luar rumah seperti yang kami sedang lakukan sekarang ini.

Menyusuri trotoar sembari terus berbincang asik, telapak tangan tak pernah lepas digenggaman. Kami masih meributkan soal menu makan malam apa yang harus dipilih sembari meneliti jejeran warung tenda yang mulai ramai berdiri di pinggiran jalan. Jangan sampai kami kehabisan setok karena warung warung itu mulai diserbu pengunjung yang kelaparan.

“Mau sate atau nasi goreng?”

“Ah, bosan,” aku menggeleng. ”Bagaimana dengan bakso?”

“Tidak, tidak. Nasi padang saja!” mas Suryo menarik lenganku namun aku menahannya. Aku sedang malas makan sesuatu yang bersantan.

“Tunggu dulu. Mie ayam ceker?” kali ini ia yang menggeleng.

“Gado-gado saja, oke?” aku cemberut tidak setuju. Sambal kacang akan membuat berat badanku bertambah banyak. itu adalah hal terakhir yang aku inginkan sekarang.”Hem, ya sudah, jadi katakan apa mau mu?”

“Ayam bakar!” aku mengatakannya dengan mata berbinar. Mas Suryo tertawa, tangannya terangkat mengacak rambutku.

“Baiklah. Kali ini kau menang sayangku…” ucapannya membuatku tersipu. Aku segera menarik tangannya menuju tenda yang menjual ayam bakar. Saat kami masuk bapak penjual yang berdagang bersama perempuan yang aku tebak adalah istrinya itu langsung menyambut kami dengan ramah. Kami memesan dua porsi ayam bersama nasi, es jeruk juga beberapa gorengan yang terlihat begitu lezat. Untung saja saat itu pembeli yang datang hanya kami berdua sehingga kami bisa memilih kursi dengan leluasa. Mungkin kami adalah pelanggan pertama yang datang karena memang ini masih sangat awal untuk makan malam dan aku mensyukuri itu. Satu yang membuatku sedikit jengah, meskipun tahu kursi yang tersedia masih banyak, kekasihku itu malah sengaja duduk mendempet di sampingku. Alasannya karena ia takut jika nanti banyak orang yang datang dan warung bisa saja penuh sesak. Ia tak ingin ada orang lain yang duduk di sampingku seperti saat ini. Diam- diam aku berpikir sifat posesifnya itu memang agak berlebihan. Ini memang aneh dan menggelikan tapi aku menyukainya. Tolong jangan menertawakanku!

Tak lama berselang makanan kami siap di atas meja bersamaan dengan kedatangan beberapa muda mudi yang langsung membuat ramai warung tenda yang memang memiliki luas tak seberapa itu. Kami tak memperdulikan mereka dan asyik menyantap nasi dan ayam untuk memenuhi cacing di perut yang sudah sejak tadi meronta-ronta minta diberi makan. Kulihat mas Suryo menyuap dengan suapan besar-besar, sangat lahap. Ia terlihat seperti orang yang belum makan selama sepekan. Tapi itu membuatnya sangat lucu. Pada dasarnya ku memang suka melihat orang yang makannya antusias seperti itu dan tak memikirkan gengsi atau tata krama makan layaknya bangsawan.

Namun sempat aku berpikir bagaimana mungkin Lurah yang biasanya penuh wibawa jika bersama pegawai desa menjelma menjadi anak muda bar-bar yang doyan makan begini? Meski begitu aku senang karna ia bisa melepaskan segala bebannya, topeng tenangnya yang sempurna atau pun rasa tertekannya yang selama ini ia sembunyikan sendirian. Walaupun hanya sebentar aku ingin ia merasa nyaman sekarang, bersamaku.

Aku terkikik sembari mengangkat tangan untuk menghapus noda sambal di sekitar mulut sang pria yang sedang khusyuk melahap ayam bakar itu, membuatnya sedikit kaget namun kemudian tersenyum lebar. Sepertinya ia sangat senang sampai tak sadar ada potongan cabai yang terselip di giginya yang putih bersih. Aku tak kuat menahan tawa. Rasanya sampai ingin menitikan air mata melihat tampangnya yang sangat konyol itu.

Namun seharusnya aku tau, seharusnya aku sadar bahwa semua ini, kebahagiaan ini benar-benar fana. Karena beberapa detik selanjutnya semua keceriaan itu sirna begitu getar hape yang tergeletak di meja menginterupsi. Tentu bukan miliku yang sudah kehabisan daya sejak siang tadi dan sekarang sudah kusimpan dalam tas. Layar lebarnya yang menyala menampilkan sederet nomor dengan nama besar yang mampu kubaca dengan jelas.

Istrinya memanggil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status