Share

4. Biarkan Angin Bertiup

Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.

Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.

Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.

Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat kerja dikarenakan tak enak badan. Ini pertama kalinya aku berbohong pada pria Cina itu, membuatku merasa sedikit bersalah namun aku tak bisa memaksakan diri untuk tetap bekerja sementara keadaanku sedang tak karu-karuan.

Angin kembali berhembus sepoi-sepoi, mengajaku bangkit dan melangkah mendekati pembatas bendungan. Aku menunduk, memperhatikan bayangan wajahku yang tecermin di permukaan air yang jernih.

Itu adalah sebuah wajah yang kusut. Kecerahan yang biasa terpancar hilang tersedot oleh kesedihan yang terpantul pada sepasang bola mata. Aku tak bisa menangis sekarang, rasanya tidak berhak. Meskipun aku ingin menjerit kencang sembari beruraian air mata, menumpahkan segala sesak yang selama ini menyiksa namun aku hanya bisa menahannya. Terus menahannya karena aku benar-benar tak berhak. Tangisan hanya untuk seorang korban, dan aku adalah tersangka. Sama sekali tak patut meminta belas kasih. Aku adalah penjahat yang tak boleh dikasihani. Aku adalah pendosa yang meyakiti kaumku sendiri. Aku tak termaafkan. Air mataku tak boleh jatuh sia sia.

“Sufi!”

Suara itu membuatku teralihkan dari bayangan wajah suram dari permukaan air. Kulihat sosok lelaki dengan kemeja batik tengah terburu-buru menghampiri. Rambutnya yang tebal nan halus bergoyang tertiup angin, terlihat begitu tampan seperti aktor drama.

Aku benar-benar terkejut dengan kedatangan mas Suryo. Mungkin karena sibuk melamun, aku bahkan tidak mendengar suara khas motornya yang kulihat sudah terparkir sembarang di dekat pohon.

“Mas? Ngapain ke sini? Enggak ke kantor?” aku mendahuluinya yang sedikit ngos-ngosan dengan bertanya. Hari ini bukan hari libur, seharusnya mas Suryo ada di kelurahan, mengorganisir keperluan desa.

“Aku khawatir…” ia menghela nafas beberapa kali untuk menetralkan isi paru yang kembang kempis.”Kamu enggak apa-apa?” aku mengangguk, membiarkannya meraih kedua telapak tanganku dan menggenggamnya lembut. Aku memang sudah menceritakan kejadian tadi pagi pada mas Suryo. Meskipun aku tak mau menambah beban pikirannya yang pasti sudah penuh dengan kegiatan desa, namun aku tak bisa menanggung kegelisahan ini sendiri. Aku tak setangguh itu.

“Koh Ari enggak marah kan aku enggak masuk kerja?”

“Enggak. Dia maklum kok.”

“ Syukurlah.”

Saling bergandengan tangan, kami akhirnya berjalan mencari tempat duduk untuk berdiskusi. Tentu saja kejadian tadi pagi membuat kami terguncang. Hubungan kami memang sangat beresiko, dan bukannya kami tak sadar bahwa cepat atau lambat kami akan ketahuan, tapi bukan dengan cara seperti ini yang kami inginkan. Diancam kemudian diperas oleh orang dekat sama sekali tak pernah terpikirkan olehku.

“Kita ceroboh,” aku mulai menyuarakan unek-unek yang seharian ini mengganjal. “Seharusnya kita jangan bertemu saat berada di lingkungan desa. Bagaimana mungkin ini terjadi? Dua kali dan kali ini bahkan lebih parah.” aku menutup wajah dengan sebelah tangan, begitu kalut.

“Apa maunya?”

“Dia meminta uang”

“Akan aku berikan. Berapa banyak?”

“Mas!” aku memandanggnya nanar. Menggelengkan kepala. “Aku enggak mau kamu dimanfaatkan. Lagipula setelah kamu memberikannya uang seperti yang ia mau, mbak Retno pasti akan memintanya lagi dan lagi. Dia enggak akan berhenti menghisap darahmu sampai habis seperti lintah!” ujarku menggebu-gebu. Aku mulai tahu watak asli mbak Retno yang sangat licik untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan kelemahan seseorang. Dan hal itu membuatku selalu merasa was-was.

“Kalo gitu ayo nikah saja,”

Aku memandang wajah antusias itu dengan lemas. Di saat seperti ini mengapa ia masih bisa bercanda?

“Mas, serius dong. Jangan main-main, enggak lucu tau.”

“Aku serius, kok.” Rautnya memang sungguh-sungguh, namun aku masih tak mepercayainya membawa topik itu lagi dan dijadikannya solusi. Meskipun aku sangat ingin menjadi istrinya tapi aku masih memikirkan istri sahnya yang sampai saat ini tak mau bercerai. Aku pun tak tau apa alasan wanita modis itu bertahan dalam rumah tangga di mana penghuninya sama-sama tak merasa bahagia.

“Ayo nikah saja, Fi. Aku ingin kamu jadi milikku seutuhnya.” Jangan fikir aku tak tergoda. Aku juga ingin memilikinya. Namun jika kami menikah saat ini, dirinya tentu bukanlah milikku seutuhnya.

“Kamu ingin menjadikanku istri simpanan, Mas?” aku menatapnya sendu. Mas Suryo langsung panik mencari jawaban.

“Enggak lah, Fi!”

“Terus apa?”

“Ya istri sah ku!”

“Lalu istrimu yang sekarang mau di kemanakan?”

Aku hampir menangis, aku sangat benci berdebat dengannya. Menelan ludah yang serasa tersangkut di tenggorokan aku kemudian melanjutkan

”Atau mungkin, malah aku yang akan kamu sembunyikan…Mas?”

Aku terus menanti jawabannya sembari mempertahankan tatapan, sebelum mas Suryo malah bangkit dan mengacak rambutnya frustasi. Saat itu, airmataku meluncur bebas membasahi pipi. Aku terisak-isak perih sembari membekap mulut dengan telapak tangan.

Tuhan, mengapa hubungan kami harus berjalan rumit seperti ini?

***

Matahari berada tepat di atas kepala saat kami akhirnya sampai di sebuah pantai yang membutuhkan waktu perjalanan lebih dari dua jam dari desa Ijo royo. Mungkin karena bukan akhir pekan atau hari libur, suasana pantai saat ini cenderung lengang. Hanya beberapa wisatawan yang terlihat tengah bermain ombak dan kejar kejaran seperti anak kecil. Aku hanya tersenyum kecil memperhatikan pemandangan itu.

Duduk sembari menyelonjorkan kaki di atas pasir, kurasakan angin bertiup cukup kencang. Menghempas rambutku seolah ingin menerbangkannya ke langit. Namun kemudian sebuah topi lebar terpasang begitu saja di kepala, melindungiku dari ganasnya terjangan angin juga terik matahari yang menyengat kulit.

“Es kelapa?” mas Suryo menyodorkanku sebuah kelapa hijau yang kulihat memiliki dua sedotan. Aku terkikik dengan rautnya yang memalu karena ketahuan tengah modus. Kemudian mengikuti kemauannya untuk meminum cairan segar itu bersama-sama. Membuat wajah kami begitu dekat. Sambil terus menikmati minuman yang perlahan membasahi tenggorokan, kedua mata kami menyorot lekat. Menyelami keindahan retina masing masing dengan penuh puja. Seolah sekali lagi menemukan jawaban mengapa kami saling jatuh cinta.

Aku tersenyum dengan wajah memerah, akhirnya kalah beradu tatap dengan lelaki tangguh itu dengan mengalihkan pandangan dan menunduk. Tak lama kemudian sang pria tergelak kencang begitu aku tebatuk hebat, tersedak. Rupanya karena berdebar hebat air kelapa yang kuminum malah salah saluran menjadi terhirup hidung. Memalukan sekali.

“Jangan ketawa, Mas!” rengekku sembari menutupi wajah memerah seperti kepiting rebus dengan kedua tangan. Sial sekali hari ini, ya tuhan.

“Kamu lucu banget sih, Fi." ia belum juga berhenti terawa. Kedua tangannya memanjang meraih tubuhku untuk dipeluk. Aku memukuli bahunya yang terus berguncang, kesal karena ia terlihat begitu senang mendapati kekasihnya melakukan hal yang memalukan.

“Berhenti enggak? Aku cubit nih!” ancamku. Sembari menguraikan pelukan, mas suryo kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Bibirnya mengulaskan senyuman.

“Ya udah maaf, maaf. Jangan ngambek,” tapi aku tentu saja cemberut. namun hanya beberapa saat karena sedetik kemudian tubuhku terperanjat begitu kurasakan bibirnya menempel di mulutku. Dengan santainya mas Suryo melakukan itu padahal kami berada di tempat umum. Jantungku rasanya ingin melompat dari rongga dada.

“Fi, malam ini nginep yuk?” ucapnya saat tautan kami terlepas. Ia memandangku dengan dalam, penuh permohonan.

Aku mengerjap berulang kali mencoba mengais kesadaran. Nyawaku rasanya terbang entah kemana, apalagi mendengar ajakannya barusan membuatku semakin linglung.

“Mau, ya?”

Entah apa yang aku pikirkan saat itu, atau mungkin aku memang tak memiliki pikiran, karena setelahnya aku mengangguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status