Share

2. Peluk Rindu

Author: Enie moors
last update Last Updated: 2024-09-28 14:35:43

Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.

Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya.

Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras.

“Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayup kudengar bass suaranya dari luar rumah.

“Iya, benar. Tapi syukur masih bisa diperbaiki, Nak, Suryo.”Bapak menimpali. Mereka saling menyeruput kopi dengan suara yang keras. Membuatnya terdengar begitu sedap.

“Memangnya bapak bisa naik atap sendiri? Sudah umur segini, lho. Takut kenapa- kenapa...”

“Ya mau bagaimana lagi...masa Ibuk?” Bapak menjawab sambil terkekeh.

Aku keluar dari dalam rumah membawa kudapan singkong goreng yang masih mengepul. Diam–diam saling lirik saat pak Lurah berdeham.

“Ya jangan Ibu, dong. Calon menantunya mungkin?” ia mencoba berkelakar. Tanpa sepengetahuan Bapak tangannya usil meraih jemariku saat aku meletakan singkong di atas meja. Aku mendelik kearahnya, bukannya takut ia malah nyengir.

“Sufi masih terlalu muda, belum mikir nikah katanya.”

Aku memang berkata seperti itu pada kedua orang tuaku saat dulu ada pemuda yang berniat melamar. Karena saat itu aku memang baru lulus SMA dan ingin mencari uang yang banyak lebih dahulu untuk membantu keluarga. Aku ingin sekali saja bisa sedikit membalas budi mereka yang sudah susah payah membesarkanku. Ingin menyenangkan hati mereka dengan jerih payahku sendiri.

“Ooh, begitu ....” Pak Lurah mengangguk sambil tersenyum. Kulepas genggaman tangannya pelan dan segera melenggang pergi ke dalam rumah, tak peduli lagi dengan sepasang matanya yang terus mengikutiku.

“Memang tidak terlalu bagus nikah muda ya, Pak? Takut menyesal. Hahah...”

Dia pasti sedang membicarakan dirinya sendiri yang memang tidak bahagia dengan pernikahannya. Mas Suryo memang baru berusia 27 tahun sekarang, dulu menikahpun karena dijodohkan. Selang lima tahun berumah tangga mereka tak juga dikaruniai keturunan, dan beberapa bulan belakangan santer terdengar gosip bahwa istrinya didiagnosis mandul oleh Dokter. Aku pernah bertanya langsung padanya tapi ia tak pernah menjawab. Mas Suryo selalu mengalihkan pembicaraan, sepasang matanyapun akan terlihat sendu jika kami kembali membahas topik berat itu. Makanya sampai kinipun aku enggan menanyainya kembali. Dia yang biasanya penuh percaya diri akan selalu terlihat paling menderita. Meskipun aku ingin ia terbuka, tapi aku tidak tega.

……

Habis subuh aku segera berkemas dan pamit pada Ibu dan Bapak untuk segera pergi ke kota. Aku mencoba menggedor kamar adikku, tapi ia tak jua membuka pintu.

Ratna masih marah rupanya, kemarin pun ia tak sempat makan malam. Mungkin ia benar-benar tak mau melihat wajahku. Padahal kami sudah lama sekali tak bertemu.

“Kakak pamit, Dek. Kalau ada apa-apa kabarin Kakak, ya?” aku mengelus permukaan pintu kamar Ratna perlahan. Merasa nelangsa karna dimusuhi oleh saudara sendiri , dan aku masih tak paham apa kesalahanku sebenarnya.

Di belakang, Ibu menepuk bahuku, memberitahu aku harus cepat pergi ke terminal untuk mengejar bus jurusan kota. Jika kesiangan sedikit saja aku mungkin bisa ketinggalan. Koh Ari juga tidak mungkin memberikan kelonggaran jika aku tak masuk kerja, gajiku pasti akan dipotong.

“Hati-hati, Ndok …”

Ibu mengantarku sampai depan pintu. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya sambil menahan tangis. Dua bulan pergi, dan hanya dua hari tinggal di rumah. Harusnya aku bersyukur karena masih bisa pulang dan disambut baik tanpa gunjingan yang tak terlalu berarti, namun aku masih saja merasa kurang, masih begitu merindu untuk tinggal.

Haruskah aku pergi sekarang?nyawaku masih ingin di sini.

“Minggu depan Sufi pulang lagi ya, Buk…?” aku merengek. Ibu hanya mengangguk sambil terkekeh. Kedua tangannya yang sudah mulai keriput mengelus rambut dan pipiku yang merah karena udara dingin pagi hari.

“Iya, Ndok. Kami menunggu.”

Sambil berjalan mundur, aku melambaikan tangan. Kedua mataku berkaca-kaca, tak mau melepaskan pandangan dari sosok Ibu yang masih berdiri dihalaman. Apalagi, aku bisa menangkap siluet adikku yang ternyata diam-diam mengintip dari kaca jendela yang terbuka.

Ah, leganya. Sepertinya amarah Ratna mulai meluruh. Mungkin minggu depan kami bahkan bisa tidur bersama sambil berpelukan.

Kemudian telepon ku kembali bergetar, Mas Suryo yang memanggil. Cepat-cepat aku menggeser tombol hijau sembari tersenyum cerah.

“Aku tunggu di perempatan...” begitu katanya.

Matahari sudah terbit, angin yang berhembus masih terasa dingin, namun entah mengapa kedua pipiku malah memanas. Mungkin karena sepasang lenganku memeluk perut mas Suryo erat, takut motor yang tengah dikendarainya dengan perlahan ini melalui jalanan berlubang dan aku bisa jatuh terguling karenanya. Atau mungkin karena sebelah tangan yang tak memegang stang motor miliknya itu tengah mengelus punggung tanganku lembut. Aku bisa merasakan permukaan telapaknya yang besar dan kasar. Khas lelaki pekerja keras. Kehangatannya terasa sampai menjalari keseluruh tubuh. Membuat hatiku bergemuruh.

Sepanjang perjalanan aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Persetan! Dengan gigiku yang bisa mengering. Aku tak peduli. hehe...

“Memangnya Mas enggak kesiangan masuk kantor?” tanyaku sembari memajukan wajah, berbisik tepat di samping telinganya yang tak terlindungi helmet. Pak Lurah ini hanya membawa satu helmet, ngomong- ngomong, dan ia memberikannya padaku untuk ku pakai sendiri. Biar aman dan selamat, katanya. Belum apa- apa aku sudah meleleh kan dibuatnya.

“Enggak lah, masih keburu,” ia menjawab santai.

“Enggak dicariin istri?” aku menyeletuk. Kali ini jawabannya agak memakan waktu.

"Enggak, sayang.”

“Bohong!” aku yang bertanya aku juga yang tak percaya dengan jawabannya. Entah sebenarnya apa mauku ini.

“Beneran.” mendengar suaranya yang lempeng tanpa emosi membuatku ingin mencubit perutnya, tak peduli dengan dirinya yang langsung menjerit kecil sembari menahan ringisan. Motor sedikit oleng, bukannya takut kami malah tertawa.

“Di sini saja, Mas. Udah deket kok.”

Aku menepuk- nepuk paha mas Suryo untuk berhenti. Terminal tinggal beberapa meter di depan. Aku harus jalan kaki dari sini karena keadaan tempatnya sudah mulai ramai. Aku takut kami tertangkap basah sedang berboncengan dan gosip beberapa bulan lalu kembali merebak. Itu akan sulit diatasi jika sampai terjadi kedua kali.

“Aku pengen nungguin kamu sampai naik bus, Fi.” ia meraih lenganku yang sudah lebih dulu turun dari motornya. Lelaki tampan itu mencoba menahanku dengan tatapannya yang memelas.

“Jangan ngeyel. Kamu masih punya istri lho, kalo ada yang lihat kayak waktu itu bakal lebih bahaya, Mas,” terangku sembari mengelus wajahnya.

Aku melepas helmet dan ganti memasangkannya untuk si pujaan hati. Bukannya senang ia malah masih cemberut.

“Ayo nikah saja, Fi,” bisiknya lirih.

“Ceraikan dulu istrimu,” jawabku pelan.

“Tapi dia enggak mau” mas Suryo mendongak menatapku dengan tatapan nelangsa.

“Aku juga enggak mau jadi yang kedua,” tegasku. Ia menggeleng-gelengkan kepala frustasi.

“Fi, please, aku cinta kamu…”

Sekali lagi aku mengelus kedua pipinya dengan perlahan. Kepala kemudian mengangguk. Sungguh, aku mengerti. Harusnya lelaki itu tau bahwa bukan hanya ia yang merasakannya.

“Aku tau. Aku juga, Mas.”

Dalam hati kami saling menangis.

……

Related chapters

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   3. Terjebak

    Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut

    Last Updated : 2024-09-28
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   4. Biarkan Angin Bertiup

    Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat

    Last Updated : 2024-09-28
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   5. Terlena Hingga Lupa

    Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yaki

    Last Updated : 2024-09-28
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   6. Luka

    Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend

    Last Updated : 2024-09-29
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   7. Kena Omel

    Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da

    Last Updated : 2024-09-30
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   8. Berbeda

    “Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat

    Last Updated : 2024-09-30
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   9. Debaran Aneh

    Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu

    Last Updated : 2024-10-01
  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   10. Bocah SMA

    Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage

    Last Updated : 2024-10-01

Latest chapter

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   102. Jaga Jarak Aman

    Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   101. Semua Orang Akhirnya Tau

    hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   99. Selayaknya Gejala

    Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   98. strawberry

    Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   97. Meledak Nikmat

    Tak mendapatkan respon positif seperti yang aku bayangkan sebelumnya--bahwa Mas Suryo akan senang melihatku berpakaian minim--aku yang cukup kecewa akhirnya hanya bisa menunduk setelah mencelupkan diri pada air kolam. Kepulan uap hangat terangkat ke udara, menciptakan kabut tipis di antara udara pegunungan yang dingin. Aku duduk di samping suamiku yang terus terdiam. Di antara kami ada jarak, tak terlalu lebar memang, namun tetap saja aku merasa sedih karena Mas Suryo benar-benar tak menanggapi dengan antusias usahaku untuk menyenangkannya. Apa sekarang ia berpikir aku norak? Apa kain kurang bahan yang kupakai ini sangat jelek sehingga dia bahkan tak berniat melirikku? Apa aku terlihat murahan? Tapi dia suamiku. Bukankah hal yang wajar memakai pakaian seksi di depan suami? Apakah sebenarnya ia tak suka jika pasangannya berlaku agresif seperti ini? Apa aku sudah berlebihan? "Mas? " Aku memanggil dengan lirih. Menautkan jemari dan meliriknya yang sekarang seolah menjelma jadi patu

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   96. Honeymoon Dadakan

    Aku menatap takjub sekelilingku yang menampilkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini aku bisa melihat rumah-rumah di bawah sana terlihat begitu kecil. Di bawah payung lebay yang menaungi kami dari terik matahari, aku dan Mas Suryo rehat sejenak setelah menempuh perjalanan panjang. Ia bilang penginapan yang kami tuju masih setengah jam lagi sampai. Karena hari sudah siang dan kami merasa lapar, kami pun akhirnya mampir dan memesan satu set nasi rames di warung pinggir jalan. Jalanan cukup ramai karena ini memang sedang masanya libur panjang. Banyak orang dari berbagai kota yang datang ke daerah pegunungan ini untuk melepas penat. Pemandangan serba hijau ini tentunya sangat tepat untuk dijadikan penyegar mata. Menyeruput teh hangat, aku menyendok menu makan siangku dengan riang. Di hadapanku Mas Suryo sedang mengunyah setusuk sate kambing, nasi ramesnya sudah lebih dulu ia habiskan sejak tadi. Seperti biasa, perutnya yang seperti karet itu tak akan kenyang sebelum dijejali seti

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   95. Diledek Habis-Habisan

    Aku menggeliat kecil dan membuka mata. Meraba bawah bantal dan menemukan ponsekku berada. Sudah hampir pukul setengah lima pagi. Menoleh ke samping, aku menemukan Mas Suryo yang masih terlelap. Ia tidur dalam posisi tengkurap hingga punggungnya yang lebar dan polos terpampang nyata pada dunia. Mengguncang bahunya beberapa kali, aku kemudian berbisik lirih di dekat telinganya. "Mas, bangun. Udah mau subuh. Mandi yuk. "Pria itu hanya menggeliat. Matanya enggan terbuka. Aku terkekeh kecil dan dengan sabar memberikan beberapa kecupan di pipinya. "Mas... Ayo bangun.""Ngantuk, Yang.... Hngggg. " Kini pria itu bergerak telentang. Aku menunggu hingga akhirnya matanya perlahan terbuka sebelum beringsut dan memberinya satu kecupan lagi tepat di rahangnya yang tegas. "Yuk, mandi sekarang. Mumpung masih sepi. "Ia menolehkan kepala padaku sebentar sebelum mengangguk. Tapi sebelum benar-benar bangkit, tangannya lebih dulu terulur meraih pinggangku mendekat hingga tubuh kami yang masih polos d

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   94. Bermalam Di Rumah Bapak

    "Mas? " Bagaimana bisa suamiku ada di sini sekarang? Apakah ia tahu bahwa aku pergi dan langsung menyusul kesini? "Yang! " serunya sembari mencopot helm dengan tergesa. "Kamu kenapa ninggalin aku?! " Aku tak tau mengapa ia kesal karena seharusnya aku lebih kesal sekarang. Memang siapa yang tak akan kesal jika disuruh membiarkan suaminya menginap dengan wanita lain? Meskipun Mbak Melinda masih berstatus istrinya tapi tetap saja aku sakit hati. Apalagi setelah itu aku juga diusir begitu saja tanpa perasaan. Hewan pun juga bakalan menangis jika diperlakukan dengan begitu tega! Apalagi manusia biasa sepertiku? "Kenapa? Bukannya ibumu menyuruh Mas buat nginep sama Mbak Melinda? " Aku menatapnya memicing. Aku tau Mas Suryo tidak salah karena ia tak tau dengan rencana ibu mertua, tapi entah mengapa aku ingin melampiaskan kekesalanku padanya. "Kenapa Mas malah nyusul kesini? Sana tidur sama menantu kesayangan ibumu itu. Dia pingin kalian rujuk kan! " "Kok kamu marah-marah sih, Yang?

  • Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah   93. Diusir Ibu Mertua

    "Suryo, kamu mau menginap kan bersama istrimu? "Makan malah telah usai setengah jam yang lalu. Kini keluarga itu sedang mengobrol ringan di ruang tengah yang tak begitu jauh dari dapur, tempatku yang sedang menyelesaikan pekerjaan mencuci piring. Menajamkan telinga, samar-samar aku bisa mendengar Bu Dewi menanyakan pada Mas Suryo tentang acara menginap. Malam memang sudah larut, wajar jika sang ibu meminta anaknya menghabiskan malam di rumahnya yang terasa kosong. Apa lagi setelah menikah Mas Suryo sangat jarang datang ke sini. Mau berapapun usia sang anak, seorang ibu pasti akan merindukan anaknya untuk sesekali pulang jika berada jauh dari pandangan. "Rumah Suryo kan dekat, Ma. Ngapain pakai nginap segala. ""Kan sudah lama kamu enggak nginap di sini, lho. Enggak kangen apa sama keluarga? ""Bukan gitu ... "Aku tau Mas Suryo pasti memikirkan posisiku yang masih belum merasa nyaman ketika berbaur dengan anggota keluarga ini. Pak Purwoko memang cukup ramah, tapi istrinya tidaklah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status