Share

2. Peluk Rindu

Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.

Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya.

Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras.

“Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayup kudengar bass suaranya dari luar rumah.

“Iya, benar. Tapi syukur masih bisa diperbaiki, Nak, Suryo.”Bapak menimpali. Mereka saling menyeruput kopi dengan suara yang keras. Membuatnya terdengar begitu sedap.

“Memangnya bapak bisa naik atap sendiri? Sudah umur segini, lho. Takut kenapa- kenapa...”

“Ya mau bagaimana lagi...masa Ibuk?” Bapak menjawab sambil terkekeh.

Aku keluar dari dalam rumah membawa kudapan singkong goreng yang masih mengepul. Diam–diam saling lirik saat pak Lurah berdeham.

“Ya jangan Ibu, dong. Calon menantunya mungkin?” ia mencoba berkelakar. Tanpa sepengetahuan Bapak tangannya usil meraih jemariku saat aku meletakan singkong di atas meja. Aku mendelik kearahnya, bukannya takut ia malah nyengir.

“Sufi masih terlalu muda, belum mikir nikah katanya.”

Aku memang berkata seperti itu pada kedua orang tuaku saat dulu ada pemuda yang berniat melamar. Karena saat itu aku memang baru lulus SMA dan ingin mencari uang yang banyak lebih dahulu untuk membantu keluarga. Aku ingin sekali saja bisa sedikit membalas budi mereka yang sudah susah payah membesarkanku. Ingin menyenangkan hati mereka dengan jerih payahku sendiri.

“Ooh, begitu ....” Pak Lurah mengangguk sambil tersenyum. Kulepas genggaman tangannya pelan dan segera melenggang pergi ke dalam rumah, tak peduli lagi dengan sepasang matanya yang terus mengikutiku.

“Memang tidak terlalu bagus nikah muda ya, Pak? Takut menyesal. Hahah...”

Dia pasti sedang membicarakan dirinya sendiri yang memang tidak bahagia dengan pernikahannya. Mas Suryo memang baru berusia 27 tahun sekarang, dulu menikahpun karena dijodohkan. Selang lima tahun berumah tangga mereka tak juga dikaruniai keturunan, dan beberapa bulan belakangan santer terdengar gosip bahwa istrinya didiagnosis mandul oleh Dokter. Aku pernah bertanya langsung padanya tapi ia tak pernah menjawab. Mas Suryo selalu mengalihkan pembicaraan, sepasang matanyapun akan terlihat sendu jika kami kembali membahas topik berat itu. Makanya sampai kinipun aku enggan menanyainya kembali. Dia yang biasanya penuh percaya diri akan selalu terlihat paling menderita. Meskipun aku ingin ia terbuka, tapi aku tidak tega.

……

Habis subuh aku segera berkemas dan pamit pada Ibu dan Bapak untuk segera pergi ke kota. Aku mencoba menggedor kamar adikku, tapi ia tak jua membuka pintu.

Ratna masih marah rupanya, kemarin pun ia tak sempat makan malam. Mungkin ia benar-benar tak mau melihat wajahku. Padahal kami sudah lama sekali tak bertemu.

“Kakak pamit, Dek. Kalau ada apa-apa kabarin Kakak, ya?” aku mengelus permukaan pintu kamar Ratna perlahan. Merasa nelangsa karna dimusuhi oleh saudara sendiri , dan aku masih tak paham apa kesalahanku sebenarnya.

Di belakang, Ibu menepuk bahuku, memberitahu aku harus cepat pergi ke terminal untuk mengejar bus jurusan kota. Jika kesiangan sedikit saja aku mungkin bisa ketinggalan. Koh Ari juga tidak mungkin memberikan kelonggaran jika aku tak masuk kerja, gajiku pasti akan dipotong.

“Hati-hati, Ndok …”

Ibu mengantarku sampai depan pintu. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya sambil menahan tangis. Dua bulan pergi, dan hanya dua hari tinggal di rumah. Harusnya aku bersyukur karena masih bisa pulang dan disambut baik tanpa gunjingan yang tak terlalu berarti, namun aku masih saja merasa kurang, masih begitu merindu untuk tinggal.

Haruskah aku pergi sekarang?nyawaku masih ingin di sini.

“Minggu depan Sufi pulang lagi ya, Buk…?” aku merengek. Ibu hanya mengangguk sambil terkekeh. Kedua tangannya yang sudah mulai keriput mengelus rambut dan pipiku yang merah karena udara dingin pagi hari.

“Iya, Ndok. Kami menunggu.”

Sambil berjalan mundur, aku melambaikan tangan. Kedua mataku berkaca-kaca, tak mau melepaskan pandangan dari sosok Ibu yang masih berdiri dihalaman. Apalagi, aku bisa menangkap siluet adikku yang ternyata diam-diam mengintip dari kaca jendela yang terbuka.

Ah, leganya. Sepertinya amarah Ratna mulai meluruh. Mungkin minggu depan kami bahkan bisa tidur bersama sambil berpelukan.

Kemudian telepon ku kembali bergetar, Mas Suryo yang memanggil. Cepat-cepat aku menggeser tombol hijau sembari tersenyum cerah.

“Aku tunggu di perempatan...” begitu katanya.

Matahari sudah terbit, angin yang berhembus masih terasa dingin, namun entah mengapa kedua pipiku malah memanas. Mungkin karena sepasang lenganku memeluk perut mas Suryo erat, takut motor yang tengah dikendarainya dengan perlahan ini melalui jalanan berlubang dan aku bisa jatuh terguling karenanya. Atau mungkin karena sebelah tangan yang tak memegang stang motor miliknya itu tengah mengelus punggung tanganku lembut. Aku bisa merasakan permukaan telapaknya yang besar dan kasar. Khas lelaki pekerja keras. Kehangatannya terasa sampai menjalari keseluruh tubuh. Membuat hatiku bergemuruh.

Sepanjang perjalanan aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Persetan! Dengan gigiku yang bisa mengering. Aku tak peduli. hehe...

“Memangnya Mas enggak kesiangan masuk kantor?” tanyaku sembari memajukan wajah, berbisik tepat di samping telinganya yang tak terlindungi helmet. Pak Lurah ini hanya membawa satu helmet, ngomong- ngomong, dan ia memberikannya padaku untuk ku pakai sendiri. Biar aman dan selamat, katanya. Belum apa- apa aku sudah meleleh kan dibuatnya.

“Enggak lah, masih keburu,” ia menjawab santai.

“Enggak dicariin istri?” aku menyeletuk. Kali ini jawabannya agak memakan waktu.

"Enggak, sayang.”

“Bohong!” aku yang bertanya aku juga yang tak percaya dengan jawabannya. Entah sebenarnya apa mauku ini.

“Beneran.” mendengar suaranya yang lempeng tanpa emosi membuatku ingin mencubit perutnya, tak peduli dengan dirinya yang langsung menjerit kecil sembari menahan ringisan. Motor sedikit oleng, bukannya takut kami malah tertawa.

“Di sini saja, Mas. Udah deket kok.”

Aku menepuk- nepuk paha mas Suryo untuk berhenti. Terminal tinggal beberapa meter di depan. Aku harus jalan kaki dari sini karena keadaan tempatnya sudah mulai ramai. Aku takut kami tertangkap basah sedang berboncengan dan gosip beberapa bulan lalu kembali merebak. Itu akan sulit diatasi jika sampai terjadi kedua kali.

“Aku pengen nungguin kamu sampai naik bus, Fi.” ia meraih lenganku yang sudah lebih dulu turun dari motornya. Lelaki tampan itu mencoba menahanku dengan tatapannya yang memelas.

“Jangan ngeyel. Kamu masih punya istri lho, kalo ada yang lihat kayak waktu itu bakal lebih bahaya, Mas,” terangku sembari mengelus wajahnya.

Aku melepas helmet dan ganti memasangkannya untuk si pujaan hati. Bukannya senang ia malah masih cemberut.

“Ayo nikah saja, Fi,” bisiknya lirih.

“Ceraikan dulu istrimu,” jawabku pelan.

“Tapi dia enggak mau” mas Suryo mendongak menatapku dengan tatapan nelangsa.

“Aku juga enggak mau jadi yang kedua,” tegasku. Ia menggeleng-gelengkan kepala frustasi.

“Fi, please, aku cinta kamu…”

Sekali lagi aku mengelus kedua pipinya dengan perlahan. Kepala kemudian mengangguk. Sungguh, aku mengerti. Harusnya lelaki itu tau bahwa bukan hanya ia yang merasakannya.

“Aku tau. Aku juga, Mas.”

Dalam hati kami saling menangis.

……

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status