Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.
Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya. Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras. “Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayup kudengar bass suaranya dari luar rumah. “Iya, benar. Tapi syukur masih bisa diperbaiki, Nak, Suryo.”Bapak menimpali. Mereka saling menyeruput kopi dengan suara yang keras. Membuatnya terdengar begitu sedap. “Memangnya bapak bisa naik atap sendiri? Sudah umur segini, lho. Takut kenapa- kenapa...” “Ya mau bagaimana lagi...masa Ibuk?” Bapak menjawab sambil terkekeh. Aku keluar dari dalam rumah membawa kudapan singkong goreng yang masih mengepul. Diam–diam saling lirik saat pak Lurah berdeham. “Ya jangan Ibu, dong. Calon menantunya mungkin?” ia mencoba berkelakar. Tanpa sepengetahuan Bapak tangannya usil meraih jemariku saat aku meletakan singkong di atas meja. Aku mendelik kearahnya, bukannya takut ia malah nyengir. “Sufi masih terlalu muda, belum mikir nikah katanya.” Aku memang berkata seperti itu pada kedua orang tuaku saat dulu ada pemuda yang berniat melamar. Karena saat itu aku memang baru lulus SMA dan ingin mencari uang yang banyak lebih dahulu untuk membantu keluarga. Aku ingin sekali saja bisa sedikit membalas budi mereka yang sudah susah payah membesarkanku. Ingin menyenangkan hati mereka dengan jerih payahku sendiri. “Ooh, begitu ....” Pak Lurah mengangguk sambil tersenyum. Kulepas genggaman tangannya pelan dan segera melenggang pergi ke dalam rumah, tak peduli lagi dengan sepasang matanya yang terus mengikutiku. “Memang tidak terlalu bagus nikah muda ya, Pak? Takut menyesal. Hahah...” Dia pasti sedang membicarakan dirinya sendiri yang memang tidak bahagia dengan pernikahannya. Mas Suryo memang baru berusia 27 tahun sekarang, dulu menikahpun karena dijodohkan. Selang lima tahun berumah tangga mereka tak juga dikaruniai keturunan, dan beberapa bulan belakangan santer terdengar gosip bahwa istrinya didiagnosis mandul oleh Dokter. Aku pernah bertanya langsung padanya tapi ia tak pernah menjawab. Mas Suryo selalu mengalihkan pembicaraan, sepasang matanyapun akan terlihat sendu jika kami kembali membahas topik berat itu. Makanya sampai kinipun aku enggan menanyainya kembali. Dia yang biasanya penuh percaya diri akan selalu terlihat paling menderita. Meskipun aku ingin ia terbuka, tapi aku tidak tega. …… Habis subuh aku segera berkemas dan pamit pada Ibu dan Bapak untuk segera pergi ke kota. Aku mencoba menggedor kamar adikku, tapi ia tak jua membuka pintu. Ratna masih marah rupanya, kemarin pun ia tak sempat makan malam. Mungkin ia benar-benar tak mau melihat wajahku. Padahal kami sudah lama sekali tak bertemu. “Kakak pamit, Dek. Kalau ada apa-apa kabarin Kakak, ya?” aku mengelus permukaan pintu kamar Ratna perlahan. Merasa nelangsa karna dimusuhi oleh saudara sendiri , dan aku masih tak paham apa kesalahanku sebenarnya. Di belakang, Ibu menepuk bahuku, memberitahu aku harus cepat pergi ke terminal untuk mengejar bus jurusan kota. Jika kesiangan sedikit saja aku mungkin bisa ketinggalan. Koh Ari juga tidak mungkin memberikan kelonggaran jika aku tak masuk kerja, gajiku pasti akan dipotong. “Hati-hati, Ndok …” Ibu mengantarku sampai depan pintu. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya sambil menahan tangis. Dua bulan pergi, dan hanya dua hari tinggal di rumah. Harusnya aku bersyukur karena masih bisa pulang dan disambut baik tanpa gunjingan yang tak terlalu berarti, namun aku masih saja merasa kurang, masih begitu merindu untuk tinggal. Haruskah aku pergi sekarang?nyawaku masih ingin di sini. “Minggu depan Sufi pulang lagi ya, Buk…?” aku merengek. Ibu hanya mengangguk sambil terkekeh. Kedua tangannya yang sudah mulai keriput mengelus rambut dan pipiku yang merah karena udara dingin pagi hari. “Iya, Ndok. Kami menunggu.” Sambil berjalan mundur, aku melambaikan tangan. Kedua mataku berkaca-kaca, tak mau melepaskan pandangan dari sosok Ibu yang masih berdiri dihalaman. Apalagi, aku bisa menangkap siluet adikku yang ternyata diam-diam mengintip dari kaca jendela yang terbuka. Ah, leganya. Sepertinya amarah Ratna mulai meluruh. Mungkin minggu depan kami bahkan bisa tidur bersama sambil berpelukan. Kemudian telepon ku kembali bergetar, Mas Suryo yang memanggil. Cepat-cepat aku menggeser tombol hijau sembari tersenyum cerah. “Aku tunggu di perempatan...” begitu katanya. … Matahari sudah terbit, angin yang berhembus masih terasa dingin, namun entah mengapa kedua pipiku malah memanas. Mungkin karena sepasang lenganku memeluk perut mas Suryo erat, takut motor yang tengah dikendarainya dengan perlahan ini melalui jalanan berlubang dan aku bisa jatuh terguling karenanya. Atau mungkin karena sebelah tangan yang tak memegang stang motor miliknya itu tengah mengelus punggung tanganku lembut. Aku bisa merasakan permukaan telapaknya yang besar dan kasar. Khas lelaki pekerja keras. Kehangatannya terasa sampai menjalari keseluruh tubuh. Membuat hatiku bergemuruh. Sepanjang perjalanan aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Persetan! Dengan gigiku yang bisa mengering. Aku tak peduli. hehe... “Memangnya Mas enggak kesiangan masuk kantor?” tanyaku sembari memajukan wajah, berbisik tepat di samping telinganya yang tak terlindungi helmet. Pak Lurah ini hanya membawa satu helmet, ngomong- ngomong, dan ia memberikannya padaku untuk ku pakai sendiri. Biar aman dan selamat, katanya. Belum apa- apa aku sudah meleleh kan dibuatnya. “Enggak lah, masih keburu,” ia menjawab santai. “Enggak dicariin istri?” aku menyeletuk. Kali ini jawabannya agak memakan waktu. "Enggak, sayang.” “Bohong!” aku yang bertanya aku juga yang tak percaya dengan jawabannya. Entah sebenarnya apa mauku ini. “Beneran.” mendengar suaranya yang lempeng tanpa emosi membuatku ingin mencubit perutnya, tak peduli dengan dirinya yang langsung menjerit kecil sembari menahan ringisan. Motor sedikit oleng, bukannya takut kami malah tertawa. “Di sini saja, Mas. Udah deket kok.” Aku menepuk- nepuk paha mas Suryo untuk berhenti. Terminal tinggal beberapa meter di depan. Aku harus jalan kaki dari sini karena keadaan tempatnya sudah mulai ramai. Aku takut kami tertangkap basah sedang berboncengan dan gosip beberapa bulan lalu kembali merebak. Itu akan sulit diatasi jika sampai terjadi kedua kali. “Aku pengen nungguin kamu sampai naik bus, Fi.” ia meraih lenganku yang sudah lebih dulu turun dari motornya. Lelaki tampan itu mencoba menahanku dengan tatapannya yang memelas. “Jangan ngeyel. Kamu masih punya istri lho, kalo ada yang lihat kayak waktu itu bakal lebih bahaya, Mas,” terangku sembari mengelus wajahnya. Aku melepas helmet dan ganti memasangkannya untuk si pujaan hati. Bukannya senang ia malah masih cemberut. “Ayo nikah saja, Fi,” bisiknya lirih. “Ceraikan dulu istrimu,” jawabku pelan. “Tapi dia enggak mau” mas Suryo mendongak menatapku dengan tatapan nelangsa. “Aku juga enggak mau jadi yang kedua,” tegasku. Ia menggeleng-gelengkan kepala frustasi. “Fi, please, aku cinta kamu…” Sekali lagi aku mengelus kedua pipinya dengan perlahan. Kepala kemudian mengangguk. Sungguh, aku mengerti. Harusnya lelaki itu tau bahwa bukan hanya ia yang merasakannya. “Aku tau. Aku juga, Mas.” Dalam hati kami saling menangis. ……Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut
Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat
Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yaki
Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend
Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da
“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu
Kami berdeham, canggung luar biasa. Diam-diam kulirik anak itu yang sedang menggaruk tengkuknya , sepertinya kedua pipi Adrian juga merona. Tanpa sadar aku terkekeh. Apa-apan sih? Masa aku berdebar sama bocah ingusan begini? Sadar dong, Sufi. Enggak banget tahu. Menghilangkan segala kecanggungan aku segera menepuk pundaknya kemudian tersenyum dengan riang. “Ayok kelantai bawah. Kayaknya buku yang kamu cari enggak ada di sini.” Adrian hanya mengangguk, kemudian mengikutiku yang sudah berjalan lebih dulu menuruni tangga. “Mbak,” ia memanggil, aku menoleh tanpa menyahut. Mengamatinya yang terlihat bingung entah karena apa aku akhirnya menghentikan langkah dan bertanya. “Kenapa, sih?” “Mbak suka boba enggak?” aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Suka kok.” “Sama, aku juga suka…hehe.” anak itu malah nyengir lagi. ”Sukanya rasa apa?” “Mocca.” mendengar jawabanku cengiran Adrian semakin lebar. Tangannya pun bertepuk sekali dengan suara heboh. Membuatku mengelus dada karena kage