Share

Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah
Perempuan Pemilik Hati Pak Lurah
Author: Enie moors

1. Pesan Rindu

Jam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.

Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu.

Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri.

Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah. Aku bersyukur atap itu masih bekerja dengan baik meski seminggu lalu habis terbang kena angin. Bapak harus bekerja keras memperbaikinya lagi karena kami tidak bisa membeli yang baru, harganya sangat mahal untuk sekarang.

Di kejauhan sana, di tengah derai hujan yang semakin deras, bocah lelaki berkaus merah yang basah kuyup, berdiri di atas kursi plastik dengan sepotong kain kumal di tangannya yang kurus hitam. Bergerak lincah mengelap kaca rumahnya yang mungkin sudah setahun ini tidak dibersihkan. Ia jungkat-jangkit seolah tidak takut akan terjungkal dan jatuh dengan menyakitkan.

Menarik kedua lutut keatas kursi, terus kuperhatikan bocah itu. Bocah yang lima bulan ini menyandang status anak yatim.

Ayahnya meninggal di ladang, tidak ada yang tau apa sebabnya.

Padahal dua hari sebelumnya anaknya yang kelima baru saja lahir sementara anak-anaknya yang lain masih begitu kecil-kecil bahkan yang paling besarpun baru lulus sekolah dasar. Aku masih ingat betapa pilunya suara jeritan mbak Retno saat itu.

Wanita tiga puluh dua tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji tak seberapa, tiba-tiba harus ditinggalkan suami dan menjadi janda. Aku tidak tau sebanyak apa rasa sedih dan terpuruk yang musti ditanggung jika mengalami musibah seberat itu.

Pun setelah tragedy itu ia hidup seperti orang linglung, sering sekali melamun. Aku pikir ia sangat frustasi juga syok berat tapi aku tak bisa apa-apa untuk menolongnya.

Begitu juga saat dengan sembunyi sembunyi mba Retno datang mencegat ku saat akan pergi ke warung.

Kedua matanya terlihat layu dengan tulang pipi menonjol. Belah bibirnya yang dulu selalu ter-poles gincu merah kini tampak pucat dan kering. Aku cukup terkejut dengan keadaannya kini, terlihat begitu menyedihkan dan lelah.

“Tolong…” ia memohon. Jemarinya yang kurus mencengkeram erat lengan bajuku sampai nyaris sobek. “Lima ratus ribu saja. Susu untuk Dania sudah habis, aku tidak tau harus pinjam pada siapa lagi.” Kulihat ia hampir menangis. Aku tergugu, kebingungan.

“Tapi aku tak punya, Mbak. Maaf …” aku melihatnya menunduk. Kini jemarinya berpindah untuk meremas baju dasternya sendiri. Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi, pekerjaanku yang hanya sebagai penjaga toko buku di kota tidak memberikanku uang lebih sebagai simpanan. Terkadang aku bahkan harus kelabakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mendadak yang mendesak.

“Ya sudah. “ Mbak Retno mengangguk samar. Kulihat ia mengelap pipinya. Aku pikir ia benar-benar sudah menangis. Aku semakin merasa bersalah jadinya.

Sambil menggigit bibir dan menimbang-nimbang berbagai hal, kukeluarkan dompetku sambil celingukan. Takut kalau kalau ada Ibuku yang melihat.

Dengan tergesa gesa kuambil dua lembar uang kertas dari dalamnya dan kuraih tangan mbak Retno.

“Maaf, aku Cuma bisa bantu segini...” aku meringis ketika mbak Retno mendongakan wajah sembari melihat dua lembar uang seratus ribuan di tangannya. Kedua matanya kembali berkaca kaca.

“Ndak apa-apa, Fi. Makasih ya…” Ia mencoba tersenyum di sela-sela tangisnya. Aku hanya diam sambil mengangguk.

Setelah menepuk pundaknya untuk menguatkan, akupun pamit. Ibu dan bapak di rumah pasti sudah ngomel ngomel karena lama menunggu. Tadi mereka bilang pengen dimasakin telor balado. Padahal ini tanggal tua, telor pun harganya sedang naik. Mentang mentang anaknya sedang pulang kampung, malah ditodong beli ini itu. Tapi ya sudahlah, mungkin senin nanti aku bisa puasa untuk menghemat pengeluaran.

“Padahal simpenan pak Lurah, masak cuma dikasih dua ratus,…”

Sayup sayup aku mendengar suara lirih dari belakang. Ingin rasanya aku menoleh, tapi dengan sekuat tenaga ku tahan dan tetap mengayunkan langkah.

“...Dasar pelit!”

Sambil mengepalkan tangan, kurasakan air mataku meleleh.

***

Aku tau ibu melirikku sedari tadi. Mungkin karena beliau sadar bahwa kedua mataku sedikit sembab. Namun aku mencoba tak peduli dan lanjut menata piring di atas meja makan. Aku baru selesai memasak balado telor kesukaan bapak, spesial ekstra pedas.

“Kamu habis nangis , Ndok?” ibu akhirnya tak mampu menahan untuk bertanya. Aku hanya menggeleng sambil memberinya sebuah senyuman.

“Enggak, Bu. Ini balado sambelnya dicampur cabe setan jadi pedesnya sampai ke mata, hehe,” aku menambahi sambil terkekeh. ”Bapak di mana?”

“Lagi di belakang kayaknya, dari kemarin airnya mati ….”

“ Ya sudah. Ibu aja dulu yang makan, aku mau manggil Bapak dulu.”

Langit sudah menghitam saat aku membuka pintu belakang. Lampu bohlam kekuningan yang menggantung di langit langit sebelah sumur menampakan sosok bapak yang sedang berjongkok, memperbaiki entah apa aku tak terlalu mengerti.

“Pak!” aku berseru.

“Opo , Nduk?” si bapak menjawab tanpa menoleh. Terlihat masih sibuk dengan kegiatannya.

“Makan malam dulu, Pak. Ibu sudah nungguin …”

“Iya sebentar. Ini hampir selesai.”

Untuk beberapa menit aku menunggui bapak sambil melihat kesekitar halaman rumah yang remang karena hari sudah menjelang malam. Suara jangkrik terdengar nyaring di telingaku. Beda sekali dengan keadaan di kota yang biasanya hanya terdengar suara mesin pabrik atau kendaraan yang bising.

Ini sudah dua bulan semenjak kejadian waktu itu. Kejadian memalukan yang hampir mencoreng nama baik keluargaku. Di mana fotoku bersama sosok yang disegani di desa ini tersebar di media sosial dan menjadi gunjingan tiada henti. Ayah dan ibu tentu pasang badan paling depan dalam membelaku, mereka terus membantah, meluruskan pada masyarakat bahwa berita yang beredar hanyalah fitnah, itu pasti perbuatan dari salah seorang yang merasa iri. Dan lambat laun semuanya pun reda, meskipun aku tak membuka suara semuanya pun percaya bahwa berita yang entah bersumber dari mana itu hanyalah kebohongan belaka.

Aku diam, bapak dan ibu tak pernah menuntut jawaban. Semuanya berlalu begitu saja, pun sampai aku kembali sekarang.

“Ayo, Ndok.”

Tau-tau bapak sudah ada di hadapanku. Rupanya aku keasyikan melamun.

Aku menyingkir sedikit. Mempersilahkan bapak untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu. Saat aku hampir menutup pintu, sayup-sayup kudengar deru halus sepeda motor yang lewat dari jalan samping rumah. Dari suaranya saja aku tau itu milik siapa. Tentu saja mas Suryo. Tanpa sadar aku tersenyum begitu ponsel yang kukantongi di saku baju bergetar menerima satu pesan masuk.

‘ketemu sebentar, yuk. Mamas kangen Sufi’ begitu tulisnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status