Jam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.
Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu. Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri. Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah. Aku bersyukur atap itu masih bekerja dengan baik meski seminggu lalu habis terbang kena angin. Bapak harus bekerja keras memperbaikinya lagi karena kami tidak bisa membeli yang baru, harganya sangat mahal untuk sekarang. Di kejauhan sana, di tengah derai hujan yang semakin deras, bocah lelaki berkaus merah yang basah kuyup, berdiri di atas kursi plastik dengan sepotong kain kumal di tangannya yang kurus hitam. Bergerak lincah mengelap kaca rumahnya yang mungkin sudah setahun ini tidak dibersihkan. Ia jungkat-jangkit seolah tidak takut akan terjungkal dan jatuh dengan menyakitkan. Menarik kedua lutut keatas kursi, terus kuperhatikan bocah itu. Bocah yang lima bulan ini menyandang status anak yatim. Ayahnya meninggal di ladang, tidak ada yang tau apa sebabnya. Padahal dua hari sebelumnya anaknya yang kelima baru saja lahir sementara anak-anaknya yang lain masih begitu kecil-kecil bahkan yang paling besarpun baru lulus sekolah dasar. Aku masih ingat betapa pilunya suara jeritan mbak Retno saat itu. Wanita tiga puluh dua tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji tak seberapa, tiba-tiba harus ditinggalkan suami dan menjadi janda. Aku tidak tau sebanyak apa rasa sedih dan terpuruk yang musti ditanggung jika mengalami musibah seberat itu. Pun setelah tragedy itu ia hidup seperti orang linglung, sering sekali melamun. Aku pikir ia sangat frustasi juga syok berat tapi aku tak bisa apa-apa untuk menolongnya. Begitu juga saat dengan sembunyi sembunyi mba Retno datang mencegat ku saat akan pergi ke warung. Kedua matanya terlihat layu dengan tulang pipi menonjol. Belah bibirnya yang dulu selalu ter-poles gincu merah kini tampak pucat dan kering. Aku cukup terkejut dengan keadaannya kini, terlihat begitu menyedihkan dan lelah. “Tolong…” ia memohon. Jemarinya yang kurus mencengkeram erat lengan bajuku sampai nyaris sobek. “Lima ratus ribu saja. Susu untuk Dania sudah habis, aku tidak tau harus pinjam pada siapa lagi.” Kulihat ia hampir menangis. Aku tergugu, kebingungan. “Tapi aku tak punya, Mbak. Maaf …” aku melihatnya menunduk. Kini jemarinya berpindah untuk meremas baju dasternya sendiri. Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi, pekerjaanku yang hanya sebagai penjaga toko buku di kota tidak memberikanku uang lebih sebagai simpanan. Terkadang aku bahkan harus kelabakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mendadak yang mendesak. “Ya sudah. “ Mbak Retno mengangguk samar. Kulihat ia mengelap pipinya. Aku pikir ia benar-benar sudah menangis. Aku semakin merasa bersalah jadinya. Sambil menggigit bibir dan menimbang-nimbang berbagai hal, kukeluarkan dompetku sambil celingukan. Takut kalau kalau ada Ibuku yang melihat. Dengan tergesa gesa kuambil dua lembar uang kertas dari dalamnya dan kuraih tangan mbak Retno. “Maaf, aku Cuma bisa bantu segini...” aku meringis ketika mbak Retno mendongakan wajah sembari melihat dua lembar uang seratus ribuan di tangannya. Kedua matanya kembali berkaca kaca. “Ndak apa-apa, Fi. Makasih ya…” Ia mencoba tersenyum di sela-sela tangisnya. Aku hanya diam sambil mengangguk. Setelah menepuk pundaknya untuk menguatkan, akupun pamit. Ibu dan bapak di rumah pasti sudah ngomel ngomel karena lama menunggu. Tadi mereka bilang pengen dimasakin telor balado. Padahal ini tanggal tua, telor pun harganya sedang naik. Mentang mentang anaknya sedang pulang kampung, malah ditodong beli ini itu. Tapi ya sudahlah, mungkin senin nanti aku bisa puasa untuk menghemat pengeluaran. “Padahal simpenan pak Lurah, masak cuma dikasih dua ratus,…” Sayup sayup aku mendengar suara lirih dari belakang. Ingin rasanya aku menoleh, tapi dengan sekuat tenaga ku tahan dan tetap mengayunkan langkah. “...Dasar pelit!” Sambil mengepalkan tangan, kurasakan air mataku meleleh. *** Aku tau ibu melirikku sedari tadi. Mungkin karena beliau sadar bahwa kedua mataku sedikit sembab. Namun aku mencoba tak peduli dan lanjut menata piring di atas meja makan. Aku baru selesai memasak balado telor kesukaan bapak, spesial ekstra pedas. “Kamu habis nangis , Ndok?” ibu akhirnya tak mampu menahan untuk bertanya. Aku hanya menggeleng sambil memberinya sebuah senyuman. “Enggak, Bu. Ini balado sambelnya dicampur cabe setan jadi pedesnya sampai ke mata, hehe,” aku menambahi sambil terkekeh. ”Bapak di mana?” “Lagi di belakang kayaknya, dari kemarin airnya mati ….” “ Ya sudah. Ibu aja dulu yang makan, aku mau manggil Bapak dulu.” Langit sudah menghitam saat aku membuka pintu belakang. Lampu bohlam kekuningan yang menggantung di langit langit sebelah sumur menampakan sosok bapak yang sedang berjongkok, memperbaiki entah apa aku tak terlalu mengerti. “Pak!” aku berseru. “Opo , Nduk?” si bapak menjawab tanpa menoleh. Terlihat masih sibuk dengan kegiatannya. “Makan malam dulu, Pak. Ibu sudah nungguin …” “Iya sebentar. Ini hampir selesai.” Untuk beberapa menit aku menunggui bapak sambil melihat kesekitar halaman rumah yang remang karena hari sudah menjelang malam. Suara jangkrik terdengar nyaring di telingaku. Beda sekali dengan keadaan di kota yang biasanya hanya terdengar suara mesin pabrik atau kendaraan yang bising. Ini sudah dua bulan semenjak kejadian waktu itu. Kejadian memalukan yang hampir mencoreng nama baik keluargaku. Di mana fotoku bersama sosok yang disegani di desa ini tersebar di media sosial dan menjadi gunjingan tiada henti. Ayah dan ibu tentu pasang badan paling depan dalam membelaku, mereka terus membantah, meluruskan pada masyarakat bahwa berita yang beredar hanyalah fitnah, itu pasti perbuatan dari salah seorang yang merasa iri. Dan lambat laun semuanya pun reda, meskipun aku tak membuka suara semuanya pun percaya bahwa berita yang entah bersumber dari mana itu hanyalah kebohongan belaka. Aku diam, bapak dan ibu tak pernah menuntut jawaban. Semuanya berlalu begitu saja, pun sampai aku kembali sekarang. “Ayo, Ndok.” Tau-tau bapak sudah ada di hadapanku. Rupanya aku keasyikan melamun. Aku menyingkir sedikit. Mempersilahkan bapak untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu. Saat aku hampir menutup pintu, sayup-sayup kudengar deru halus sepeda motor yang lewat dari jalan samping rumah. Dari suaranya saja aku tau itu milik siapa. Tentu saja mas Suryo. Tanpa sadar aku tersenyum begitu ponsel yang kukantongi di saku baju bergetar menerima satu pesan masuk. ‘ketemu sebentar, yuk. Mamas kangen Sufi’ begitu tulisnya.Ia memang beberapa kali masih mengirimiku pesan, meski sering aku abaikan. Akupun tak kuasa memblokir nomornya, takut sewaktu- waktu rinduku memuncak tak tertahankan dan aku tak bisa meneleponnya--untuk sekedar mendengar suaranya, atau hembusan napasnya yang berat itu.Sesungguhnya ia adalah lelaki dambaan sejuta wanita. Aku tak mengerti dan tak habis pikir mengapa sosok dengan kharisma sesempurna itu harus berada di tengah desa terpencil dan bukannya eksis di ibu kota untuk menjadi seorang superstar. Dengan wajah dan tubuh itu para desainer terkenal pasti akan berebut untuk menjadikannya model pakaian. Aku yakin baju rombeng-pun akan terlihat mahal jika dikenakan olehnya. Wajahnya akan mengisi setiap sampul majalah dan papan Billboard. Saluran televisi-pun pasti akan dibanjiri oleh iklan yang dibintanginya. Tapi lihatlah sekarang, pak Suryo malah berada di sini, di rumahku. Menikmati kopi hitam bersama bapak di teras. “Katanya kemarin atapnya rusak ya, Pak? kena angin?" sayup-sayu
Aku masih menunggu bus jurusan kota tujuanku sembari memainkan ponsel ketika seseorang duduk di sampingku. Wangi parfumnya merebak mengusik hidung, segera aku mengangkat wajah dan menoleh kearah kanan, dimana sosok wanita berbaju seragam pabrik ternyata lebih dulu telah menatapku.“Mbak Retno?”Sepasang mataku melebar. Kaget karena sosok itu adalah tetanggaku sendiri."Tumben ya, berangkatnya barengan,”sapaku canggung sembari menyimpan ponsel ke dalam tas.Memang jarang sekali kami bertemu di terminal. Biasanya jam berangkat mbak Retno agak siang, pun ia kerap membawa motor jika bekerja. Agak ganjil rasanya mendapati wanita itu sudah ada di terminal sepagi ini.“Iya. Motorku lagi di bengkel karena rusak jadi mau enggak mau harus naik bus.” ia memandangku dengan senyum kecil. Membuatku entah mengapa merasa aneh.”Kamu tadi di anterin siapa, Fi?”“Ba-bapak…,” jawabku spontan.“Lho, bapakmu kan enggak bisa naik motor, Fi…” Mbak Retno memandangku yang hanya bisa menampilkan wajah terkejut
Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan.Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir.Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat
Kami melewati pagi itu dengan bersenang- senang. Melupakan sejenak kejadian tadi pagi. Melupakan hubungan terlarang kami. Melupakan terik matahari yang membakar kulit, biar saja jadi gosong toh mas Suryo pasti tetap cinta. Ow, terdengar menggelikan bukan?Lelah bermain pasir dan basah kuyup kena air laut karena kami jatuh saat bermain kejar- kejaran, kami pun memutuskan untuk memasuki sebuah toko baju yang banyak berdiri di sekitaran pantai. Kami berencana memilih sepasang kaus couple. Lucu juga melihat pria yang biasa memakai pakaian semi formal itu menjadi lumayan kasual. Toh sebenarnya cocok dengan umurnya yang masih muda. Terkadang aku merasa kasihan dengan kehidupan yang ia jalani selama ini. Dari luar mungkin orang menganggapnya beruntung. Lahir di keluarga yang terpandang, memiliki bisnis tambang di luar pulau milik ayahnya, ibunya pun seorang pengusaha butik yang memiliki beberapa cabang yang sukses di berbagai kota. Untuk urusan materi ia tak pernah kekurangan. Tapi aku yaki
Mereka berbicara di telepon cukup lama, sesekali kudengar mas Suryo bernegosiasi, berkata bahwa ia akan pulang esok pagi namun rupanya ada hal yang benar benar mendesak dan ia tak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku tau sesekali matanya meliriku yang masih duduk di dalam tenda dengan tak enak hati. Aku mencoba tenang sembari meneruskan acara melahap makananku yang memang belum usai, memaksakan diri menelan ayam beserta nasi yang semula terasa nikmat namun kini berganti menjadi hambar. seleraku hilang entah kemana setelah beberapa menit berlalu. Tapi aku terus menyantap makanan yang tersedia tanpa sisa, juga meminum jus jeruk sampai habis dengan tergesa. Rasanya perutku begitu penuh sampai ingin muntah. Aku membekap mulutku kuat untuk menahan mual juga tangis. Orang yang melihat keadaanku sekarang pasti berpikir aku sangat menyedihkan. Tapi biar saja, aku tak perduli. Ini bukannya pertama kali aku ditinggalkan di tengah-tengah acara kencan. Tapi bukan alasan juga untuk terbiasa mend
Pagi datang begitu cepat. Aku merasa baru saja terpejam dengan mata sembab saat tiba-tiba alaram berbunyi nyaring mengagetkanku yang tengah mengarungi mimpi. Jam setengah enam, aku melirik layar handphone dan segera bangkit. Meregangkan badan kemudian duduk menyandar pada kepala ranjang beberapa saat sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Menguap beberapa kali karena rasanya masih sangat mengantuk, segera saja aku berhenti bermalas-malasan dan bangkit menyeret kaki menuju kamar mandi. Mungkin aku harus mandi air dingin agar kembali segar bugar. Beberapa menit kemudian aku telah berpakaian rapi. Menggunakan jeans biru juga baju seragam warna biru lembut dengan logo unik di bagian dada kiri, khas toko buku milik koh Ari tempatku mencari nafkah. Aku sedang menyisir rambut panjangku sembari menatap cermin saat kudengar ponselku yang tergeletak di kasur bergetar. Layarnya yang menyala terang menampilkan beberapa pesan dari aplikasi chating. Penasaran, segera kuraih smartphone murahan itu da
“Fi!” Aku yang tengah menyelonjorkan kaki yang lumayan pegal di suatu siang yang terik menoleh. Kulihat seorang lelaki tinggi berseragam sama denganku mendekat, sebelah tangannya menenteng sekantong keresek hitam yang langsung ia letakan di atas meja, tepat di hadapanku. “Apa ini, Mas?” tanyaku. aku mendongak menatap lelaki itu yang masih berdiri. Namanya Jeremi, anak perantauan yang nyambi kuliah sambil kerja. Dia senior paling baik di toko tempat kami bekerja. Sering ngasih makan juga tebengan, hehe. Bahkan kos kami pun berdekatan, aku merasa sangat terbantu olehnya. Meski juga sering tak enak hati oleh kebaikan hatinya. “Nasi padang, kamu belum makan siang kan?” lantas ia mendudukkan diri tepat di hadapanku. “Enggak usah, Mas,” tolak ku sembari menggeser bungkusan plastik itu lebih dekat padanya. Wajahnya terlihat sedikit kecewa, membuatku semakin tak enak. “Kenapa? Ini nasi padang depan perempatan lho, kesukaanmu kan?” “Maaf, Mas. Tapi aku lagi puasa,” melihat sepasang mat
Toko buku dua lantai milik koh Ari ini terbilang menjadi salah satu toko buku terlengkap dan terbesar. Banyak koleksi novel best seller yang terpajang di etalase lantai satu. Juga buku-buku pelajaran dari jenjang taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sementara lantai dua banyak diisi oleh komik dan beberapa alat tulis yang tentunya berkualitas tinggi. Musik jazz dan pop yang ceria selalu terdengar membuat pengunjung betah berlama-lama. Juga jangan lupakan air conditioner yang terus menyala, tentunya semua orang tak akan cemas jika kepanasan. Jadi jangan heran jika jarang sekali menemukan toko dalam keadaan kosong tanpa pembeli. Aku sedang menata beberapa peralatan alat tulis seperti pulpen dan penggaris pada rak yang tersedia ketika kulihat gerimis mulai berjatuhan. Jendela kaca yang hampir memenuhi seluruh dinding membuatku dapat melihat keadaan luar dengan jelas. Langit memang tak begitu mendung, matahari bahkan samar masih terlihat meskipun sedikit tertutup awan kelabu, namu