Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara.
"Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna.
"Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda.
"Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat.
"Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu.
"Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung.
"Dan mantan," jawab Neo setelah mendorong makanannya untuk melewati tenggorokannya. Neo butuh air jeruk agar makanan itu lolos setelah menyebut kata mantan.
"Ouh … Mantan, seperti apa dia?" Rasa kepo Tara kumat lagi dan membuat Neo sedikit kesal.
"Bisa gak kita gak usah bahas makan di saat makan seperti ini? Merusak selera makanku saja!” delik Neo yang membuat Tara akhirnya bungkam. Tara tidak tahu rasanya punya mantan karena dia sama sekali belum berpacaran sebelumnya.
Neo kembali melirik meja seberang sana, lelaki yang menggunakan kemeja Hawaii itu sudah tak terlihat dan membuatnya kecewa. Kini Neo harus memutar otak mencari cara agar bisa menyelinap masuk ke kamar targetnya itu tanpa ketahuan dan tanpa memancing keributan.
Neo menyudahi makanannya lebih cepat sementara Tara masih menikmati hidangan udang laut yang besar itu dengan nikmat.
“Aku mau ke toilet dulu,” pamit Neo, “ingat jangan kemana-mana, kau harus tetap di sini sampai aku kembali,” pesan Neo lagi.
“Memangnya aku mau kemana?” gumam Tara, dia pun kembali menikmati dan menghabiskan makanannya segera.
Neo hanya sebentar saja di toilet karena tidak menemukan targetnya di sana, dia keluar memutar dari restoran dan sempat melihat Tara sedang mencuci tangannya. Lelaki itu tetap masih mencari targetnya yang mengenakan baju Hawaii berwarna cerah yang pastinya akan selalu bersama sekumpulan gadis-gadis muda. Dialah Hendro, seorang pengusaha yang menjadi perantara dengan mafia dunia kejahatan dan juga seorang rentenir kelas kakap. Pria yang sudah memasuki usia setengah abad itu adalah tujuan terakhir bagi pengusaha atau orang yang butuh bantuan keuangan meskipun mereka tahu Hendro adalah seorang lintah darat.
Di tepi pantai akhirnya Neo melihat sosok yang dicarinya itu, dengan berpura-pura seperti sedang mengambil gambar dirinya Neo mengarahkan kameranya kepada Hendro yang sedang memberikan tas koper kepada seseorang. Orang yang menerima koper itu membukanya sesaat lalu menutupnya dengan ekspresi senang. Mereka berjabat tangan dan saling melambaikan tangan ketika berpisah. Beberapa gambar berhasil diambilnya, Neo memperhatikan sepertinya Hendro sedang melakukan suatu transaksi.
“Aku harus mendekati orang ini bagaimanapun caranya,” gumam Neo sambil memasukkan kembali ponselnya di sakunya. Dari tempatnya berdiri dia melihat kembali istrinya yang masih berada di tempatnya itu, Tara tampak sedang sibuk berswafoto dengan berbagai gaya. Tanpa sadar bibir Neo melengkungkan senyum melihat kelakuan Tara, mendadak dia pun tersadar lalu menepuk pelan bibirnya yang tersenyum itu.
“Norak banget!” tukas Neo, dia meraba saku celananya untuk mencari rokoknya tetapi sepertinya tertinggal di kamar penginapannya. Neo pun mengurungkan niatnya untuk merokok dan akan kembali kepada Tara yang pasti sudah menunggunya. Namun, langkah kaki Neo tertahan, ada seorang pria yang menghampiri istrinya, karena membelakangi Neo jadinya dia tidak bisa melihat siapa lelaki itu. Tara terlihat terkejut tetapi ekspresi wajah istrinya mengatakan jika perempuan itu mengenali dengan baik lelaki yang menghampirinya itu bahkan menyuruhnya duduk.
Neo hanya mengamati keduanya, mata Tara terlihat berbinar-binar ketika berbicara dengan lelaki itu. Rasa penasaran sedikit menggelitiknya tetapi Neo tidak ingin mengganggu keduanya dengan kehadiran dirinya, paling tidak itu bisa mengalihkan perhatian Tara dan Neo masih bisa melakukan pekerjaannya.
“Jack, kamu dapat informasi apalagi? Tadi aku melihat target sedang melakukan transaksi.” Neo mengirimkan pesan suara kepada rekan kerjanya itu tetapi sepertinya Jack sedang tidak ingin diganggu, pesan suara Neo hanya terlihat centang satu. Neo mengambil kacamata dari saku bajunya dan memakainya, kacamata hitam yang bertengger di hidung mancung itu membuat Neo menambah daya tariknya.
Tara melihat ke arah Neo dan sempat tidak berkedip melihat lelaki muda yang menjadi suaminya itu.
‘Otakku pasti sedang korslet saat ini, kunyuk menyebalkan itu terlihat sedikit tampan,’ keluh Tara dalam hatinya. Tara pun kembali memperhatikan lawan bicaranya yang meminta pamit dari Tara dan mengatakan jika mereka pasti akan bertemu lagi dalam waktu dekat.
Neo mengernyitkan dahi ketika Tara kini sudah kembali duduk sendirian, dia ingin mendekati perempuan itu tetapi Neo melihat sekilas jika Tara sedang menghapus air matanya.
“Kurcaci kecil itu menangis? Ada apa dengannya? Apa lelaki itu mantan pacar Tara?” ucapnya pelan. Neo menunggu agar Tara tenang dan dirinya lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu, toh bagi Neo tamu Tara bukan urusannya.
“Kamu dari toilet atau habis keliling dunia sih? Lama amat!” protes Tara yang mengambil tas tangannya dan berlalu dari meja mereka.
“Hey, kau mau kemana?” tanya Neo yang melihat Tara keluar dari restoran.
“Aku mau ke kamar, aku cape,” sahut Tara tanpa berbalik.
Neo pun menyelesaikan pembayarannya dan menyusul Tara yang sudah menjauh. Sekumpulan anak-anak muda berjalan dengan penuh keceriaan, Neo memperkirakan ada belasan pasangan muda itu yang terlihat sedang antusias mengobrol dan berjalan tergesa. Mereka terdengar bising dengan tawa serta sorakan mereka yang diselingi dengan makian kasar seakan terdengar keren. Tara tetap berjalan tetapi pikirannya sepertinya tidak sedang berada di dalam kepalanya, salah satu dari mereka tak sengaja menabrak Tara sehingga perempuan itu jatuh tersungkur.
“Hey! Hati-hati kalau jalan!” seru Neo yang bergegas mendekati Tara.
“Sorry Mam, tidak sengaja,” ucap lelaki muda yang menabrak Tara lalu berlalu melambaikan tangan.
“Tidak punya sopan santun!” seru Neo kesal,”hey, kau tidak apa-apa?” Neo membantu Tara untuk berdiri dan tanpa sengaja dia memegang bekas luka di lengan Tara, Neo merasakan gurat bekas luka dan melihatnya. Tara terkejut dan refleks menyentak lengannya agar terlepas dari pegangan Neo.
“Aku tidak apa-apa,” jawab Tara, dia mengibas-ngibaskan bajunya yang kotor terkena debu lalu kembali berjalan menuju cottage mereka.
“Kau pernah terluka di lenganmu ya? Pasti lukanya dalam sampai berbekas seperti itu,” ucap Neo. Tara mendadak berhenti berjalan yang membuat Neo juga berhenti.
“Jangan … Pernah … Membahas … Bekas lukaku, Mengerti? Kalau kau menyinggungnya lagi aku akan jahit mulutmu!” ancam Tara serius yang membuat Neo terhenyak lalu merinding.
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg