Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.
“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.
“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—“
“Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara yang membuatnya terlonjak kaget.
Tara berbalik dan menatap tajam Neo, Neo Qavi Malik, yang menurut mamanya Tara lelaki muda itu masih terhitung kerabat dengannya.
“Kau bilang apa, Kur-kurcaci Kecil?!” Tara mengangkat gaunnya dan menghentak-hentakkan langkahnya mendekati Neo, lalu dia menatap lelaki itu dengan mata yang membulat.
“Iya aku bilang, kurcaci kecil, apa kau tidak sadar bagaimana cara aku melihatmu sekarang ini hah?” ujar Neo yang membungkukkan sedikit tubuhnya, tinggi Tara hanya sebatas dadanya saja meskipun Neo yakin Tara mengenakan sepatu dengan hak tinggi.
“Tinggiku termasuk tinggi rata-rata, jika ada yang salah berarti kau yang terlalu jangkung!” balas Tara dengan sengit. Neo menjauhkan bahunya, dia malas ingin berdebat lagi dengan perempuan yang beberapa jam lalu menjadi istrinya.
“Dengar, aku menyayangi nenekku lebih dari apapun, meskipun akhirnya aku memenuhi permintaan konyol dan tidak masuk akalnya untuk menikahi kurcaci sepertimu. Andai aku punya pilihan lain, aku tidak sudi sekamar denganmu saat ini,” ujar Neo dengan dingin dan kejam. Tara mengeluarkan suara geramnya yang tertahan betapa memuakkannya dia bersama laki-laki yang sombong dan menghina tinggi badannya. Jika tidak ingat mamanya yang mengancam bunuh diri dan papanya yang mengancam memboikot kantor kecilnya itu dia ingin kabur sejauh-jauhnya dari negara ini. Baik Neo dan Tara sudah berusaha maksimal untuk menentang pernikahan ini tetapi sepertinya takdir yang menjodohkan mereka sehingga malam ini mereka berada di kamar pengantin mereka di sebuah hotel mewah.
Neo membuka jas yang dipakainya juga dasi serta rompi dalamnya, dia sangat lelah dengan prosesi pernikahan yang panjang seharian.
“Mau apa kau?” tanya Tara yang melihat Neo membuka pakaiannya. Neo melirik sekilas ke arah Tara yang masih memakai gaun pengantinnya.
“Aku gerah, cape mau mandi, kau tahu? Di luar sana ada setengah lusin penjaga yang diperintahkan oleh nenekku agar aku tidak kabur, jadi aku tidak bisa kemana-mana dan aku akan mandi dan tidur di sini!” seru Neo sambil terus membuka baju dan celananya. Tara memekik ketika Neo hanya mengenakan boxer dan baju dalam saja, dia berpaling sambil menutup matanya.
“Tapi aku tidak mau berbagi kamar denganmuuuu!” pekik Tara putus asa, dia juga harus membersihkan dirinya serta mengganti pakaiannya.
Saat Neo berada di kamar mandi, Tara bergegas membuka semua pakaiannya dan memakai jubah mandi. Dia pun sama dengan Neo gerah dan lelah, dirinya juga butuh membersihkan diri dan rasanya akan nikmat sekali jika bisa berendam dalam bathup kamar ini. Pelan-pelan Tara menempelkan telinganya di pintu kamar mandi, terdengar suara pancuran air serta samar suara Neo yang sepertinya sedang menelpon seseorang.
“Tolong lah Bro, aku tidak mau berada di dalam kamar ini semalaman, ayo lah ajak aku kemana saja, aku harus punya alasan bagus untuk keluar dari sini!” seru Neo yang juga putus asa atas malam pertamanya dengan perempuan yang menyebalkan baginya.
Tara menjauhkan dirinya dari pintu, dia mencebik, ingin rasanya dia mencakar pintu kamar mandi itu.
“Dia pikir dia siapaaa…? Apa dia pikir aku juga mau menghabiskan waktuku dengannya? Oohhh nasib malam pertamaku yang malang … Kenapa nasibku sial begini?” Tara ingin menangis tetapi air matanya sudah kering, habis ketika orangtuanya tetap memaksanya menikah dengan Neo.
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka, Neo sudah memakai baju kaos dan celana pendek, rambutnya masih basah dan digosok-gosoknya dengan handuk. Kini giliran Tara yang masuk ke kamar mandi semua perlengkapannya dibawa masuk sehingga dia tidak perlu membuka apapun di hadapan Neo. Tara bernapas lega ketika dia bisa mewujudkan keinginannya untuk berendam di dalam bathup. Sambil menikmati rendaman air hangat dan aroma wangi sabun ingatannya kembali kepada saat pertama kali Tara bertemu dengan Neo.
Saat itu ada acara besar tahunan di rumah nenek Neo, hampir semua keluarga besar hadir termasuk keluarga Tara. Dirinya masih kelas enam sekolah dasar ketika bertemu dengan Neo yang sudah masuk sekolah menengah pertama. Dari awal Neo memang sudah pendiam, tak disangka ternyata hari itu adalah hari paling bersejarah kelam dalam hidup Neo. Kabar duka datang ketika acara kumpul-kumpul yang meriah sedang berlangsung, asisten nenek Neo mengabarkan jika di tengah perjalanan menuju acara orangtua Neo mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Acara meriah itu berubah menjadi acara duka seketika, Neo mengamuk hebat karena tidak bisa menerima kenyataan dirinya kehilangan orangtua dalam sekejap. Neo remaja melarikan diri ke halaman belakang dan saat itu tanpa sadar Tara mengikutinya.
“Aku turut berduka atas kematian orangtuamu,” ucap Tara perlahan, dia melihat napas Neo naik turun.
“Kau siapa? Aku tidak butuh ucapan belasungkawamu, Anak kecil! Pergi kau, pergi!” usir Neo dengan kasar. Namun, kaki Tara berat untuk melangkah pergi, dia menyaksikan Neo berlutut sambil menangis, Tara kecil ikut merasakan kesedihan Neo remaja. Entah mengapa saat itu rasanya Tara ingin sekali menghibur Neo, meskipun dirinya diusir terang-terangan, Tara tetap saja mendekati Neo.
“Pergi sana! Jangan dekati akuuu…! Aku tidak butuh dikasihani oleh anak kecil seperti kamu!”Neo menepis tangan Tara yang memegang bahunya lalu mendorong Tara dengan keras. Lengan Tara tergores ranting pohon yang tajam ketika dia jatuh, lukanya cukup dalam sehingga mengeluarkan banyak darah. Semenjak itu dia jarang bertemu dengan Neo lagi dan terakhir dia mendengar kabar jika Neo melanjutkan sekolah di luar negeri.
Tara mengusap busa yang menempel di lengannya, lengan sebelah kiri dalam, dekat siku, di sana ada bekas luka sepanjang tujuh sentimeter, luka yang didapatnya ketika Neo mendorongnya, berbekas hingga sekarang.
“Kau tidak akan hidup tenang, Neo Qavi Malik!” seru Tara dengan geramnya.
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi