Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.
“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.
“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.
“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.
“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan mendahului Neo.
“Bagus, aku hanya khawatir otakmu yang kecil itu tidak bisa menjaga sikap di depan nenekku dan—“ Belum sempat Neo menyelesaikan ucapannya Tara berbalik dan sengaja menabrakkan tubuhnya kepada Neo,
“Dan itu berlaku juga buatmu, Neo, aku tidak akan mengampunimu jika kau melakukan kesalahan yang membuat ayahku mempertanyakan pernikahan ini, dasar kunyuk bawel, aku sangka kau laki-laki pendiam tidak banyak bicara ternyata kau cerewet seperti emak-emak!” rutuk Tara dengan mata membulat. Tara mendengkus dan berbalik, kali ini langkahnya panjang-panjang agar Neo tidak dekat-dekat berjalan dengannya. Neo terdengar berdecak kesal mendapat perlawanan sengit dari Tara, tetapi mereka harus gencatan senjata sejenak di hadapan Nyonya Atikah.
“Apa maksudnya membuat dia jatuh lagi? Kapan aku pernah membuatnya jatuh?” gumam Neo heran.
“Oooh … Sayang, kemarilah!” seru Nyonya Atikah yang berdiri menyambut kedatangan Tara dan Neo, tangannya terkembang lebar agar Tara masuk ke dalam pelukannya. Perempuan muda itu melawan rasa canggungnya untuk diperlakukan seramah itu oleh Nyonya Atikah. Namun, Tara bisa membaca ketulusan wanita tua ketika dahinya mendapat kecupan hangat dari neneknya Neo. Hal serupa dilakukannya kepada Neo sehingga memang nyonya Atikah tidak membedakan perlakuannya antara dirinya dan Neo.
“Bagaimana tidur kalian semalam? Apa tidur kalian nyenyak?” tanya nyonya Atikah sambil mempersilakan keduanya duduk. Sejenak Tara dan Neo saling melirik.
“Tentu, Nyonya, semalam adalah tidur yang terbaik dalam hidup kami,” jawab Tara percaya diri, kakinya segera disenggol Neo dan gerakan mata Neo memberi kode agar Tara jangan berlebihan. Mendengar jawaban Tara, nyonya Atikah tertawa, dia tahu jika malam pertama bagi pengantin baru tidak akan membuat tidur mereka sepulas itu.
“Jangan memanggilku ‘Nyonya’, aku adalah nenekmu juga, kau sudah menikah dengan Neo jadi kau bukan orang lain, yaa terlebih pada kenyataannya kau memang masih kerabat kami juga,” ujar nyonya Atikah setelah tawanya mereda.
“Engh … Iya, Nek, maaf,” ucap Tara pelan.
“Aku sudah mempersiapkan tiket bulan madu untuk kalian, kalian bisa berangkat kapan saja yang kalian suka dalam minggu ini,” perintah nyonya Atikah sambil menyodorkan amplop putih ke hadapan Neo dan Tara.
“Engh … Bulan madu? Ta-tapi menginap di hotel ini sudah cukup buat kami, Nek, iya ‘kan, Tara?” Kembali Neo menyenggol kaki Tara agar perempuan itu mendukung ucapannya.
“Ouh … Iya … Iya, Nek, hotel ini juga sudah seperti suasana bulan madu untuk kami,” tukas Tara sambil melihat ke arah Neo.
“Nenek sudah persiapkan bulan madu ini sudah jauh-jauh hari, kalian juga harus lebih mengenal dari dekat, menghabiskan waktu lebih banyak agar hubungan kalian semakin mesra,” desak nyonya Atikah dengan halus.
Neo tahu permintaan neneknya tidak bisa ditolak sehingga dia mengambil amplop putih itu dengan ucapan terima kasih yang pelan.
“Belakangan ini kalian sangat sibuk bekerja, sudah saat kalian liburan, manfaatkan bulan madu kalian ini sebaik mungkin untuk mendekatkan hati kalian. Nenek yakin jika pernikahan ini akan membawa kebahagiaan untuk kita semua,” kata nyonya Atikah dengan lembut. Diraihnya tangan Neo dan Tara, ditumpuknya telapak tangan Neo di atas tangan Tara. Binar bahagia penuh harap terlihat jelas di sorot mata tua nyonya Atikah. Perempuan tua itu berharap jika Tara mampu menyembuhkan luka hati Neo atas segala luka yang diterimanya, baik itu luka lama atas kematian orangtuanya juga luka yang ditorehkan Merlyn.
“Baik, Nek, kami akan pergi sesuai keinginan Nenek, tetapi aku mau ziarah ke makam papa dan mama sebelum berangkat,” timpal Neo yang tidak ingin mengecewakan neneknya.
“Tentu, ajak juga istrimu, sore nanti kita akan ke sana bersama-sama,” jawab nyonya Atikah dengan perasaan lega.
Tidak banyak yang diketahui Tara tentang mendiang paman Malik dan bibi Rosa, seingat Tara paman Malik adalah pengusaha sukses dan sering masuk berita di televisi serta majalah dan koran. Mereka hanya punya anak seorang saja yaitu Neo Qavi Malik yang kata mamanya Tara, untuk mendapatkan Neo suami istri itu harus berjuang dulu hingga memakai jalan bayi tabung. Saat itu proses bayi tabung sangat mahal tetapi usaha mereka berhasil sehingga mereka memiliki Neo. Kini Neo berada tepat di depan Tara tengah berlutut di hadapan makam kedua orangtuanya. Neo hanya diam saja memandangi nisan ayah dan ibunya setelah meletakkan bunga anyelir kesukaan ibunya.
Nyonya Atikah sudah lebih dulu kembali ke mobilnya beserta asistennya pak Danu juga beberapa orang pengawal pribadi. Neneknya Neo memberi waktu lebih lama untuk cucunya itu berada di pusara kedua orangtuanya.
“Pa, Ma, maafkan Neo jika sampai detik ini Neo belum berhasil menemukan siapa yang telah mencelakai kalian, tapi Neo janji Pa, Ma, Neo akan menemukannya. Neo tidak akan berhenti sampai semuanya terungkap,” desis Neo dengan suara bergetar, semua ucapan Neo barusan terdengar oleh Tara. Perempuan itu menarik napas, duka dalam hati Neo masih terasa berat dan itu bisa dirasakan Tara.
“Neo, sudah senja, ayo kita pulang,” ajak Tara yang sudah merasa pegal berdiri, dia mengguncang perlahan bahu Neo agar lelaki itu tersadar jika hari sudah mulai gelap. Neo pun berdiri dan mengibas celananya lalu mengajak Tara meninggalkan area pemakaman. Keduanya sepakat untuk gencatan senjata selama berada di area pemakaman. Tara merasa tidak nyaman, sedari tadi dia merasa jika ada yang mengawasi mereka. Berkali-kali Tara menoleh ke sana kemari untuk memastikan perasaannya itu.
Bukan hanya Tara, tetapi Neo juga merasakan jika ada yang sedang memperhatikan mereka. Neo bersikap waspada tetapi tetap tenang di hadapan Tara. Baik Tara, nyonya Atikah dan siapapun juga tidak boleh ada yang tahu jika pekerjaan Neo yang sesungguhnya penuh resiko dan taruhan nyawa.
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b