“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup.
“Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.
Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.
“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel itu di ranjangnya dan memakai bajunya di balik partisi.
“Ponsel kamu gak kenapa-kenapa ‘kan?” tanya Neo yang mendekati Tara, wajahnya terlihat lebih lega setelah dikejar rasa mulas padahal dia sedang mengintai Hendro lagi.
“Gak apa-apa, masih hidup juga,” jawab Tara pendek, dia mengenakan baju kaos gombrong dengan celana pendek di atas lututnya lalu berbaring di tempat tidur. Tara merasa sangat lelah, terlebih ketika dia bertemu dengan Salim.
“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu, Tara,” ucap Neo hati-hati, pelan-pelan dia duduk di ujung ranjang memperhatikan istrinya yang tengah memunggunginya itu.
“Apaan, aku ngantuk nih,” jawab Tara acuh tak acuh.
“Emhh … Kalau begitu kau istirahat saja, aku akan merokok di luar sebentar,” ujar Neo yang meninggalkan Tara.
Menjelang sore Tara terbangun, dia merasa cukup baikan dengan istirahatnya sejenak, perempuan itu bangun dan mendapati Neo yang meringkuk di sofa yang menghadap ke jendela. Tara berdiri di dekat sofa dan merasakan hembusan angin yang masuk membuat Neo tertidur di sana. Perempuan muda itu bersandar di ambang pintu yang menghubungkan dengan balkon yang menghadap persis ke laut. Terbayang lagi pertemuannya dengan Salim yang membuatnya tidak menyangka ada keajaiban yang terjadi di dunia ini. Salim bukan sosok yang diharapkannya untuk bertemu lagi, kerinduan, kemarahan dan kekecewaan sudah dikubur tiga tahun pertama perpisahannya dengan lelaki yang kini bertransformasi menjadi lelaki yang matang dan dewasa.
“Ntar kesambet hantu laut kalau kamu bengong di situ, Kurcaci kecil!” seru Neo tepat di belakang Tara yang membuat istrinya terlonjak kaget.
“Bisa gak sih kamu hidup gak ngagetin orang mulu!” sentak Tara kesal karena gerakannya yang tiba-tiba membuat dahinya terbentur di pintu. Neo terkekeh melihatnya seakan senang melihat tanda kemerahan di dahi Tara.
“Ngapain juga kamu bengong di situ? Mau liat sunset gak? Tapi jangan memakai celana pendek itu keluar dari kamar ini!” perintah Neo. Tara hanya mendelik dan kembali ke kamarnya dia memeriksa kembali ponselnya dan masih menemukan benda itu baik-baik saja.
“Bagus juga kamu yaa, satu bulan gaji yang aku kumpulkan untuk membelimu yang tahan air, baguslah, aku bisa memotret matahari terbenam kalau begitu,” gumam Tara lalu mengecup benda pipih kesayangannya. Dia pun berganti baju, memoles sedikit wajahnya dengan riasan serta lipstik yang warnanya tidak terlalu mencolok. Neo pun menunggu Tara di depan pintu kamar lalu keduanya meninggalkan cottage.
Mereka berdua menyusuri garis pantai, suasananya tidak begitu ramai pengunjung dan Neo lagi-lagi sengaja melewati cottage milik Hendro. Penjagaannya masih sama ketatnya seperti ketika Neo datang. Tak jauh dari tempat mereka berjalan beberapa turis asing dan lokal melakukan pesta pantai, pesta yang terlihat semarak dengan alunan musik, dekorasi yang meriah serta daging panggang. Berderet minuman kaleng dan botol ada di atas meja. Seorang wanita dan pria memberi kode kepada mereka untuk bergabung.
Tara melihat ke arah Neo meminta persetujuan, Neo pun menggandeng tangan Tara untuk bergabung dengan pesta mereka. Ternyata mereka juga pasangan pengantin yang sedang berbulan madu, pasangan muda yang berasal dari Spanyol dan betapa mengejutkannya ketika Neo berbicara dengan mereka dengan sangat fasih menggunakan bahasa negeri matador itu. Neo mengatakan jika mereka datang untuk berbulan madu juga.
“Istrimu cantik sekali,” puji pengantin wanitanya dengan bahasa Spanyol,
“Iya, dia perempuan tercantik yang pernah saya temui,” jawab Neo dengan tulus sambil menggenggam tangan Tara. Tara hanya tersenyum kaku karena dia tidak memahami isi pembicaraan mereka.
“Bergabunglah dengan kami nanti malam, kami masih akan mengadakan pesta sepanjang malam,” ajak pengantin prianya bersemangat.
“Saya akan bertanya itu dulu kepada istri saya,” jawab Neo lalu memandang ke arah Tara, “mereka mengajak kita bergabung dengan pesta mereka malam nanti, mereka akan mengadakan pesta sepanjang malam,” ujarnya kepada Tara.
“Baiklah, paling tidak aku tidak jadi mati bosan di sini denganmu,” jawab Tara dengan senyum lebar.
“Istri saya setuju, kami akan bergabung malam nanti, terima kasih banyak, saya dan istri saya ingin menikmati pesona matahari tenggelam, permisi,” pamit Neo, dia pun melambaikan tangan kepada sepasang pengantin baru itu dan mereka membalasnya dengan ramah pula.
“Kau bisa fasih berbahasa Spanyol? Kok bisa?” tanya Tara yang tidak dapat membendung rasa penasarannya.
“Bukankah aku menghabiskan masa sekolah lama di luar negeri? Dan bahasa Spanyol salah satu mata pelajaranku di bangku menengah umum,” jawab Neo. Dia tidak mengatakan bagian pentingnya, jika Neo menguasai beberapa bahasa karena pekerjaan rahasianya itu.
“Wow … Kau hebat juga,” ucap Tara dengan menekan rasa kagumnya sedalam-dalamnya.
“Pemandangan di sini bagus, ayo kita ambil foto berdua.” Neo mengeluarkan ponselnya dan menarik Tara agar berdempetan dengannya.
“Apa ini bagian dari akting?” bisik Tara pelan.
“Tentu saja, ini bagian dari akting, untuk keluarga kita,” jawab Neo yang mengambil pose mesra bersama Tara.
Pesta pengantin baru asal Spanyol itu berlangsung semakin meriah, Tara menikmati mengobrol dengan pengantin wanitanya yang cukup fasih berbahasa Inggris. Sementara Neo menghilang lagi, dia berpamitan ke toilet tetapi belum muncul juga. Sesekali Tara mencarinya tetapi percakapannya dengan perempuan asal negeri matador itu mengasyikkan juga. Perhatian Tara akhirnya teralihkan dan berhenti memikirkan di mana Neo sekarang berada.
Di tempat lain, cottage Hendro sedang gelap dan sepi, sekelebat bayangan melompat masuk ke balkon kamar Hendro nyaris tanpa suara. Bayangan itu berusaha membuka pintu kamarnya dan mengendap-endap masuk. Seseorang itu memakai penutup wajah dan hanya menyisakan sorot matanya yang tajam memindai ke seluruh ruangan itu. Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya, segera dia memotret berkas-berkas penting yang ditemukannya. Termasuk foto pria yang bertemu dengan Tara siang tadi.
“Siapa dia?” gumam lelaki itu penuh tanda tanya.
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu