Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.
“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih unggul.
Lamunan Neo buyar, Tara tak hentinya berteriak memanggilnya, Neo pun menghampiri Tara yang terlihat sangat antusias.
“Foto aku, foto di sini dan di sana!” seru Tara sambil menyerahkan ponselnya.
“Heh… Kurcaci, aku ke sini bukan jadi tukang foto kamu!” sergah Neo, tangannya tersimpan dalam kantong celananya enggan mengambil ponsel Tara.
“Demi kerang ajaib spongebob! Terus kita di sini mau ngapain bambaaang? Emangnya mau bengong gitu saja seperti kamu sekarang ini? Memang yaa … Es batu mana bisa menikmati dan merasa takjub dengan pemandangan indah seperti ini?!” tukas Tara mulai kesal lagi.
“Norak! Aku udah berapa kali kesini, jadi biasa aja,” jawab Neo sambil berlalu dari hadapan Tara, matanya mengarah pada satu titik pada lokasi targetnya.
“Dasaaaarr sombooong, menyebalkaaan!” pekik Tara, dia menghentakkan kakinya di pasir dan tidak hentinya mengomel. Neo tetap berjalan dan pura-pura tidak mendengar gerutu Tara, dari bawah sini dia bisa melihat ada satu cottage yang dijaga dengan beberapa pengawal berpakaian hitam, dua di antaranya diduga Neo memiliki senjata api di pinggangnya.
Neo mengambil sebatang rokoknya dan mulai menyulutnya, omelan Tara mulai terhenti, Neo melirik sekilas ke arah Tara yang mulai selfie dengan ponselnya, sekilas Neo melirik ke arah cottage di atas sana, penjagaan terlihat ketat. Setelah melewatkan setengah batang rokok, Neo berjalan pulang kembali ke cottage-nya sendiri. Tara yang melihatnya berjalan mendekat berbalik enggan menatap kepadanya. Neo membuang sisa rokoknya yang diisapnya untuk kamuflase lalu mengambil ponsel Tara dari tangan perempuan itu.
“Sini aku fotoin kamu,” ucapnya sambil mengangkat ponsel Tara, perempuan itu memasang wajah datar tanpa ekspresi sama sekali.
“Tiiidak usah!” sergah Tara yang merebut kembali ponselnya dari tangan Neo, Tara meninggalkan Neo dan menapaki tangga menaiki cottage mereka. Mata Tara memerah, belum pernah dia diperlakukan seperti ini dari seorang laki-laki. Yaa … Tentu saja karena Tara memang belum pernah berpacaran sekalipun. Dulu Tara punya teman dekat namanya Salim Zayn, mereka sekelas dan duduk bersama dari sekolah menengah pertama hingga ke menengah umum. Teman-teman mereka bergosip jika Tara dan Salim berpacaran tetapi bagi Tara, Salim adalah sahabat yang baik yang selalu diandalkan Tara.
Hanya Salim yang memperlakukan Tara seperti seorang putri, mendengar keluhannya tentang sekolah dan mengajarinya matematika dengan sabar. Tara tak pernah menanyakan perasaan Salim, dia takut jika jawaban Salim akan mengubah persahabatannya dengan Salim. Hingga suatu hari, Salim berhenti sekolah, tak ada kabar apapun tentangnya dan Salim hilang begitu saja bak ditelan bumi menyisakan rasa sepi dan rindu bagi Tara.
“Dasar es batu tak berperasaan, kunyuk sombong, dia pikir bisa seenaknya saja begitu kepadaku?” omel Tara sambil mengusap matanya yang basah. Dipandanginya lagi beberapa foto yang telah diambilnya, dia ingin mengunggah foto itu ke sosial medianya tetapi dia hanya sendiri saja. Beberapa kawannya tahu jika dia pergi berbulan madu, bahkan sepotong tangan Neo pun tidak bisa difotonya.
Denting notifikasi terdengar, sebuah pesan dari Tari terlihat.
[Cieee … yang udah mulai bergerak, foto kamu bagus banget!] tulis Tari di pesannya. Dahi Tara berkerut, dia belum mengunggah foto apapun tetapi mengapa Tari meledeknya dengan sebuah foto. Jemari tara bergerak cepat untuk menggulir layar ponselnya, dia baru menerima notifikasi lainnya jika dia ditandai dalam sebuah foto. Akun bernama NewNeo telah menandai foto dirinya yang tengah berdiri memegang topi lebarnya dengan keterangan ‘My wife’.
“Kapan dia ambil fotoku? Kok gambarnya bagus banget,” gumam Tara mengagumi foto yang diambil Neo diam-diam. Serbuan tanda love beruntun di foto itu dan rata-rata yang komentar para sepupu dan kerabat dari keluarga besar mereka.
Neo masuk ke dalam kamar mereka dan meletakkan ponselnya, dia mengambil sebotol air mineral dan meneguknya hingga setengahnya.
“Kenapa kamu ambil fotoku diam-diam? Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu mau foto aku? Kamu seperti paparazzi!” cetus Tara masih menahan dongkolnya.
“Ponselku lebih bagus dari ponselmu, punyaku jauh lebih mahal dengan kualitas kamera yang jauh lebih baik. Paling tidak aku sudah ‘melapor’ ke nenek kalau awal bulan muda kita itu seperti yang mereka pikirkan,” jawab Neo seenaknya. Tara ingin marah lagi tetapi dia menatap ponsel Neo di meja, suaminya benar, ponsel Neo itu seharga dengan satu unit motor matic yang paling mahal dengan kecanggihan kamera yang memang tidak diragukan lagi. Ponselnya sendiri mungkin hanya seharga dari seperempat harga ponsel.
“Aku sudah lapar, ayo kita cari makan,” ajak Neo, Tara sepertinya sudah kehabisan tenaga untuk mendebat Neo dan tanpa banyak bicara perempuan itu mengikuti langkah Neo meninggalkan cottage. Tanpa mereka sadari, beberapa kali gambar keduanya diambil oleh ponsel seseorang. Laki-laki itu bersembunyi di tempat yang tidak terlihat oleh Neo dan Tara.
“Neo … Menarik sekali, kau membawanya hingga ke sini, kau tampaknya tidak mencemaskan keselamatan perempuan itu,” gumam seseorang dari sudut bangunan cottage yang remang. Lelaki itu pun menyimpan foto-foto keduanya di galeri ponselnya lalu meninggalkan tempatnya dengan tertawa kecil.
Neo melihat targetnya yang sedang makan siang bersama beberapa orang gadis cantik, tawa mereka terdengar hingga ke meja Neo. Tara sibuk dengan ponselnya dan tidak menyadari jika Neo sudah tidak bersamanya lagi. Setelah makanan datang Tara menoleh ke kanan dan ke kiri mencari di mana Neo berada.
“Aku tidak bisa bergerak, Jack, dia memiliki banyak pengawal, mereka bersenjata,” ucap Neo di ponselnya. Terlihat Neo mondar-mandir seperti sedang berpikir keras.
“Neo, cuma ini kesempatanmu, menurut sumberku, file itu ada padanya dan berisikan beberapa bukti keterkaitan kecelakaan orangtuamu sepuluh tahun yang lalu. Aku harus pergi, Neo semoga berhasil.” Jack memutus telponnya.
“Neo, pengawal apa? Senjata apa?” tanya Tara yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Neo, leher Neo rasanya kaku untuk berbalik.
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab