Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan.
“Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.
‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya.
“Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran.
“Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu Neo pun segera meninggalkan kamar mereka untuk kembali melakukan penyelidikan. Tara yang tadinya hanya berniat mencuci muka memutuskan untuk berendam di bathup. Ada gejolak di dalam hatinya saat ini yang butuh untuk dipadamkan.
“Kau pergi saja kemana kau suka Neo, toh ini bukan bulan madu namanya, ini hanya jalan-jalan berdua dengan orang yang sangat menyebalkan,” gerutu Tara yang mulai merendam tubuhnya. Aroma sabun serta lilin aroma terapi memang ampuh untuk membuatnya kembali tenang. Jantungnya sedari tadi meminta untuk ditenangkan karena tiba-tiba saja seseorang dari masa lalunya hadir dengan begitu mengejutkan.
Satu jam yang lalu di restoran ketika Tara menyantap hidangan penutupnya…
“Hai Tara Amora, lama tidak berjumpa,” sapa suara laki-laki di depannya dengan menyebut nama lengkapnya. Tar mendongak dan nyaris tersedak ketika melihat Salim Zayn, teman di sekolah menengah umumnya dulu, yang menghilang begitu saja tanpa kabar, kini berdiri di hadapannya.
“Salim? Salim Zayn?!” seru Tara dengan mata membulat tak percaya. Salim sudah jauh berubah, badannya dulu yang kurus kini lebih berisi, tegap dan terlihat dewasa. Dia memakai setelan jas setengah resmi berwarna abu-abu dan lelaki itu semakin … Tampan.
“Boleh aku duduk?” Salim menarik kursi dan duduk sambil memajukan bahunya, “udahan dong kagetnya, aku tadi malah sampai ragu untuk menyapa kamu, abisnya kamu udah berubah banget sekarang, jauh lebih cantik,” puji Salim yang membuat Tara tertawa.
“Kau jahat, Salim, kau meninggalkan sekolah tanpa pamit, kau hilang tanpa kabar dan hampir sepuluh tahun kau muncul begitu saja di depanku,” ucap Tara setelah tawanya reda, kini tatapannya berubah menjadi sendu. Ditinggalkan oleh Salim seperti itu membuatnya merasa kosong dan hampa hingga bertahun lamanya.
Aku pastinya berutang maaf yang sangat besar, aku tidak berniat seperti itu, maafkan aku, Tara Amora.” Salim menatapnya dalam, lalu melirik ke arah jemari Tara.
“Kau sudah menikah rupanya,” ujar Salim dengan sedikit kecewa.
“Iya, beberapa hari yang lalu, aku dan dia datang ke sini untuk berbulan madu. Pernikahan ini diatur oleh orangtuaku,” jawab Tara memaksakan senyumnya.
“Woow … Selamat yaa, aku turut berbahagia untukmu, Tara.” Salim mengulurkan tangannya ingin menjabat tangan Tara.
“Laki-laki yang menjadi suamimu adalah laki-laki yang sangat beruntung, sayang, aku terlambat beberapa hari untuk menjadi yang beruntung,” ucap Salim yang juga menyunggingkan senyum terpaksanya itu.
“Kami belum mengenal dengan baik, kami hanya diberi waktu dua bulan saja untuk persiapan pernikahan.” Tara berkata jujur dan apa adanya kepada Salim.
“Semoga kau bahagia, Tara,” harap Salim kepada perempuan itu.
“Ceritakan tentangmu, Salim, kemana saja kau selama ini, kenapa kamu bisa ada di sini sekarang? Takdir yang luar biasa bertemu lagi denganmu!” seru Tara dengan mata berbinar-binar.
“Aku meneruskan usaha keluargaku dan aku di sini sedang melakukan negosiasi bisnis dengan salah satu calon klien kami. Aku sangat yakin akan mendapat keberuntungan hari ini setelah bertemu denganmu.” Salim dengan sangat meyakinkan melontarkan kalimat manis itu untuk Tara.
“Jelas sekali kau banyak berubah sekarang, sejak kapan Salim Zayn pandai merayu wanita?” Tara menundukkan bahunya agar bisa menatap Salim dari dekat. Salim tertawa lebar, tawa yang masih sama di mata Tara. Perempuan itu kembali menarik bahunya, mendadak dia merasakan hatinya hangat
“Di mana kamu menginap?” tanya Tara, sejenak dia mengingat Neo yang belum kembali juga.
“Di hotel tak jauh dari cottage ini juga, klienku menginap di sini jadi aku yang kemari menemuinya. Oh ya, ini kartu namaku.” Salim menyodorkan selembar kartu nama berwarna putih. Tara mengambilnya dan menekan tombol di ponselnya untuk membuat panggilan nomer ponsel Salim. Ponsel Saim bergetar sesaat, dia mengambilnya dari balik saku dan melihat nomer panggilan tak terjawab.
“Itu nomerku ya, simpan baik-baik, aku tidak mau dengar alasan tak sengaja terhapus atau lupa kau simpan,” ujar Tara serius.
“Tentu saja aku akan menyimpannya baik-baik, nomer ponsel keramat ini,” kelakar lelaki itu lagi, “maaf banget Tara, aku harus pergi sekarang, aku harus mengejar penerbanganku untuk kembali ke ibukota,” pamit Salim. Walaupun ada berat yang dirasakan Tara tetapi dia tetap menjabat tangan Salim.
“Kuharap kita bisa bertemu kembali,” kata Tara pelan.
“Jangan khawatir, kita akan sering bertemu setelah ini,” jawab Salim. Lelaki itu pun pergi sambil melambaikan tangannya, Tara melepas kepergian Salim dengan senyum terbaiknya. Hingga Salim menghilang senyum Tara pun menyurut, dia memegang dadanya yang sedari tadi terasa bertalu-talu.
Tara pun sadar jika Neo masih saja belum kembali dari toilet, “Apa dia sedang sembelit hingga harus lama berada di toilet?” gumam Tara sedikit jengkel. Untuk menepis rasa jengkelnya kepada Neo dia pun melakukan beberapa swafoto dan diunggahnya di sosial medianya. Ponsel yang tengah di pegangnya di udara bergetar tanda sebuah pesan masuk di aplikasi obrolannya.
[Tolong, jangan jatuh cinta dengan yang lain, aku masih belum terlalu terlambat, bukan?] Tara terhenyak membaca pesan dari Salim itu.
‘Maksudnya apa? Kenapa Salim mengirimkan pesan seperti ini?’ bisik Tara dalam hatinya. Seketika dunia terasa gamang, pertemuan dengan Salim barusan menjungkirbalikkan segenap perasaan Tara dalam sekejap.
Tara masih memandangi ponselnya, dia masih berada dalam bathup, pesan dari Salim sudah dibacanya ratusan kali. Dia bingung hendak membalasnya atau tidak, Tara mengerti jika kini dia sudah menikah tetapi tak ada cinta antara dirinya dengan Neo. Mereka hanya seperti sepasang musuh yang ditaruh dalam sangkar kecil yang sama.
“Apakah selama ini salim mencintaiku? Apakah Salim ingin aku berpisah dengan Neo? Oooh tidaaaak … Apa Salim ingin menjadi seorang pebinor?!” seru Tara nyaris terlonjak kaget, bersamaan dengan Neo yang membuka pintu kamar mandi dan Tara benar-benar terkejut sekarang.
Pluuug… Ponsel Tara tercebur di dalam bathup dan … “Aaaah … Tidaaak!” pekik Tara histeris.
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin b
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara